“Mas.”“Hmmm.” Mataku masih terpejam menikmati sisa-sisa sensasi kenikmatan tadi.“Apa kamu benar-benar tak pernah melakukan hal seperti ini dengannya setelah kita menikah?”“Tidak. Aku berani bersumpah!”“Apa kamu pernah mencumbunya?”Refleks aku membuka mataku, Tania menatapku tajam, tapi ada seutas senyum di wajah cantiknya. Ah, Tania. Kamu benar-benar membuat perasaanku tak menentu. Harus bagaimana aku menjawab pertanyaanmu ini?Cup!Tiba-tiba saja ia mencium bibirku saat aku baru saja hendak berbicara.“Jangan dijawab, Mas. Diammu cukup untuk menjawab pertanyaanku tadi.”“Maafin aku.”Tania tersenyum. Aku merengkuh bahunya lebih erat lagi, dan mendekapnya lebih dalam lagi. Dalam hatiku yang paling dalam aku berjanji tak akan salah langkah lagi, aku berjanji tak akan membuat wanita ini menangis lagi. Semua kata maaf yang berkali-kali kuucapkan padanya kurasa tak akan mampu menebus kesalahanku. Namun aku berjanji pada diriku sendiri dan juga pada almarhum Mas Farhan untuk tidak lag
“Enggak, Tania. Hanya briefing sebentar, Mas enggak ikut ke lokasi. Siang ini harus ke lokasi tim 2. Bentar aja kok, abis itu Mas antarin ke rumah ayah.”Tania menggangguk setuju. Aku kembali menoleh sebelum melajukan mobilku.“Tim 1 itu timnya Nasya,” ucapku lirih.Ia hanya mengangkat bahunya menandakan tak peduli. Aku terkekeh.“Aku nunggu di mobil aja, ya, Mas,” ucap Tania setelah aku memarkirkan mobilku di parkiran kantor. Kulihat ia menyetel kaca spion kemudian merapikan riasannya.“Kamu ikut Mas aja ke atas. Sebentar aja kok. Abis itu ....” Kalimatku terputus saat melihat Nasya juga sedang memarkirkan mobilnya dan hanya berjarak 4 mobil dari mobilku.Tania mengikuti arah mataku, tepat di saat Nasya membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana. Ia terlihat melangkah ke arah mobilku. Biasanya jika kebetulan bersamaan seperti ini ia pasti akan mengiringi langkahku dan mengikutiku masuk ke dalam lift hingga ke lantai 5 di mana kantorku berada. Kutelan salivaku kasar.Namun Tania just
PoV TaniaMas Fahry mengajakku ke kantornya meski aku sudah meminta untuk mengunggu di mobil saja. Beberapa pasang mata menatapku tajam saat Mas Fahry menggandeng tanganku menuju lantai lima di mana ruangannya berada. Perempuan muda yang duduk di depan ruangan Mas Fahry berdiri dan menunduk hormat saat melihat kami. Kurasa ia adalah sekretaris Mas Fahry.“Brefingnya di mana, In?” tanya Mas Fahry tak melepaskan gandengan tangannya.“Sementara saya arahkan ke ruang meeting, Pak. Kalau Pak Fahry mau tempatnya dipindah saya akan memberitahu mereka.”“Tak perlu. Biar di ruang meeting saja. Semua sudah hadir?”“Sudah, Pak. Cuma Mbak Nasya yang belum datang.”Mas Fahry berhenti sejenak, kemudian kembali berjalan hingga kami berdua masuk ke ruangannya.“Kamu tunggu di sini sebentar, ya. Mas ke ruang meeting dulu.”Aku mengangguk, lalu duduk di sofa yang ada di dalam ruangannya. Mas Fahry mengecup pipiku sekilas sebelum keluar dari ruangannya.Kuedarkan pandanganku menyapu setiap sudut ruangan
Ku buka lembaran berikutnya.”Di luar dugaanku, ternyata Mas Fahry tak menyambutku seperti yang selama ini kubayangkan. Aku justru merasa jika ia sedikit menghindariku, tapi kurasa itu wajar karena ia harus menjaga nama baiknya karena semua pasti sudah tau statusnya yang sudah menikah. Namun yang membuatku bahagia adalah meski terkesan cuek dan bahkan menghindariku, tapi pada saat meeting tadi beberapa kali kutangkap ia diam-diam menatapku. Beberapa kali tatapan mata kami bahkan bertemu yang membuat konsentrasinya buyar saat memimpin rapat. Tak perlu kamu katakan, aku tau masih ada aku dalam hatimu, Sayang.”Aku menarik napas kasar, lalu melanjutkan ke halaman lain.“Ternyata mendekati Mas Fahry kembali tak segampang apa yang kubayangkan. Sudah sebulan aku bergabung kembali di perusahaan, dan sudah berkali-kali kami berada dalam satu lokasi yang sama, tapi Mas Fahry masih belum menampakkan perhatiannya padaku. Bahkan pernah suatu waktu saat aku menyusup masuk ke dalam mobilnya dan mem
Suara pintu diketuk kembali membuatku mengalihkan perhatianku. Kali ini wajah Mas Fahry yang muncul di depan pintu, lengkap dengan senyumnya. Ia segera menghampiriku yang masih berdiri di dekat meja kerjanya.“Maaf ya agak lama,” Mas Fahry memeluk pinggangku.“Gimana briefingnya, Mas? Lancar?”“Iya. Lancar.” Ia masih memeluk pinggangku.“Personilnya lengkap?” Aku ingin tau apa ia tadi menyadari jika Nasya tak ada di sana dan malah datang ke ruangan ini.“Hmmm ... lengkap,” ucapnya sambil menciumi leherku yang masih tertutup jilbab.“Termasuk Nasya?”“Enggak usah bahas dia. Aku enggak peduli dia mau gabung tim nya apa enggak. Terserah dia.”“Kamu atasannya, Mas. Kalau kinerjanya buruk pasti juga akan berpengaruh padamu.”“Huhh! Iya tadi dia enggak ikut briefing.”“Dia tadi kemari menemuiku.”Refleks Mas Fahry melepaskan ciumannya di leherku.“Kamu ketemu Nasya? Dia ngomong apa? Dia enggak ....”“Kenapa Mas begitu khawatir jika aku bertemu dengannya? Apa Nasya masih menyimpan banyak rah
“Kamu tau dari mana?”“Nilam pernah nengokin dia ke sana. Barang bukti narkoba yang ditemukan kemarin diakui anak buah Mas Lukman sebagai miliknya dan Mas Lukman enggak tau apa-apa mengenai barang haram itu.”“Ya Allah! Nilam! Ngapain kamu nengokin ke sana segala?”“Nilam hanya kasihan, Mbak. Mas Lukman sebenarnya juga korban dari keserakahan orang tua Mbak Nasya dulu, juga korban dari penghiatan Mbak Nasya. Tapi percayalah Mbak, Nilam udah enggak punya perasaan apa-apa padanya. Nilam benar-benar hanya kasihan karena hanya pada Nilam Mas Lukman jujur menceritakan semua masalahnya.”“Halah jangan percaya buaya darat, Dek!”“Mbak Tania sendiri jadi korban buaya darat, tuh.”“Mas Fahry enggak kayak gitu.”“Ya ... ya ... ya ... semoga saja kali ini benar-benar bisa dipercaya ya, Mbak.”“Sepertinya Mbak harus nyuruh Gibran buru-buru menikahimu, Dek. Mbak takut kamu kembali ke orang yang salah.”“Kalau itu sih Nilam enggak nolak, Mbak,” ucapnya tersipu malu.***Dering telepon mengalihkanku
"DIA BUKAN AYAHMU"“In, nanti barang-barang ini serahin ke Mbak Nasya, ya. Kalau dia enggak mau terima kamu boleh membuangnya,” ucapku pada Indah, menyerahkan kotak berisi barang-barang Nasya.Keningku mengeryit ketika menangkap raut tak suka dari wajah Indah, sebelum kemudian ia tersenyum.“Baik, Bu.”“Oiya, kalau Mas Fahry sedang tidak ditempat, jangan biarkan orang lain keluar masuk dengan bebas ke dalam ruangannya, ya. Bukankah itu tugasmu? Jangan sampai kamu kena marah lagi seperti kemarin.”“I-iya, Bu.”Aku, Nilam dan Gibran pun meninggalkan ruangan Mas Fahry setelah semua telah tertata dengan rapi. Semua majalah dan buku-buku di rak buku Mas Fahry tadi tak luput dari jamahanku. Aku membuang semua yang tak ada kaitannya dengan pekerjaan Mas Fahry, sebab tadi aku menemukan beberapa majalah wanita di sana. Hanya satu yang masih kusimpan di dalam tas ku, yaitu buku agenda Nasya yang belum sempat kuteruskan lagi membacanya. Gibran membantuku menggendong Khanza karena aku memang seda
PoV FahrySiang ini, saat baru saja tiba kembali di kantor setelah dari lokasi proyek, aku terkejut melihat ruanganku yang sudah tertata dengan rapi dengan semua furniture yang baru. Termasuk sofa, barang yang paling ingin kuganti di ruangan ini. Dari Indah kuperoleh informasi jika ternyata Tania lah yang menatanya. Aku memang sudah menitip pesan agar Indah mengabari Tania jika furniturenya sudah ada.“Bu Tania dan yang lainnya baru saja pulang, Pak. Bahkan kemungkinan masih ada di parkiran.” Ucapan Indah membuat langkahku terhenti.“Tania dan yang lainnya?”“Iya, Pak. Tadi Bu Tania enggak sendirian ke sini. Beliau bersama beberapa orang yang membantu, seorang wanita dan seorang pria, termasuk putri Pak Fahry.”“Oh, baiklah. Terima kasih.”Aku segera kembali berlari kecil ke arah lift mendengar Indah mengatakan kemungkinan mereka masih di parkiran. Sekilas kulihat Indah menyerahkan sebuah kotak pada Nasya yang memang baru tiba dari lokasi proyek bersamaku, keduanya terlibat pembicaraa