Ku buka lembaran berikutnya.”Di luar dugaanku, ternyata Mas Fahry tak menyambutku seperti yang selama ini kubayangkan. Aku justru merasa jika ia sedikit menghindariku, tapi kurasa itu wajar karena ia harus menjaga nama baiknya karena semua pasti sudah tau statusnya yang sudah menikah. Namun yang membuatku bahagia adalah meski terkesan cuek dan bahkan menghindariku, tapi pada saat meeting tadi beberapa kali kutangkap ia diam-diam menatapku. Beberapa kali tatapan mata kami bahkan bertemu yang membuat konsentrasinya buyar saat memimpin rapat. Tak perlu kamu katakan, aku tau masih ada aku dalam hatimu, Sayang.”Aku menarik napas kasar, lalu melanjutkan ke halaman lain.“Ternyata mendekati Mas Fahry kembali tak segampang apa yang kubayangkan. Sudah sebulan aku bergabung kembali di perusahaan, dan sudah berkali-kali kami berada dalam satu lokasi yang sama, tapi Mas Fahry masih belum menampakkan perhatiannya padaku. Bahkan pernah suatu waktu saat aku menyusup masuk ke dalam mobilnya dan mem
Suara pintu diketuk kembali membuatku mengalihkan perhatianku. Kali ini wajah Mas Fahry yang muncul di depan pintu, lengkap dengan senyumnya. Ia segera menghampiriku yang masih berdiri di dekat meja kerjanya.“Maaf ya agak lama,” Mas Fahry memeluk pinggangku.“Gimana briefingnya, Mas? Lancar?”“Iya. Lancar.” Ia masih memeluk pinggangku.“Personilnya lengkap?” Aku ingin tau apa ia tadi menyadari jika Nasya tak ada di sana dan malah datang ke ruangan ini.“Hmmm ... lengkap,” ucapnya sambil menciumi leherku yang masih tertutup jilbab.“Termasuk Nasya?”“Enggak usah bahas dia. Aku enggak peduli dia mau gabung tim nya apa enggak. Terserah dia.”“Kamu atasannya, Mas. Kalau kinerjanya buruk pasti juga akan berpengaruh padamu.”“Huhh! Iya tadi dia enggak ikut briefing.”“Dia tadi kemari menemuiku.”Refleks Mas Fahry melepaskan ciumannya di leherku.“Kamu ketemu Nasya? Dia ngomong apa? Dia enggak ....”“Kenapa Mas begitu khawatir jika aku bertemu dengannya? Apa Nasya masih menyimpan banyak rah
“Kamu tau dari mana?”“Nilam pernah nengokin dia ke sana. Barang bukti narkoba yang ditemukan kemarin diakui anak buah Mas Lukman sebagai miliknya dan Mas Lukman enggak tau apa-apa mengenai barang haram itu.”“Ya Allah! Nilam! Ngapain kamu nengokin ke sana segala?”“Nilam hanya kasihan, Mbak. Mas Lukman sebenarnya juga korban dari keserakahan orang tua Mbak Nasya dulu, juga korban dari penghiatan Mbak Nasya. Tapi percayalah Mbak, Nilam udah enggak punya perasaan apa-apa padanya. Nilam benar-benar hanya kasihan karena hanya pada Nilam Mas Lukman jujur menceritakan semua masalahnya.”“Halah jangan percaya buaya darat, Dek!”“Mbak Tania sendiri jadi korban buaya darat, tuh.”“Mas Fahry enggak kayak gitu.”“Ya ... ya ... ya ... semoga saja kali ini benar-benar bisa dipercaya ya, Mbak.”“Sepertinya Mbak harus nyuruh Gibran buru-buru menikahimu, Dek. Mbak takut kamu kembali ke orang yang salah.”“Kalau itu sih Nilam enggak nolak, Mbak,” ucapnya tersipu malu.***Dering telepon mengalihkanku
"DIA BUKAN AYAHMU"“In, nanti barang-barang ini serahin ke Mbak Nasya, ya. Kalau dia enggak mau terima kamu boleh membuangnya,” ucapku pada Indah, menyerahkan kotak berisi barang-barang Nasya.Keningku mengeryit ketika menangkap raut tak suka dari wajah Indah, sebelum kemudian ia tersenyum.“Baik, Bu.”“Oiya, kalau Mas Fahry sedang tidak ditempat, jangan biarkan orang lain keluar masuk dengan bebas ke dalam ruangannya, ya. Bukankah itu tugasmu? Jangan sampai kamu kena marah lagi seperti kemarin.”“I-iya, Bu.”Aku, Nilam dan Gibran pun meninggalkan ruangan Mas Fahry setelah semua telah tertata dengan rapi. Semua majalah dan buku-buku di rak buku Mas Fahry tadi tak luput dari jamahanku. Aku membuang semua yang tak ada kaitannya dengan pekerjaan Mas Fahry, sebab tadi aku menemukan beberapa majalah wanita di sana. Hanya satu yang masih kusimpan di dalam tas ku, yaitu buku agenda Nasya yang belum sempat kuteruskan lagi membacanya. Gibran membantuku menggendong Khanza karena aku memang seda
PoV FahrySiang ini, saat baru saja tiba kembali di kantor setelah dari lokasi proyek, aku terkejut melihat ruanganku yang sudah tertata dengan rapi dengan semua furniture yang baru. Termasuk sofa, barang yang paling ingin kuganti di ruangan ini. Dari Indah kuperoleh informasi jika ternyata Tania lah yang menatanya. Aku memang sudah menitip pesan agar Indah mengabari Tania jika furniturenya sudah ada.“Bu Tania dan yang lainnya baru saja pulang, Pak. Bahkan kemungkinan masih ada di parkiran.” Ucapan Indah membuat langkahku terhenti.“Tania dan yang lainnya?”“Iya, Pak. Tadi Bu Tania enggak sendirian ke sini. Beliau bersama beberapa orang yang membantu, seorang wanita dan seorang pria, termasuk putri Pak Fahry.”“Oh, baiklah. Terima kasih.”Aku segera kembali berlari kecil ke arah lift mendengar Indah mengatakan kemungkinan mereka masih di parkiran. Sekilas kulihat Indah menyerahkan sebuah kotak pada Nasya yang memang baru tiba dari lokasi proyek bersamaku, keduanya terlibat pembicaraa
Tadi saat baru hendak kembali ke kantor dari lokasi proyek, Nasya tiba-tiba menghampiriku dan meminta bantuan agar aku mengantarnya ke kantor pengacara. Awalnya kutolak mentah-mentah permintaan Nasya, karena aku sudah berkomitmen pada Tania untuk menjauhinya. Namun tiba-tiba saja Nasya menangis, membuat beberapa pekerja lokasi memperhatikan kami.“Kamu minta antar yang lain aja, Sya. Aku enggak bisa!”“Mas Fahry benar-benar tega! Aku hanya minta antar ke sana, bukan minta ditemani. Akan kurang nyaman jika aku minta bantuan pada yang lain. Mereka akan tau masalahku.”“Tapi aku enggak bisa, Sya! Bukankah sudah kuperingatkan jangan lagi mendekatiku! Aku enggak mau nanti Tania salah sangka.”Nasya tampak kecewa, ada rasa iba melihatnya menangis. Dulu, aku tak pernah membiarkan Nasya menangis seperti ini. Aku dan Mas Farhan tak punya saudara perempuan. Satu-satunya wanita yang ada dalam hidup kami adalah ibu, sebelum ada Tania dan Khanza bagiku. Maka sejak dulu aku selalu tak bisa melihat
Akhirnya Tania keguguran, janin dalam kandungannya tak lagi mampu bertahan. Aku menangis tergugu di sampingnya ketika dokter kandungan mengabarkan bahwa rahim Tania sudah kosong. Sementara Tania, ia tak lagi mampu untuk menangis, pandangan matanya hanya kosong.“Maafin aku, Tania,” ucapku lirih. Tania masih perlu dirawat inap untuk memastikan rahimnya benar-benar bersih setelah mengalami keguguran.Tania hanya diam tak menjawab, pandangan matanya masih kosong. Aku hanya melihatnya menangis saat Linda datang menegoknya. Aku sengaja membiarkan Tania dan Linda hanya berdua di dalam ruangan, tapi aku bisa mengintip dari jendela saat Tania menangis terisak-isak saat bercerita pada Linda. Kurasa Tania lebih bisa mengeluarkan perasaannya pada Linda yang memang seorang psikolog. Gibran sendiri sudah tidak terlihat lagi, dari Nilam aku tau jika dokter itu sudah kembali ke Bandung karena masa cutinya sudah habis. Aku bahkan belum sempat meminta maaf padanya karena telah salah sangka saat ia men
“Tania ...,” bisikku lirih sambil meremas kasar rambutku.Kemesraan kami beberapa hari terakhir harus kembali terenggut karena kebodohanku, hanya kerena perasaan ibaku pada Nasya. Kurasa sangat wajar jika Tania kecewa. Ia melihat sendiri kejadian di mana Khanza memelukku sementara aku membiarkannya. Khanza bahkan masih terus bertanya siapa yang memeluk ayahnya kemarin.Hingga waktunya makan malam, Tania menolak keluar dari kamar. Ibu dan Khanza pun terlihat bolak-balik masuk ke kamar untuk menemani Tania. Ibu pun tak banyak bicara padaku, sepertinya wanita yang telah melahirkanku ke dunia itu masih marah padaku. Ya, aku memang sangat pantas menerima ini. ketidaktegasanku pada Nasya membuat semua kepercayaan Tania kini kembali terkoyak. Aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku. Ragaku di sini, di kamarku, di atas tempat tidurku, namun pikiranku ada di kamar sebelah. Apakah Tania-ku bisa tidur dengan nyenyak? Apa ia masih merasa sakit? Pikiran-pikiranku membuatku keluar dari kamar da
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep