Maha pernah di tanyai perihal impian. Dan yang menjawab secara detail hanya wajahnya yang datar. Pikirnya, di umurnya yang sudah matang—30 tahun—tidak muluk-muluk tentang impian. Cukup menjadi bahagia versi dirinya sudah lebih dari cukup.Tapi ketika kedua kakinya menapaki aula hotel yang megah. Tamu undangan terbatas. Kedua matanya kosong. Pancaran wajahnya redup. Maha tahu, dirinya tidak baik-baik saja.Pagi ini, di sambut gerimis awet mengguyur Jakarta. Dan menempuh jarak ke karawang, Maha butuh ruangan bernapas. Dunia tidak seadil ini untuk perjalanan hidupnya. Terlahir hanya dengan papanya tanpa tahu siapa mamanya. Seperti apa rupanya. Bagaimana hangatnya pelukan mama. Senangnya di sambut, di beri ucapan, di puji karena berhasil dan menikmati masakan tangan mamanya. Tidak sekali pun Maha dapatkan.Begitu dewasa, melemparkan kesakitannya, Maha badung. Mabuk, mencari penghangat ranjang, membawa wanita mana pun untuk bisa dirinya lampiaskan kebejatannya. Sekarang Maha tahu maksud
Read more