Aku mengucap hamdalah, bersyukur bahwa adikku sudah bisa kembali dan dalam keadaan aman sekarang.“Aku ikut.” Kuraih tangan Mas Fahry yang baru selangkah menjauh.“Jangan, Sayang. Kamu harus banyak istirahat, biar aku yang urus.”Akhirnya Mas Fahry luluh, meski akhirnya ia mengatakan bukan hanya mengkhawatirkanku tapi ia juga tak ingin aku sering-sering bertemu dengan Gibran.“Dokter gila itu pernah menyukaimu, Tania,” ucapnya setelah mobilnya sudah melaju di jalan raya.“Aku tak punya hak mengatur perasaan orang, Mas. Lagian kamu kok gitu padanya, ngatain gila lah, brengsek lah, dokter enggak jelas lah! Padahal Gibran udah baik banget dan banyak membantu kita selama ini.”“Ini nih yang kutakutkan. Kamu punya rasa kagum padanya.”“Ck! Aku berkata sesuai kenyataan, Mas. Lagian aku tau batasanku dalam bergaul.”Ia melirikku sekilas, kurasa kalimatku barusan sedikit menyinggung perasaannya. Karena ia dan Nasya memang sudah melanggar batasan pergaulan selama ini.“Maaf jika Mas Fahry mera
Baca selengkapnya