“Kita pulang sekarang, Mas!” Kukibaskan selimut klinik yang menutupi tubuhku.Mas Fahry berusaha menahan tubuhku lalu meraih ponsel dalam genggamanku.“Shitt!!” umpatnya setelah membaca pesan dari Nilam.“Kamu tenang dulu, Sayang. Kita enggak bisa pulang sekarang, ini sudah malam dan kamu baru saja mengalami pendarahan ringan, kamu harus istirahat.”“T-tapi Nilam, Mas! Aku takut terjadi apa-apa padanya.”Mas Fahry menyugar kasar rambutnya.“Meski kita pulang sekarang, kita juga enggak bisa ngapa-ngapain, Tania. Nilam sendiri enggak tau dia sedang berada di mana sekarang.”Mas Fahry benar. Ya Allah, Nilam! Apa yang terjadi pada adikku satu-satunya itu. Kulihat Mas Fahry seperti sedang mengingat sesuatu.“Kamu nyimpan nomor Gibran?”“Ada di kontakku. Kenapa?”“Ponselku tadi ketinggalan di villa karena aku panik dan buru-buru mengangkatmu saat kamu pingsan. Aku akan mengubungi Gibran, kakaknya adalah salah satu petinggi di institusi kepolisian, kupikir kita bisa meminta bantuan padanya,”
Aku mengucap hamdalah, bersyukur bahwa adikku sudah bisa kembali dan dalam keadaan aman sekarang.“Aku ikut.” Kuraih tangan Mas Fahry yang baru selangkah menjauh.“Jangan, Sayang. Kamu harus banyak istirahat, biar aku yang urus.”Akhirnya Mas Fahry luluh, meski akhirnya ia mengatakan bukan hanya mengkhawatirkanku tapi ia juga tak ingin aku sering-sering bertemu dengan Gibran.“Dokter gila itu pernah menyukaimu, Tania,” ucapnya setelah mobilnya sudah melaju di jalan raya.“Aku tak punya hak mengatur perasaan orang, Mas. Lagian kamu kok gitu padanya, ngatain gila lah, brengsek lah, dokter enggak jelas lah! Padahal Gibran udah baik banget dan banyak membantu kita selama ini.”“Ini nih yang kutakutkan. Kamu punya rasa kagum padanya.”“Ck! Aku berkata sesuai kenyataan, Mas. Lagian aku tau batasanku dalam bergaul.”Ia melirikku sekilas, kurasa kalimatku barusan sedikit menyinggung perasaannya. Karena ia dan Nasya memang sudah melanggar batasan pergaulan selama ini.“Maaf jika Mas Fahry mera
Sebenarnya aku sedikit grogi berhadapan dengan wanita ini. Wanita yang menurut Mas Fahry sangat ambisius. Mampukah aku menghadapinya? Namun demi masa depan hubungan rumah tanggaku, aku harus terlihat kuat di hadapannya.“Mas Fahry tau kita ketemuan?” tanyanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Pantas saja tadi dia enggak nanya apa-apa sewaktu aku izin hari ini enggak ikut ke lokasi. Padahal biasanya dia pasti nanyain.”Ia mulai mengeluarkan kalimat provokasinya. Kurasa iya, dulu mungkin Mas Fahry akan bertanya padanya, tapi aku yakin, sekarang Mas Fahry pasti sudah mulai menghindarinya. Karena itulah yang dijanjikannya padaku dengan bersungguh-sungguh.“Nasya, apa kamu tau? Kemarin aku hampir menyerah dengan hubungan ini. Terus terang saja aku tak bisa melihat suamiku dekat dengan wanita lain. Tapi ternyata Mas Fahry memilih mempertahankan hubungan kami dan berjanji akan memperbaikinya. Jadi aku menemuimu di sini untuk meminta padamu sebagai sesama wanita, jauhilah suamiku!”Ia tertawa keci
“Kamu!!!” Kurasa ia kehabisan kata-kata.“Jika aku dan Mas Fahry saling bergandengan menghadapi tekanan karena video masa lalu kalian itu, lalu siapa yang akan mendampingimu menghadapi tekanan? Kamu yakin hatimu sekuat itu, Nasya? Tubuh polosmu akan menjadi santapan semua orang. Oiya, kurasa kamu juga sering melihat adegan-adegan semacam itu, kan? Apa kamu pikir orang-orang akan lebih memperhatikan si pria dalam adengan semacam itu? Tidak, Nasya! Si wanita lah yang akan lebih banyak mendapat sorotan. Sudah siapkah hatimu mendengar namamu dicaci maki? Sementara kamu sendiri yang membuka jalan bagi orang lain untuk mencacimu. Sudah siapkah kamu kehilangan semua harga dirimu? Sudah siapkah kamu menghadapinya seorang diri, tanpa saudara, tanpa kekasih dan tanpa suami? Bukankah suamimu sekarang tengah terjerat kasus hukum atas percobaan tindakan pemerkosaan pada adikku? Maka lengkap sudah penilaian publik nantinya pada kalian berdua. Jika kamu benar-benar sudah siap untuk itu, maka aku pun
PoV FahryKurasa ada yang disembunyikan Tania dariku, tapi aku tak tau itu apa. Sesekali juga aku masih menangkap keraguan dari pancaran matanya. Meski aku dan Tania sudah sepakat untuk meneruskan hubungan ini, tapi dengan beberapa kebohonganku dan bukti-bukti yang dimiliki Tania pastilah tak semudah itu membuatnya yakin padaku. Aku paham karena kuakui aku memang bersalah padanya. Niatku untuk membuktikan kesungguhanku padanya dengan pengajuan pengunduran diriku dari perusahaan pun ternyata menemui kendala. Kantor pusat tak menyetujui dan bahkan aku akan dikenakan denda yang tidak sedikit jika resign ditengah-tengah besarnya tanggung jawab proyek yang sedang kuemban.Sejujurnya aku senang pengajuan resignku tak disetujui, karena memang aku sangat mencintai pekerjaanku, dan menjadi arsitek memang cita-citaku dari dulu. Saat aku dipanggil untuk mengungkapkan alasan pengunduran diriku di hadapan para petinggi perusahaan, kukatakan dengan jujur alasanku, yaitu keberadaan Nasya yang akhirn
“Tapi kamu membuatnya terbangun, Sayang.”Kuendus leher jenjangnya, ini adalah bagian tubuh Tania yang sangat kusukai. Dulu, saat ia belum jadi istriku aku pernah memergokinya di dapur dengan leher putih jenjangnya yang terekspos bebas, dan sejak saat itulah aku begitu mendambakan tubuh Tania, yang waktu itu masih bergelar kakak iparku. Napasku semakin memburu saat bibir dan hidungku menyentuh lehernya dengan bebas.“Mas!!” Tania semakin protes ketika tanganku dengan nakalnya sudah menarik tali kimononya.“Kamu seksi sekali, Istriku.”“Mas, Please! Aku belum nyiapin sarapan. Nanti kamu telat kerjanya, Khanza juga bentar lagi bangun dan nyariin kita.”Aku tak peduli. Kujamah semua bagian tubuhnya yang menyenangkan.“Mas. Setelah aku bikin sarapan aja, ya.” Tania mengajukan permintaan.Aku tersenyum, ia tak ingin mengecewakanku tapi juga tak mau melewatkan kewajibannya. Maka aku pun melepasnya.“Janji, ya. Aku maunya sarapan kamu hari ini.”“Iya, janji.”Aku kembali meraih ponsel Tania
“Mas.”“Hmmm.” Mataku masih terpejam menikmati sisa-sisa sensasi kenikmatan tadi.“Apa kamu benar-benar tak pernah melakukan hal seperti ini dengannya setelah kita menikah?”“Tidak. Aku berani bersumpah!”“Apa kamu pernah mencumbunya?”Refleks aku membuka mataku, Tania menatapku tajam, tapi ada seutas senyum di wajah cantiknya. Ah, Tania. Kamu benar-benar membuat perasaanku tak menentu. Harus bagaimana aku menjawab pertanyaanmu ini?Cup!Tiba-tiba saja ia mencium bibirku saat aku baru saja hendak berbicara.“Jangan dijawab, Mas. Diammu cukup untuk menjawab pertanyaanku tadi.”“Maafin aku.”Tania tersenyum. Aku merengkuh bahunya lebih erat lagi, dan mendekapnya lebih dalam lagi. Dalam hatiku yang paling dalam aku berjanji tak akan salah langkah lagi, aku berjanji tak akan membuat wanita ini menangis lagi. Semua kata maaf yang berkali-kali kuucapkan padanya kurasa tak akan mampu menebus kesalahanku. Namun aku berjanji pada diriku sendiri dan juga pada almarhum Mas Farhan untuk tidak lag
“Enggak, Tania. Hanya briefing sebentar, Mas enggak ikut ke lokasi. Siang ini harus ke lokasi tim 2. Bentar aja kok, abis itu Mas antarin ke rumah ayah.”Tania menggangguk setuju. Aku kembali menoleh sebelum melajukan mobilku.“Tim 1 itu timnya Nasya,” ucapku lirih.Ia hanya mengangkat bahunya menandakan tak peduli. Aku terkekeh.“Aku nunggu di mobil aja, ya, Mas,” ucap Tania setelah aku memarkirkan mobilku di parkiran kantor. Kulihat ia menyetel kaca spion kemudian merapikan riasannya.“Kamu ikut Mas aja ke atas. Sebentar aja kok. Abis itu ....” Kalimatku terputus saat melihat Nasya juga sedang memarkirkan mobilnya dan hanya berjarak 4 mobil dari mobilku.Tania mengikuti arah mataku, tepat di saat Nasya membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana. Ia terlihat melangkah ke arah mobilku. Biasanya jika kebetulan bersamaan seperti ini ia pasti akan mengiringi langkahku dan mengikutiku masuk ke dalam lift hingga ke lantai 5 di mana kantorku berada. Kutelan salivaku kasar.Namun Tania just
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep