“Saya tidak tahu, Tuan. Semakin saya menampik, rasanya semakin sulit untuk saya kendalikan,” imbuh Dita dengan jujur. “Jangan. Jangan kamu tampik, Ta. Biarkan saja dia bersemi,” tukas Daffin. “Ya. Mungkin sebaiknya saya biarkan saja rasa itu, Tuan. Saya tidak bisa menjanjikan apa pun kedepannya. Saya hanya ingin mengikuti ke mana takdir membawa saya. Saya tidak ingin lagi menghindar apalagi menepis segala yang sudah ditakdirkan untuk saya. Terkadang, semakin keras kita menginginkan sesuatu, Tuhan akan semakin menjauhkan itu dari kita. Terkadang Tuhan bukan menolak, tetapi hanya menunda sampai waktu yang benar-benar tepat untuk kita mendapatkannya. Sama seperti saat saya berusaha untuk melupakan A Bimo. Semakin saya berusaha untuk melupakan dia, yang tergambar jelas hanya kenangan manis saat kami bersama. Ingin membenci dan mengingat semua keburukan yang dia lakukan pada saya, tetapi rasanya begitu sulit. Perlahan, saya coba untuk menerima takdir yang sudah Tuhan gariskan. Saya tidak
Semua keperluan untuk liburan selama dua hari di tempat yang Dita ceritakan sudah wanita itu kemas. Elang dan keluarganya juga ikut bersama mereka. Tidak lupa Silvia dan Haryanto juga ikut bersama mereka. Liburan kali ini benar-benar menjadi liburan keluarga. “Nanti Neira mau cari kerang yang banyak sama Ghibran,” celoteh Neira yang sedang mengemas barang miliknya ke dalam tas ransel berwarna pink. Kedua anak itu memang semakin dekat karena mereka sekolah di tempat yang sama dan les piano di tempat yang sama pula. Dita juga semakin dekat dengan Zahra karena mereka sering menghabiskan waktu bersama saat menunggu anak-anak sekolah atau les. Walaupun Ghibran terlihat begitu cuek, tetapi anak itu mulai terbiasa dengan kehadiran Neira di sekitarnya. Yang terlihat lebih antusias bermain dengan Neira adalah Zio. “Di sana kita bisa naik perahu, nggak, Ma?” tanya Neira di sela kegiatan mengemas barang yang akan mereka bawa. “Bisa, kalau kita ingin pergi ke pulau seberang.”“Wah, pasti ser
“Ini bukan salah Tuan Daffin, A. Aku nggak pernah cerita sama dia tentang ketakutanku.” Dita membela Daffin.Bimo hanya berdecak dan tersenyum getir mendengar Dita yang membela pria yang sedang menatap khawatir padanya itu. Entah kenapa rasanya sakit dan masih saja tidak rela. Namun, ada hal yang membuat Bimo penasaran. Kenapa Dita memanggil pria itu dengan sebutan Tuan?“Sebaiknya kita bawa Dita ke Villa saja, Fin.” Elang menengahi kegaduhan di sana.“Biar aku bantu Dita.” Zahra memindahkan Neira ke gendongan suaminya. Ia tahu, Dita tidak akan nyaman jika harus berjalan dengan dipapah oleh Daffin atau pria lain di samping Dita.“Biar Devina ikut bersama ka
Seketika Daffin menatap Dita. Meminta agar wanita itu mengulang kembali kalimat yang tadi diucapkan. “Apa saya boleh menerima permintaan Anda sekarang, Tuan?” Dita menatap lurus ke depan. “Tapi Saya takut,” imbuhnya. “Apa ini ada hubungannya dengan pria itu?” tanya Daffin, memastikan. Dita mengangguk tanpa mau menoleh pada pria di sampingnya. “Ini terkesan seperti saya memanfaatkan Anda.” “Apa yang membuatmu takut, Ta? Ceritakan!” pinta Daffin. “Masih ada keraguan di dalam diri saya untuk menjalin hubungan dengan orang baru, itu kenapa saya memilih untuk menahan dan mengendalikan perasaan saya selama ini. Saya takut gagal. Takut akan ditinggalkan karena kekurangan saya, takut akan kembali mendapatkan pengkhianatan, dan takut tidak bisa memberikan yang terbaik untuk pasangan saya. Saya hanya wanita yang penuh kekurangan. Mungkin itulah yang membuat saya ditinggalkan,” tutur Dita. Setetes air mata meluncur dari sudut matanya. Daffin menyadari itu. “Bukankah memang tidak ada ma
Sah?Sah!Sah!Sah!Ucapan itu terdengar di ruang tamu vila. Sengaja Dita meminta acara akad dilaksanakan di vila tempat mereka menginap agar tidak mengundang perhatian banyak orang. Daffin menghela napas lega setelah janji tertinggi pada Tuhan berhasil ia ikrarkan. Penghulu memimpin doa setelah akad. Setelah itu, kedua pasangan pengantin menyematkan cincin di jari pasangan mereka. Degup jantung Dita tidak terkendali saat tangan Daffin menyentuh ubun-ubunnya dan pria itu merapalkan doa sesuai dengan tuntutan agama. Darahnya berdesir saat ia merasakan sentuhan lembab dari bibir suaminya di keningnya. Ini memang bukan yang pertama untuk keduanya. Namun, getar rasa yang tak asing dan kegugupan itu masih saja ada.“Mama ….” Neira yang duduk di pangkuan sang nenek, segera berlari menghampiri Dita. “Mama sekarang beneran jadi mamanya Neira, ‘kan?” Mata bulat berhias bulu lentik itu mengerjap pelan. Dita mengangguk dan Neira segera memeluknya. “Terima kasih, Mama. Neira senang sekali,”
Sebuah tinjuan mendarat di pipi Daffin. Pria itu tidak bisa menghindar dengan pukulan yang tiba-tiba tersebut.“Kau sudah gila, Bimo!” Pria yang berdiri di samping Bimo menarik Bimo. Wajahnya terlihat gusar.“Mas!” Dita berlari menghampiri suaminya. Memastikan keadaan pria itu. Daffin memang tidak sampai jatuh, hanya terhuyung ke belakang. “Kamu gila, A!” bentak Dita pada Bimo.“Ta. Ak—”“Cukup! Ternyata aku memang pantas membencimu! Kamu sudah sangat keterlaluan. Aku tidak bisa memaafkan perbuatanmu kali ini!” Geram Dita. Ia beralih menatap pria yang berdiri di samping Bimo. Ia kenal siapa pria itu. “A Bayu, tolong bawa
Karena Haryanto pulang lebih dulu, akhirnya Daffin ditemani oleh sekretarisnya untuk bergantian menyetir mobil. Sepanjang perjalanan, pria itu terus menempel pada Dita. Neira sampai kesal dibuatnya. "Papa ‘kan sudah besar. Ngapain nempel-nempel terus sama Mam? Protes Neira "Papa duduk di depan aja, deh.""Kamu 'kan udah sering bareng sama Mama, Sayang. Sekarang gantian biar papa deket-deket Mama." Daffin menatap manja pada putrinya. "Enggak bisa gitu, Papa. Papa harusnya malu sama Om Dimas. Papa itu lebih tua dari Om Dimas, tau." Dita terkekeh mendengar omelan Neira. Daffin mencebik. "Papa hanya lebih tua dua tahun dari Om Dimas, Sayang. Lagian, wajah papa jauh terlihat lebih muda dari Om Dimas, kok. Iya, 'kan, Dim?" Daffin meminta persetujuan sekretaris pribadinya itu. "Anda terlalu percaya diri, Pak," sanggah Dimas. Daffin berdecak mendengar jawaban pria yang sedang mengemudikan mobil tersebut. "Buktinya aku udah laku dua kali, Dim. Sedangkan kau? Pacaran saja nggak pernah.
Ada yang berbeda subuh ini saat Dita baru memejamkan mata. Ia sempat terkejut saat melihat lengan kekar melingkar di perutnya. Sesaat kemudian ia mengulum senyum setelah menyadari jika dia dan Daffin sudah menikah. Pria itu benar-benar memenuhi janjinya jika malam tadi mereka hanya tidur. Daffin hanya ingin ditemani tidur saja.Perlahan Dita melepaskan pelukan Daffin dan turun dari tempat tidur. Ia bergegas membersihkan diri sambil menunggu azan subuh berkumandang. Setelah selesai membersihkan diri, ia kembali ke kamar suaminya dan membangunkan pria itu. "Mas, bangun yuk. Sholat subuh dulu." Dita mengusap lembut pipi suaminya. Daffin mengerjap pelan dan kemudian mengulas senyum tipis. "Selamat pagi, Sayang. Jam berapa ini?" sapanya. Berusaha untuk membuka mata sempurna. "Masih subuh, Mas. Bangun, yuk. Sebentar lagi azan subuh. Siap-siap dulu." Dita yang duduk di sisi tempat tidur, menatap suaminya. Entah kenapa ia suka melihat wajah suaminya saat bangun tidur. Itu tidak mengh
Tidak selamanya manusia akan berkubang terus dalam kesedihan. Pasti akan ada masanya Tuhan memberikan tawa setelah tangis. Memang tidak berbalas seketika itu juga, tetapi pasti akan ada masanya untuk bahagia. Semua hal pahit sudah Dita lalui dan sekarang ia sedang memanen buah dari kesabaran dan keikhlasannya selama ini. Bukan berarti kesedihan dan masalah tidak akan menghampiri lagi, tetapi untuk saat ini, Dita ingin menikmati hadiah terindah tersebut.Mempunyai suami yang begitu mencintainya, mertua yang sangat menyayanginya dan dua buah hati dari cintanya bersama Daffin. Devina pun telah tumbuh menjadi gadis remaja yang pintar dan berprestasi di sekolahnya saat ini. Dia berhasil membuktikan janjinya pada papa sambungnya tersebut jika dia memang layak masuk dalam keluarga Daffin. Walaupun, Daffin tidak pernah menuntut putri sambungnya tersebut, tetapi Devina ingin membanggakan sang mama dan membuat dirinya berarti untuk orang-orang di sekitarnya. Neira juga tumbuh menjadi gadis y
Terkadang sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan kehendak kita pada anak kita. Terkadang menuntut mereka untuk mendengarkan kita, tetapi kita tidak berkaca, apakah kita juga bisa mendengarkan mereka? Menerima pemikiran mereka dan meluruskan kesalahan tanpa ego sebagai kepalanya. Devina sedang melakukan protes atas sikap Nadiya yang mulai berbeda padanya. Dan juga Bimo yang semakin sibuk bekerja dan tidak memberikan perhatian seperti dulu. Nadiya yang ikut bekerja, terkadang pulang dengan keadaan lelah dan lebih sering marah-marah. Devina merasa apa yang dia lakukan selalu salah di mata ibu sambungnya itu. Dia sudah berusaha sebisa mungkin membantu, tetapi tidak dianggap sama sekali. "Vina mau tinggal sana nenek aja, Yah." Devina pernah meminta izin ayahnya untuk kembali tinggal dengan sang nenek di desa ayahnya, tetapi dengan cepat Nadiya menolak. "Kamu mau bikin nama mama semakin jelek di mata nenekmu? Dia akan semakin berpikir kalau mama ini gak becus ngurus kamu!" sentak
Nadiya bisa menangkap sorot ketakutan di mata Dita. Wajah Dita terlihat pucat. "Ini hanya bagian dari masa lalu istriku dan tidak ada hubungannya dengan saat ini. Istriku juga tidak bertanggung jawab atas perasaanmu saat ini, Bimo!" tegas Daffin. Dita hanya diam menatap wajah suaminya. Meskipun pria itu mengulas senyum, tak lantas membuat Dita tenang. "Mas …." Dita tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Foto itu kembali mengingatkan dirinya akan sebuah kenangan buruk di masa lalu. "Itu hanya sebuah foto, Sayang. Bisa saja itu editan," imbuh Daffin. Ia menggenggam erat tangan sang istri. "Itu adalah foto asli, Daffin. Kami mendapatkan foto itu dari sumber yang akurat." Bimo menanggapi ucapan Daffin. "Lalu? Kalau foto itu asli, apa yang akan kamu lakukan pada istriku? Menuntut tanggung jawab atas sebuah pengkhianatan?" sahut Daffin. Ia memicing, menatap tegas pria yang duduk di depannya itu. "Bimo, Bimo. Bukankah ini sangat lucu? Kalian mempersalahkan kejadian di masa lalu istriku.
Waktu terus berputar tanpa ada satu manusia pun yang bisa menghentikannya. Semua sudah berjalan sesuai dengan apa yang sudah digariskan oleh sang pencipta kehidupan. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya dengan kehidupan kita. Kedekatan Dita dan Nadiya, istri mantan suaminya, kini jadi merenggang karena perdebatan lewat chat antara keduanya. Semua bermula saat Nadiya mulai mengeluhkan kelakuan Devina yang terkesan susah di atur. Semenjak masuk SMA, Devina sudah ikut menetap tinggal bersama Bimo dan Nadiya di Bandung. Perdebatan itu mulai memanas manakala Nadiya mulai mengatakan kalimat yang tidak pantas yang terkesan menyalahkan Dita dan menyamakan jika sifat Devina itu menurun dari sifat sang mama."Dia udah keterlaluan, Mas. Kayaknya kita harus susul Devina, deh, Mas." Dita sedang mengadukan perihal konflik dirinya dengan Nadiya. "Minggu ini kita ke sana, ya, Sayang. Kita bicara baik-baik sama Bimo dan Nadiya. Biar Devina tinggal sama kita saja. Nanti aku minta D
Dokter segera melakukan penanganan untuk membuat bayi yang baru dilahirkan itu menangis. “Mas, anak kita ….”“Dokter sedang melakukan penanganan, Sayang. Anak kita pasti akan baik-baik saja.” Daffin menenangkan istrinya walaupun ia sendiri sedang takut. Setelah beberapa menit, suara tangis bayi memenuhi ruang bersalin Dita. Daffin dan Dita segera mengucap syukur. Ia mengecup lama kening sang istri sambil berbisik. "Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang." Dita tak kuasa menahan rasa haru atas kelahiran putra mereka. Rasa sakit yang dirasa seakan menguar begitu saja. Sementara itu, di luar ruangan bersalin. Beberapa orang sedang menunggu dengan cemas salah satu keluarga mereka yang sedang berjuang di dalam sana. Alfin Bagaskara, adalah nama yang diberikan Daffin untuk bayi mungil berkulit merah dengan hidung mancung dan rambut tebal tersebut. Dita dan bayinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Alhamdulillah, tidak ada hal yang mengkhawatirkan pada bayi mereka. "Pa, kenapa dede
Pertemuan Nadiya dan Dita beberapa hari lalu membuat Alya datang ke rumah wanita itu pula. Beberapa hari lalu, Nadiya datang karena ingin meminta bantuan Dita untuk membujuk agar Devina mau tinggal bersamanya. Nadia meminta bantuan agar Dita mau membujuk ibu mertuanya supaya mengizinkan Devina tinggal di Bandung bersamanya dan Bimo. “Aku nggak tahu kenapa ibunya A Bimo kekeuh nggak kasih izin Devina buat tinggal sama kami, Dita. Aku capek kalau harus dibilang ibu sambung yang nggak bertanggung jawab, sama orang-orang desa. Setiap kali aku datang nengokin ibu dan Devina ke desa, mereka seolah menatapku dengan kebencian. Aku nggak tahu omongan apa yang udah mereka dengar. Ibu juga masih selalu banding-bandingin aku sama kamu. Katanya semenjak A Bimo nikah sama aku, A Bimo jarang banget kasih uang bulanan buat ibu. Hanya kirim untuk Devina saja. Aku harus gimana, Dita? Aku mau bawa Devina ikut kami, tapi Ibu nggak izinin. Devina ikut dengan Ibu pun, malah jadi omongan.”Dita tidak membe
Berbeda dengan Daffin yang sedang mengembangkan senyumnya saat turun dari mobil setelah tiba di rumah. Senyum itu justru tidak terlihat sama sekali di wajah Dimas. “Tidak usah mengantarku sampai ke dalam, Dim. Kau langsung pulang saja. Istirahatlah,” ucap Daffin saat Dimas hendak turun membuka pintu mobil untuk pria itu. “Kau sudah bekerja keras hari ini,” sambungnya diiringi dengan seringai dan tepukan pelan di pundak kiri Dimas.“Selamat menikmati rujak Anda, Pak.” Daffin tertawa mendengar ucapan Dimas dan ia segera turun dari mobil. Dimas segera melajukan mobil meninggalkan kediaman Daffin. “Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir dia bertingkah aneh dan menyebalkan seperti itu,” gerutu Dimas. “Ah, aku ingin berendam di air hangat untuk mengembalikan kewarasan otakku.”Mari kita kembali pada kejadian sebelum mereka tiba di rumah Daffin.Dimas yang saat itu terkejut melihat apa yang diinginkan Daffin, seketika membulatkan mata dan kembali bertanya pada pria itu apakah dia b
Berita kehamilan Dita juga menjadi kabar bahagia untuk Neira. Gadis kecil itu tidak mau lepas dari Dita. Sepanjang jalan pulang, ia terus menempel pada sang mama. Daffin tidak kembali lagi ke kantor setelah dari rumah sakit. Ia langsung kembali ke rumah bersama Dita. Ia ingin memastikan kalau istrinya benar-benar istirahat dengan baik.“Aku udah nggak kenapa-kenapa, Mas.” Dita meyakinkan suaminya saat pria itu mengantarnya ke kamar. Setelah acara resepsi pernikahan mereka, pasangan itu langsung menempati rumah baru mereka. “Aku nggak mau sampai kamu pingsan lagi karena kecapean, Sayang.” Daffin membantu Dita untuk duduk di atas tempat tidur. “Mama ….” Neira berlari menghampiri mamanya. Neira mau bobok siang sama Mama dan Dede bayi,” rengek Neira yang sudah duduk di pangkuan sang papa.“Iya, Sayang, boleh. Sini bobo sama mama.” Dita menepuk sisi tempat tidur di sampingnya. “Yey.” Neira segera berpindah kegirangan. “Neira udah nggak sabar pengen ketemu sama dede bayi,” ucap Neira s
Bimo dan Nadiya tidak pernah menyangka jika suami Dita adalah Daffin Bagaskara. Bimo melihat dengan sangat jelas bagaimana Daffin menunjukkan kepemilikannya atas istrinya. Ia tidak akan bisa bersaing dengan Daffin. Ia sudah kalah dalam segi apa pun. Di mata Lastri, Tuhan sedang membalas semua penderitaan Dita selama ini dengan kebahagiaan dan cinta yang berlimpah dari suami dan keluarganya. Tuhan sudah membayar tangis kekecewaan itu dengan tawa dan ketulusan Daffin. Tanpa terasa, Lastri meneteskan air mata saat melihat pasangan pengantin. Di depan singgasana mereka. Semoga kebahagiaan ini akan selalu menaungi kamu, Ta. Jangan ada lagi air mata kesedihan yang kamu teteskan.Lastri mengusap sudut matanya. Dia adalah saksi dari perjuangan sahabatnya. Mereka yang tidak mengenal Dita mungkin hanya melihat betapa beruntungnya wanita itu bisa menjadi istri Daffin, mereka tidak pernah tahu bagaimana wanita itu selama ini berkubang dalam luka dan berteman dengan kekecewaan. ***Sang m