Tiga hari sudah Tania pergi, hidupku benar-benar berantakan selama tiga hari ini. Penampilanku awut-awutan dengan kantung mata yang menghitam di bawah mataku. Setiap pagi, sebelum berangkat ke kantor aku selalu mampir ke pusara Mas Farhan, berharap Tania muncul, atau setidaknya meninggalkan jejaknya di sana. Namun tak pernah lagi kutemukan taburan bunga segar di atas pusara Mas Farhan seperti tiga hari yang lalu. Setiap hari pula aku mendatangi rumah mertuaku, berharap Tania atau Khanza terlihat di rumah sederhana itu. Namun tetap nihil, Tania tak meninggalkan jejak sama sekali.Saat kembali ke rumah pun, ibuku sama lesunya sepertiku. Tak ada sambutan hangat Tania dan dekapan manja Khanza lagi. Semua terasa dingin dan kaku. Ibuku memang tak pernah lagi membahas Tania setelah tangisannya di pagi selepas Tania meminta izin pada beliau. Namun aku tau ibu sangat kesepian dan merindukan Khanza juga Tania.Kamarku pun berantakan sejak tak ada campur tangan Tania membereskannya. Malam-malamk
Rapat intern perusahaan baru saja usai ketika Mr. Adam, salah satu petinggi di perusahaan menghampiriku yang masih memilih duduk di kursiku meski rekan-rekanku yang lain telah meninggalkan ruang meeting.“Jangan terlalu dipikirin, Fahry.” Mr. Adam menepuk pundakku.Mr. Adam berkewarganegaraan Australia, tapi ia fasih berbahasa Indonesia meski dengan aksen yang berbeda karena sudah bertahun-tahun bekerja di sini. Mr. Adam termasuk salah satu petinggi perusahaan yang tak kusukai karakternya, ia suka mempermainkan karyawan-karyawan wanita, apalagi anak-anak yang baru gabung di perusahaan. Bukan rahasia lagi jika Mr. Adam sudah meniduri beberapa orang karyawati cantik di perusahaan kami.Bahkan beberapa bulan yang lalu, sekretarisnya terpaksa berhenti bekerja karena malu telah dihamili oleh Mr. Adam tanpa ikatan pernikahan. Padahal, bukan hal yang mudah bergabung di perusahaan bertaraf internasional ini.Mr. Adam juga kelihatannya sangat akrab dengan Nasya. Bahkan dulu, saat aku dan Nasya
PoV TaniaSeminggu menepi dari kehidupan ibukota dengan segenap masalahnya cukup membuatku merasa rileks. Beruntung waktu itu aku mengikuti saran Nilam menemui psikolog. Meski Nilam masih kaku padaku, namun saat kujelaskan padanya mengenai keadaanku, adikku itu tetaplah merasa khawatir kemudian merekomendasikan seorang psikolog yang juga merupakan salah seorang dosen di kampusnya. Beberapa hari belakangan aku memang selalu merasa sangat tertekan, jantungku selalu saja berdegup lebih kencang tak seperti bisasanya, kemudian tubuhku selalu mengeluarkan keringat dingin dan juga terasa dingin.Beberapa kali bahkan Mas Fahry menegurku ketika ia merasakan suhu tubuhku tak seperti biasanya. Lalu, saat aku akhirnya diantar Nilam ke tempat praktek Mbak Linda -begitu psikolog itu disapa- ternyata Mbak Linda mengatakan jika aku sedang depresi dan bahkan sudah pada tingkat depresi yang parah. Ah, kurasa masalah rumah tanggaku lah yang membuatku seperti ini. Tak bisa ku pungkiri, meski Mas Fahry te
“Wah, perkembangan yang sangat menggembirakan bagiku, Mbak. Melihat pasien terapiku bisa mengatasi depresinya dengan baik selalu menjadi kebanggan tersendiri bagi seorang psikolog.”“Terima kasih, ya, Mbak. Mbak Linda memang psikolog yang handal menurut saya, tak salah adik saya merekomendasikannya.”Mbak Linda pun pamit ke villa sebelah yang juga adalah pasien terapinya setelah beberapa saat mengobrol. Sementara Gibran masih tetap duduk di kursi teras bersamaku.“Apa rencana Mbak Tania setelah ini?”“Entahlah, Gib. Mbak sebenarnya malu kamu sampai tau aib rumah tangga kami.”“Apa Mbak Tania yakin kalau Fahry masih menjalin hubungan dengan Nasya. Sepertinya Fahry sudah menyesal loh, Mbak. Maaf, aku berkata seperti ini bukan karena Fahry adalah sahabatku, tapi aku hanya tak ingin Nasya memanfaatkan kesempatan ini dan memprovokasi Mbak Tania.”“Mbak merasa sudah tak sanggup, Gib. Mas Fahry memang mengatakan jika ia tak akan berhubungan dengan Nasya lagi, tapi pada kenyataannya mereka ke
“Maafkan aku, Tania. Jangan pergi dariku!” Suaranya bergetar. Aku menengadahkan wajah menatapnya. Bibirnya biru, sepertinya ia sedang kedinginan.“Masuk dulu, Mas. Kelihatannya kamu kedinginan.”Di villa memang selalu disediakan teko listrik untuk air panas beserta teh dan kopi serta segala perlengkapannya. Maka dengan segera kupanaskan air untuk membuatkan minuman hangat untuknya. Kulangkahkan kakiku dengan kaku mendekatinya sambil membawa kopi kental yang masih mengepul.“Terima kasih,” ucapnya, dari mulutnya keluar asap menandakan ia memang sedang kedinginan.“Udah tau mau kemari kenapa hanya berpakaian seperti ini, Mas?” Kurapatkan jaket tebal yang kupakai.“Khanza turun dulu, ya. Ayah mau minum kopinya dulu,” ucapnya pada putrinya. Khanza pun turun dari pangkuannya. Gadis kecil itu sejak tadi hanya memeluk erat Mas Fahry, rupanya ia memang sangat merindukan ayahnya.“Aku buru-buru, Tania. Pas dokter brengsek itu bilang kamu lagi di sini, aku langsung kemari.”“Gibran ke sini nemu
Kudengar suara-suara beberapa orang di sekelilingku, mataku terasa begitu berat untuk terbuka namun aku memaksakan membuka mataku karena penasaran dengan suara-suara di sekelilingku.“Tania ... kamu sudah sadar?” Itu suara Mas Fahry. Aku bisa merasakan tangannya sedang menggenggam tanganku. “Tunggu sebentar ya, aku panggil perawat,” lanjutnya.‘Perawat? Kenapa panggil perawat? Sebenarnya aku kenapa?’ Benakku masih terus berusaha mengumpulkan ingatanku sebelum ini.Lalu beberapa petugas medis benar-benar datang menghampiriku. Apa aku sedang berada di rumah sakit? Tapi bukannya aku sedang berada di villa bersama Khanza dan Mas Fahry. Lalu aku teringat pekikan terakhir Mas Fahry dan pertanyaan Khanza.“Tania! Berhenti di situ!”“Kenapa kaki bunda berdarah?”“Mbak Tania sudah enggak apa-apa. Alhamdulillah janinnya masih bisa bertahan setelah pendarahan tadi.” Suara perawat itu membuatku terkesiap.Lalu kutatap mata Mas Fahry yang tengah mendengarkan penjelasan dari petugas medis tadi. Ia
“Kita pulang sekarang, Mas!” Kukibaskan selimut klinik yang menutupi tubuhku.Mas Fahry berusaha menahan tubuhku lalu meraih ponsel dalam genggamanku.“Shitt!!” umpatnya setelah membaca pesan dari Nilam.“Kamu tenang dulu, Sayang. Kita enggak bisa pulang sekarang, ini sudah malam dan kamu baru saja mengalami pendarahan ringan, kamu harus istirahat.”“T-tapi Nilam, Mas! Aku takut terjadi apa-apa padanya.”Mas Fahry menyugar kasar rambutnya.“Meski kita pulang sekarang, kita juga enggak bisa ngapa-ngapain, Tania. Nilam sendiri enggak tau dia sedang berada di mana sekarang.”Mas Fahry benar. Ya Allah, Nilam! Apa yang terjadi pada adikku satu-satunya itu. Kulihat Mas Fahry seperti sedang mengingat sesuatu.“Kamu nyimpan nomor Gibran?”“Ada di kontakku. Kenapa?”“Ponselku tadi ketinggalan di villa karena aku panik dan buru-buru mengangkatmu saat kamu pingsan. Aku akan mengubungi Gibran, kakaknya adalah salah satu petinggi di institusi kepolisian, kupikir kita bisa meminta bantuan padanya,”
Aku mengucap hamdalah, bersyukur bahwa adikku sudah bisa kembali dan dalam keadaan aman sekarang.“Aku ikut.” Kuraih tangan Mas Fahry yang baru selangkah menjauh.“Jangan, Sayang. Kamu harus banyak istirahat, biar aku yang urus.”Akhirnya Mas Fahry luluh, meski akhirnya ia mengatakan bukan hanya mengkhawatirkanku tapi ia juga tak ingin aku sering-sering bertemu dengan Gibran.“Dokter gila itu pernah menyukaimu, Tania,” ucapnya setelah mobilnya sudah melaju di jalan raya.“Aku tak punya hak mengatur perasaan orang, Mas. Lagian kamu kok gitu padanya, ngatain gila lah, brengsek lah, dokter enggak jelas lah! Padahal Gibran udah baik banget dan banyak membantu kita selama ini.”“Ini nih yang kutakutkan. Kamu punya rasa kagum padanya.”“Ck! Aku berkata sesuai kenyataan, Mas. Lagian aku tau batasanku dalam bergaul.”Ia melirikku sekilas, kurasa kalimatku barusan sedikit menyinggung perasaannya. Karena ia dan Nasya memang sudah melanggar batasan pergaulan selama ini.“Maaf jika Mas Fahry mera
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep