Kamar dekat tangga dijadikan tempat MUA yang cukup ternama untuk menyulap aku, Acha, dan Tante Fatma. Aku menjadi orang terakhir yang mendapat giliran karena tadi sempat terjebak kemacetan. Acha dan Tante Fatma sudah rapi, mereka pamit ke lantai atas. Mungkin akan berdiskusi sebelum berangkat ke hotel di mana acara pertunangan digelar. MUA yang menanganiku tinggal memberikan sentuhan terakhir ketika tiba-tiba Bang Ayas menyelonong masuk karena pintu sengaja tidak ditutup. Dia berdiri di sampingku, tapi justru melihat ke cermin. Mungkin pantulan wajahku lebih cantik ketimbang aslinya. "Ini nggak bisa ditutup pakai kain atau apa gitu, Mbak?" tanya Bang Ayas. Aku menatap ke cermin, memperhatikan Bang Ayas yang sedang menunjuk bahuku yang terbuka. "Emang modelnya begini, Mas. Jadi aneh kalo dipakein kain," jawab MUA dengan ramah. Bang Ayas menggerutu seakan tidak setuju denan kebaya seragam keluarga. Punyaku dan Acha satu model. Sama-sama berlengan pendek dengan bagian bahu terbuka.
"Saya minta maaf. Saya salah, Resva." Telingaku sampai pengang mendengar kalimat itu diucapkan berulang-ulang dalam perjalanan pulang. Aku terlalu enggan untuk menanggapinya karena jujur saja, seluruh tubuhku gemetaran setelah menampar Bang Ayas. Antara dirundung sesal dan juga amarah yang membuncah. Katakanlah, aku bukan cewek yang pandai menjaga batasan. Tapi sungguh baru kali ini aku merasa sangat direndahkan, dilecehkan karena disentuh tanpa kemauan. Dan yang paling menyakitkan adalah Bang Ayas menjadikan aku pelarian atas hasratnya kepada Diandra yang tak tersalurkan. Mataku masih memburam, terhalang air mata yang terus keluar meski sudah kutahan mati-matian. Namun, aku masih bisa melihat rute mana yang barusan Bang Ayas ambil. Dia menjauh dari jalur menuju kos-kosan. "Kita pulang ke apartemen." Apa katanya? Ke apartemen? Lalu di sana dia akan melanjutkan kebejatannya? "Kita nggak bisa bicara kayak gini."Aku tertawa di antara isak yang tak kunjung reda. Sembari menatap pan
Selama dua puluh dua tahun hidup di dunia, tak pernah sekali pun terlintas di benakku untuk menjadi perantara karma. Alih-alih puas, aku malah dirundung penyesalan tak terkira. Waktu melihat wajah Bang Ezra lebam-lebam, aku tidak terlalu kasihan karena bagaimanapun juga, Bang Ezra salah karena semua murni atas kesalahpahamannya dengan Bang Ayas. Lain dengan sekarang, melihat leher dan punggung tangan Bang Ayas penuh cakaran saja membuat aku miris. Masalahnya itu semua adalah perbuatanku. Ya Allah, Resva. Sejak kapan kamu punya bakat menyiksa anak orang? Kalau Tante Fatma sampai tahu, pasti beliau langaung mencabut restu yang sudah diberikan. Tidak hanya itu saja, lengan Bang Ayas pun lebam-lebam karena ternyata aku mencubit serta memukul sangat keras. Asli sumpah, khilaf! "Sakit banget?" tanyaku sembari menatap Bang Ayas dengan ngeri. Laki-laki itu menggeleng sembari tersenyum. "Nggak, kok."Aku meminta dia mengulurkan kedua tangannya yang berada di kemudi. Punggung tangan kiri
Aku menggigiti kuku sembari mendengarkan nada sambung karena panggilan tak kunjung terhubung. Aku mondar-mandir di kamar, sesekali berhenti di dekat jendela, dan masih mencoba menghubungi Acha untuk kesekian kalinya. Angkat dong, Cha …."Lo tau kan kalo cewek sama cowok di dalam satu kamar bakal ngapain?"Ucapan Tio sukses membuat otakku tidak bisa berpikir dengan jernih. Acha sedang apa sama Agam? Oke, oke! Aku sama Bang Ayas pun bukan pasangan yang anti skinship, tapi kami tidak pernah sejauh itu. Apalagi sampai check in hotel segala! Gila. Gila sekali kalau Acha sampai berbuat yang iya-iya sama cowok berengsek seperti Agam. Pemuda sialan itu kan suka gonta-ganti pasangan! Bagaimana kalau nanti menularkan penyakit kelamin ke Acha dan … nggak! Semua ini nggak boleh terjadi! Aku bergegas ke arah pintu dengan ponsel masih kutempelkan ke telinga. Ketika baru hendak meraih handle pintu, tiba-tiba panggilan terhubung. "Halo, Cha? Kamu di mana?" Jantungku berdetak sangat kencang, bersi
"Bang Ayas nggak pernah makan apa gimana, sih? Kurusan," kataku. Setelah empat hari tidak bertatap muka secara langsung, aku akhirnya menyadari bahwa tulang pipi Bang Ayas terlihat lebih menonjol. Kumis yang biasanya dicukur hingga habis, kini tampak dibiarkan tumbuh meski masih sangat tipis. "Nggak enak makan sendirian."Tuh, kan. Kolokan banget emang. Untung sayang! Jadi, dengan baik hati aku pun menyuapinya. Bukan. Bukan karena aku mau sok romantis-romantisan, tapi dikarenakan Bang Ayas sibuk membalas pesan temannya untuk membahas perencanaan buka distro di Jakarta. Entah ada masalah apa hingga dia sampai sehectic ini. "Ada masalah, ya?" tanyaku yang kemudian dijawab dengan gelengan. "Cuma sedikit. Makanya habis ini saya harus ikut survei tempatnya. Nggak apa-apa kan kalau nanti pulang sendiri?"Aku mengangguk. Aku hafal betul rute jalan pulang dari kampus ke kos-kosan. Jadi bisa dipastikan seratus persen kalau aku tidak akan tersesat. Sebenarnya, Bang Ayas sudah menawari aku u
Berselimut bentangan langit malam, aku menggigil di antara kerlip gemintang. Gedung-gedung pencakar langit menjulang dengan angkuh, seolah memproklamirkan sebagai bangunan paling kukuh, mengejek manusia sepertiku yang teramat rapuh. Di bawah sana, kendaraan berlalu-lalang, berlomba menjemput pagi yang masih terjebak dalam kelam. Dan aku, di sini, terperangkap dalam letih dan detak jantung yang berangsur memelan. Aku masih ingin berlari sejauh mungkin. Menghilang bersama kata yang terus terngiang-ngiang di telinga. Jual diri. Jual diri. Jual diri! Sayangnya, aku kesulitan menggerakkan kaki yang tiba-tiba terasa sangat kaku. Entah karena telah berlari ratusan meter, atau lantaran terkilir sewaktu menghindari mobil. Tidak hanya itu, aku juga kesulitan bernapas ketika merasakan permukaan kulit seperti ditusuk jutaan jarum yang ujungnya membawa geligis ke seluruh tubuh. Ngilu hingga ke tulang dan gigi. Aku menaruh kepalan tangan di depan mulut sembari mengembuskan napas sekadar mencar
Sebuah kotak warna hitam berukuran sedang sengaja kuletakkan di kasur. Kemudian aku membuka lemari lebar-lebar, mengambil beberapa baju, aksesoris, dan benda-benda pemberian Bang Ayas. Sesaat sebelum menutup kotak itu, aku mengambil sesuatu dari laci. Cincin tipis kutaruh di bagian paling atas, sebelum akhirnya menutup kotak itu rapat-rapat. Kotak itu sengaja kuberi pita silver. Aku pikir ini adalah sebuah hadiah kebebasan dari Bang Ayas agar tak lagi merasa bersalah padaku. Dia tidak perlu lagi bolak-balik ke sini, menunggu di lobi selama berjam-jam, sebelum akhirnya pulang tanpa kutemui. Selama dua hari ini, Mbak Tyas dan Tante Elin bergantian membujuk agar aku turun. Namun, meski kaki sudah bisa diajak kompromi, aku belum siap menemuinya. Lebih tepatnya, belum saatnya. Aku juga tidak menyentuh makanan yang dibawa Bang Ayas. Biasanya aku suruh dimakan Mbak Tyas, atau kuberikan kepada petugas kebersihan. Aku duduk di kursi depan meja belajar sambil menatap kotak hitam itu. Sialny
Aku pikir, semua sudah selesai. Begitu matahari terbit dan burung peliharaan Tante Elin berkicauan, aku bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Bang Ayas. Cukup semalaman aku menangis untuk sebuah kehilangan yang tak pernah nyata kugenggam. Namun, ternyata dugaanku salah. Pagi ini, aku menemukan laki-laki itu sudah duduk di lobi. Penghuni kos-kosan pasti sampai bosan dengan kehadiran Bang Ayas. Mereka pasti hafal betul laki-laki itu akan duduk di kursi yang menghadap ke tangga, menunggu di sana. Sebagian penghuni kos-kosan akan cuek. Entah karena tidak mau ikut campur atau karena malas berkomentar. Sebagian lagi turut membujuk agar aku menemui Bang Ayas. "Kasian banget tau mukanya.""Cowok kalo sampe segitunya berarti emang cinta, Va.""Ngobrol aja dulu. Berdua.""Kalian tuh cuma gengsi aja sih sebenernya. Iya, kan?""Percaya deh, Va. Nggak banyak cowok yang kayak pacar kamu itu.""Kasian. Mana ganteng lagi."Sepertinya keputusanku untuk masuk ke dapur adalah salah kaprah. Teli
Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan
Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka
Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d
Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k
"Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut
Awan tebal itu masih menaungi hidup Resva. Duka teramat kental terasa di setiap postingan yang dia unggah di media sosial. Foto kebersamaan ayah dan ibunya disertai caption-caption yang mewakili isi hatinya membuat aku ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan, menghapus air matanya lagi seperti beberapa minggu lalu. Sayangnya, aku telah kembali lagi ke Kalimantan, berkutat dengan padatnya jadwal pekerjaan. Dan kalaupun aku masih di Jakarta, rasanya mustahil aku bisa mendekati Resva yang sedang berduka. Terlalu lancang. Tidak sopan. "Ayam gepreknya ditutup. Ibunya mau pulang ke Semarang," kata Mama melalui sambungan telepon. "Resva juga ikut pulang?" Aku bertanya dengan perasaan kalang kabut. Bagaimana jika Resva memilih kembali ke Semarang? Bagaimana kuliahnya? Dan … untuk alasan apa jika aku ingin menemuinya? "Resva tetap kuliah di sini. Kemarin Mama sudah bantu carikan kos-kosan yang bagus karena dia menolak tinggal sama kita."Aku mengembuskan napas lega. Terlalu berbahaya ji
Bukan Mama kalau tidak rajin menanyai kabar anaknya. Dalam sehari, beliau bisa menelepon dua sampai tiga kali. Anehnya sejak pagi handphone-ku belum menerima panggilan dari wanita itu. Maka, selepas pulang kerja, aku memutuskan untuk video call. Apron merah muda dengan motif bunga-bunga menjadi pusat perhatianku begitu panggilan video terhubung. Di rumah ada dua asisten rumah tangga yang siap melayani keluarga kami karena Mama yang biasanya ikut sibuk mengurus pabrik, tidak punya waktu memasak. Namun, saat ini, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita itu berada di dapur, mengenakan apron, dan menyiapkan makanan. "Lihat, Yas, Mama masak enak!" kata Mama dengan antusias. Bisa dibilang keluarga kami berkecukupan. Jadi, sangat berlebihan jika sebatas olahan ayam dikatakan enak. "Tumben Mama masak." Aku menopang dagu dan tidak protes ketika diabaikan oleh Mama. Sepertinya Mama meletakkan ponselnya di suatu tempat sehingga kamera bisa menyorot ke arah yang sedang terlihat sibuk.
"Kapan nikah?""Nggak bosen sendirian terus, Yas?""Cuma kamu lho yang belum nikah."Kalimat seperti itu sudah menjadi santapanku sehari-hari. Tidak hanya datang dari keluarga, tapi juga teman-teman semasa kuliah dan juga SMA. Mereka sangat perhatian sampai statusku saat ini menjadi topik utama setiap pertemuan. Biasanya, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Namun, ada satu pertanyaan yang selalu membuat aku malas hadir di acara-acara penting. Dan bisa dipastikan aku akan langsung memberikan jawaban menohok. "Belum move on dari Diandra, Yas?" Nama perempuan itu telah lama hengkang dari hatiku. Tepat setelah mengetahui dia menikah dengan Hanif, anak dari adik sepupu Mama yang sewaktu kecil sering mengambil mainanku di rumah. Mendengar nama Diandra tidak membuat aku kembali tenggelam dalam kidung nostalgia. Waktuku terlalu berharga jika hanya dihabiskan untuk menangisi pengkhianat sepertinya, yang pernah mengemis-ngemis di kakiku untuk dijadikan kekasih, tapi mengobral selangkangan
Aku baru tahu ternyata Bang Ayas yang selama ini terkesan kaku, judes, dan terkadang menyebalkan bisa semanja itu kepada ibunya. Sehabis makan malam, dia terus mengekori Tante Fatma, mengeluh sakit kepala. "Serius, Ma. Mama tega biarin aku nyetir?" Bang Ayas merebahkan kepalanya ke pangkuan Tante Fatma yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tante Fatma mengusap kepala Bang Ayas, menunduk demi melihat lebih jelas. "Mana. Nggak kelihatan yang sakit""Ya, nggak kelihatan, Ma. Sakitnya dari dalam."Acha yang melihat tingkah kakak sulungnya itu hanya tertawa. Ketika ibunya berpaling, dia memberi kode kepada Bang Ayas. Jari dan telunjuknya bertemu, membentuk huruf O. Isyarat itu disambut baik oleh Bang Ayas. Dibalas dengan kode yang sama pula. "Ya sudah, kamu boleh menginap di sini. Tapi, Resva tidur sama Mama." Bang Ayas dan Acha langsung saling pandang, sebelum akhirnya sama-sama mengembuskan napas lelah. Dengan gontai, Acha naik ke lantai dua. "Ngantuk," ucapnya ketika ditanya ken