Semua Bab Pembalasan Istri Sah Ditinggal Kawin Saat Jadi TKI: Bab 41 - Bab 50

78 Bab

Sahabat Lama

“Pantas saja anak itu dingin sekali. Ternyata dia anakmu," ucap Daffin sembari mencebikkan bibir. "Apa maksudmu?" tanya pria yang duduk berhadapan dengan Daffin. Jas yang tadi ia kenakan sudah lepas dari tubuhnya dan tersampir di sandaran kursi yang ia duduki. "Kenapa juga dia harus mirip denganmu? Kenapa tidak mirip dengan Zahra saja. Setidaknya dia lebih ramah," sanggah Daffin lagi yang mendapat tatapan tajam dari pria itu. "Memangnya kenapa kalau mirip denganku? Dia 'kan anakku." "Mas, sudah. Kalian ini kalau ketemu nggak pernah akur, deh." Wanita yang duduk di samping pria itu menengahi perdebatan dua pria dewasa tersebut. Wanita bernama Zahra tersebut beralih pada Dita. "Maaf, ya, Dita. Kalau telinga kamu nanti merasa panas mendengar dan melihat tingkah kekanak-kanakan mereka."Dita hanya mengangguk dan tersenyum pada wanita itu. "Calon suami kamu ini sampai sekarang nggak terima kalau aku lebih unggul dari dia," ucap pria itu. "Ck. Kepedeanmu rupanya masih sama." Daffin te
Baca selengkapnya

Tamu Tak Terduga

Hari yang ditunggu Neira akhirnya tiba juga. Anak itu menunggu dengan tidak sabar kedatangan keluarga Elang. Sejak semalam, ia sudah menanyakan jam berapa keluarga itu akan datang. “Neira sudah siapkan mainan yang banyak buat main sama Ghibran, Pa,” adu Neira saat Daffin masuk ke kamarnya. “Oh, ya? Pasti Ghibran senang nih, main sama kamu.”Daffin kemudian mengangkat tubuh putrinya ke dalam gendongan. “Cantik sekali anak papa ini,” pujinya yang berhasil membuat Neira tersipu. Silvia dan Haryanto yang mendapat kabar jika Elang dan Zahra akan berkunjung ke rumah mereka, tentu merasa sangat senang. Sudah lama mereka tidak bertemu dengan dua sahabat putranya tersebut. Dulu, saat masih dibangku kuliah, kedua orang itu sering sekali datang ke rumah mereka. Sebagai anak rantau, Silvia dan Haryanto sangat menyambut hangat keduanya. “Ghibran ….” Neira berlari ke arah mobil Elang yang berhenti di depan rumah mereka. Namun, langkah gadis kecil itu terhenti saat anak laki-laki yang berhenti
Baca selengkapnya

Mama ...

“Mama Dita ….”Sebuah senyum mengembang di kedua sudut bibir Dita bersamaan dengan air mata yang semakin deras. Anak perempuan itu menghampiri Dita yang berdiri di ambang pintu. “Mama ….” Mata anak itu sudah berkaca-kaca. Dita jongkok dan memeluk anak itu. Antara terharu dan kaget telah melebur menjadi satu. Itu adalah pertama kalinya Devina memanggil dengan sebutan mama padanya. Apa itu artinya anak itu tahu jika Dita adalah mama kandungnya?Dita kemudian mengajak keduanya untuk duduk di kursi yang ada di teras rumah. “Teh Dita apa kabar?” tanya gadis yang dulu sangat dekat dengan Dita. Ya, dia adalah Alya, adik mantan suaminya. “Alhamdulillah, baik,” jawab Dita. Manik matanya tidak lepas dari anak perempuan berusia 8 tahun yang duduk di sampingnya.“Maaf kami datang mendadak dan nggak kasih kabar dulu sama Teh Dita. Alya nggak tahu harus hubungi siapa,” imbuh gadis yang duduk di samping Devina. “Kamu tahu alamat ini dari siapa?” tanya Dita pada Alya. “Dari A Bimo, Teh. A Bi
Baca selengkapnya

Ya, Apa?

“Mama Nadiya sama Nenek sudah pulang, ya, Bi?” tanya Devina ditengah perjalanan mereka. “Mamah pasti marah sama kita,” imbuh anak itu. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di punggung Alya. “Vina tenang aja. Bilang aja kalau kita habis main ke rumah teman bibi.” Alya meyakinkan keponakannya jika semua akan baik-baik saja. Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit, mereka tiba di sebuah rumah sederhana berpagar besi. Alya langsung memasukkan motornya ke dalam teras. “Kalian dari mana saja?” Pertanyaan itu terlontar saat pintu rumah terbuka dan Nadiya adalah orang yang bertanya tersebut. “Habis dari rumah temanku, Teh. Tadi aku ajakin Devina karena kasihan kalau dia nunggu di rumah sendiri. A Bimo kan harus kerja,” jawab Alya. Sedangkan Devina hanya diam. “Benar, Vina?” tanya Nadiya. Wanita itu menghampiri Devina dan merengkuh pundak anak itu. “Kamu nggak lagi bohongin mamah, ‘kan? Vina tahu kalau Vina bohong, mamah akan sedih.”Devina mengangguk pelan. Tidak berani menjaw
Baca selengkapnya

Jangan Menampik

“Saya tidak tahu, Tuan. Semakin saya menampik, rasanya semakin sulit untuk saya kendalikan,” imbuh Dita dengan jujur. “Jangan. Jangan kamu tampik, Ta. Biarkan saja dia bersemi,” tukas Daffin. “Ya. Mungkin sebaiknya saya biarkan saja rasa itu, Tuan. Saya tidak bisa menjanjikan apa pun kedepannya. Saya hanya ingin mengikuti ke mana takdir membawa saya. Saya tidak ingin lagi menghindar apalagi menepis segala yang sudah ditakdirkan untuk saya. Terkadang, semakin keras kita menginginkan sesuatu, Tuhan akan semakin menjauhkan itu dari kita. Terkadang Tuhan bukan menolak, tetapi hanya menunda sampai waktu yang benar-benar tepat untuk kita mendapatkannya. Sama seperti saat saya berusaha untuk melupakan A Bimo. Semakin saya berusaha untuk melupakan dia, yang tergambar jelas hanya kenangan manis saat kami bersama. Ingin membenci dan mengingat semua keburukan yang dia lakukan pada saya, tetapi rasanya begitu sulit. Perlahan, saya coba untuk menerima takdir yang sudah Tuhan gariskan. Saya tidak
Baca selengkapnya

Dia Tidak Bisa Berenang

Semua keperluan untuk liburan selama dua hari di tempat yang Dita ceritakan sudah wanita itu kemas. Elang dan keluarganya juga ikut bersama mereka. Tidak lupa Silvia dan Haryanto juga ikut bersama mereka. Liburan kali ini benar-benar menjadi liburan keluarga. “Nanti Neira mau cari kerang yang banyak sama Ghibran,” celoteh Neira yang sedang mengemas barang miliknya ke dalam tas ransel berwarna pink. Kedua anak itu memang semakin dekat karena mereka sekolah di tempat yang sama dan les piano di tempat yang sama pula. Dita juga semakin dekat dengan Zahra karena mereka sering menghabiskan waktu bersama saat menunggu anak-anak sekolah atau les. Walaupun Ghibran terlihat begitu cuek, tetapi anak itu mulai terbiasa dengan kehadiran Neira di sekitarnya. Yang terlihat lebih antusias bermain dengan Neira adalah Zio. “Di sana kita bisa naik perahu, nggak, Ma?” tanya Neira di sela kegiatan mengemas barang yang akan mereka bawa. “Bisa, kalau kita ingin pergi ke pulau seberang.”“Wah, pasti ser
Baca selengkapnya

Menerima

“Ini bukan salah Tuan Daffin, A. Aku nggak pernah cerita sama dia tentang ketakutanku.” Dita membela Daffin.  Bimo hanya berdecak dan tersenyum getir mendengar Dita yang membela pria yang sedang menatap khawatir padanya itu. Entah kenapa rasanya sakit dan masih saja tidak rela. Namun, ada hal yang membuat Bimo penasaran. Kenapa Dita memanggil pria itu dengan sebutan Tuan? “Sebaiknya kita bawa Dita ke  Villa saja, Fin.” Elang menengahi kegaduhan di sana.  “Biar aku bantu Dita.” Zahra memindahkan Neira ke gendongan suaminya. Ia tahu, Dita tidak akan nyaman jika harus berjalan dengan dipapah oleh Daffin atau pria lain di samping Dita. “Biar Devina ikut bersama ka
Baca selengkapnya

Menikah Sekarang Biar Jadi Jodoh

Seketika Daffin menatap Dita. Meminta agar wanita itu mengulang kembali kalimat yang tadi diucapkan. “Apa saya boleh menerima permintaan Anda sekarang, Tuan?” Dita menatap lurus ke depan. “Tapi Saya takut,” imbuhnya. “Apa ini ada hubungannya dengan pria itu?” tanya Daffin, memastikan. Dita mengangguk tanpa mau menoleh pada pria di sampingnya. “Ini terkesan seperti saya memanfaatkan Anda.” “Apa yang membuatmu takut, Ta? Ceritakan!” pinta Daffin. “Masih ada keraguan di dalam diri saya untuk menjalin hubungan dengan orang baru, itu kenapa saya memilih untuk menahan dan mengendalikan perasaan saya selama ini. Saya takut gagal. Takut akan ditinggalkan karena kekurangan saya, takut akan kembali mendapatkan pengkhianatan, dan takut tidak bisa memberikan yang terbaik untuk pasangan saya. Saya hanya wanita yang penuh kekurangan. Mungkin itulah yang membuat saya ditinggalkan,” tutur Dita. Setetes air mata meluncur dari sudut matanya. Daffin menyadari itu. “Bukankah memang tidak ada ma
Baca selengkapnya

Sah

Sah?Sah!Sah!Sah!Ucapan itu terdengar di ruang tamu vila. Sengaja Dita meminta acara akad dilaksanakan di vila tempat mereka menginap agar tidak mengundang perhatian banyak orang. Daffin menghela napas lega setelah janji tertinggi pada Tuhan berhasil ia ikrarkan. Penghulu memimpin doa setelah akad. Setelah itu, kedua pasangan pengantin menyematkan cincin di jari pasangan mereka. Degup jantung Dita tidak terkendali saat tangan Daffin menyentuh ubun-ubunnya dan pria itu merapalkan doa sesuai dengan tuntutan agama. Darahnya berdesir saat ia merasakan sentuhan lembab dari bibir suaminya di keningnya. Ini memang bukan yang pertama untuk keduanya. Namun, getar rasa yang tak asing dan kegugupan itu masih saja ada.“Mama ….” Neira yang duduk di pangkuan sang nenek, segera berlari menghampiri Dita. “Mama sekarang beneran jadi mamanya Neira, ‘kan?” Mata bulat berhias bulu lentik itu mengerjap pelan. Dita mengangguk dan Neira segera memeluknya. “Terima kasih, Mama. Neira senang sekali,”
Baca selengkapnya

Kamu Menyebalkan!

Sebuah  tinjuan mendarat di pipi Daffin. Pria itu tidak bisa menghindar dengan pukulan yang tiba-tiba tersebut.  “Kau sudah gila, Bimo!” Pria yang berdiri di samping Bimo menarik Bimo. Wajahnya terlihat gusar.  “Mas!” Dita berlari menghampiri suaminya. Memastikan keadaan pria itu. Daffin memang tidak sampai jatuh, hanya terhuyung ke belakang. “Kamu gila, A!” bentak Dita pada Bimo. “Ta. Ak—” “Cukup! Ternyata aku memang pantas membencimu! Kamu sudah sangat keterlaluan. Aku tidak bisa memaafkan perbuatanmu kali ini!” Geram Dita. Ia beralih menatap pria  yang berdiri di samping Bimo. Ia kenal siapa pria itu. “A Bayu, tolong bawa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status