Home / Romansa / DOSA TERINDAH / Chapter 151 - Chapter 160

All Chapters of DOSA TERINDAH: Chapter 151 - Chapter 160

476 Chapters

Bab 150

[Jam berapa ke pengadilan, Aya?][Kalau perlu diantar aku bisa nyuruh orangku.]Dua pesan dari IN. Aku menelan ludahku kasar. Aku memang mengatakan padanya waktu itu bahwa akan mendaftarkan gugatan hari senin ini. Dan ini kali pertama dia kembali menghubungiku setelah menginap di rumahnya malam itu. Aku memang menyuruhnya tak menghubungiku sebelum semuanya jelas. Kurasa aku harus bicara banyak padanya, hingga aku memilih melakukan panggilan telepon ke nomornya.“Van.”“Iya, Sayang.”Ada yang runtuh di dalam hatiku.“Ada apa, Aya?” Dia kembali bertanya saat aku terdiam.“Aku ... nggak jadi menggungat cerai Mas Adam.”“Oh.”Hanya itu jawabannya. Padahal kurasa ada banyak hal yang ingin dikatakannya.“Kami memutuskan untuk kembali mencoba.”“Adam udah ngakuin ini anaknya.”“Aku pergi dari rumah.”“Tapi dia membawaku kembali.”“Kami ingin mencoba kembali ... demi anak ini.”Dia sama sekali tak menjawab, sementara aku mengatakannya dengan kalimat terputus-putus.“Maafkan aku,” ucapku lagi.
last updateLast Updated : 2022-11-26
Read more

Bab 151

Mengakhiri pembicaraan di telepon dengan Ivan membuat pagiku tak bersemangat lagi. Ada yang hilang hati ini, bagian terindah yang selama ini memberi warna. Tapi aku tak berdaya, terkurung di bagian tergelap dalam hati.Kuurungkan niatku ke butik dan lebih memilih diam di rumah, merenungi kisah hidup yang membawaku hingga ke titik ini. Menyesali kenapa ada rasa lain yang terselip dalam pernikahanku. Tapi benarkah aku menyesalinya? Padahal dia adalah bagian terindah dari semua rasa yang pernah hadir. Kurasa bukan, aku bukan menyesali kehadirannya, tapi menyesali keadaan yang tak berpihak.Kenyataannya, kini aku terpuruk di sini, sendiri. Seindah apa pun perkenalanku dengannya, senyaman apa pun kebersamaan yang terjalin setelahnya, tapi perpisahan akhirnya menjadi bagian terpahit atas segala kisah yang pernah tercipta.“Nggak ke butik hari ini?” Mas Adam menyapa.Aku yang sedang duduk di sofa depan TV spontan menoleh heran. Ini bukan gaya khas nya. Biasanya dia tak pernah menyapa seperti
last updateLast Updated : 2022-11-28
Read more

Bab 152

“Aya.” Suaranya datar.Lalu dia mencium bibirku. Aku memejamkan mata, mencari sensasi yang timbul di sana. Namun, aku tak menemukan apa pun di sana, tak ada desiran halus itu, tak ada rasa yang menuntut lebih, tak ada keinginan untuk membalas, dan tak ada getaran apapun yang kurasakan seperti saat seseorang menciumku. Aku membuka mataku, lalu mendorong dadanya dengan perlahan hingga tautan bibirnya terlepas. Kulihat dia menggerakkan alisnya ke atas dengan ekspresi yang sangat tenang. Tak ada tatapan menuntut di sana, tak ada napas tersengal yang menuntut lebih dari itu, tak ada binar mata redup penuh damba di sana. Hanya ekspresi datar.“Katanya mau cuci piring,” ucapku mengalihkan perhatian.Dia tersenyum kaku. Lalu membalikkan badannya menghadap kitchen sink.Sementara aku masih berdiri di belakangnya, memikirkan apa yang baru saja terjadi.Dia menciumku. Kami berciuman. Namun, tak satu pun dari kami yang merasakan sensasi dari ciuman itu. Semua terasa hambar. Bagiku dan juga baginy
last updateLast Updated : 2022-11-28
Read more

Bab 153

Pagi ini, aku terbangun dengan sedikit rasa kram di perutku, sehingga membuatku memilih meringkuk di balik selimut meski cahaya matahari sudah masuk melalui sela-sela tirai jendela. Dengan malas aku membuka pintu ketika mendengar suara ketukan di pintu kamar.“Kok belum bangun?” Mas Adam menyapa.“Perutku lagi nggak enak banget.”Dia menatap sesaat.“Mas nggak kerja?” tanyaku saat melihatnya bukan dalam balutan baju kerja seperti biasanya.“Aku terbang ke Kalimantan siang nanti,” jawabnya.“Oh, iya.” Aku baru ingat semalam memang dia sudah mengatakan akan tugas ke Pulau Kalimantan.Ini adalah tugasnya yang pertama kalinya setelah keputusan ‘kembali mencoba bersama’ kami.“Mas.”“Hm.”“Aku ... boleh minta antar ke dokter dulu, nggak? Sebelum Mas berangkat.”Aku meminta dengan ragu-ragu.Dia menggaruk tengkuknya, lalu melirik arloji di tangan kirinya.“Aku sebentar lagi berangkat, Ay.”“Tapi perutku kram, Mas. Bukannya kamu penerbangan siang juga?”Kurasa ini saatnya aku sekalian menguj
last updateLast Updated : 2022-11-28
Read more

Bab 154

Memang pada Candra kuceritakan semuanya waktu itu, waktu aku memilih pulang ke rumah ibuku sebelum Mas Adam menjemput. Hanya pada Candra kubeberkan semua yang telah kualami selama tiga tahun ini, karena memang adik lelakiku ini lah yang paling bisa memahamiku. Selain dia!Dia yang kembali kuingat saat memasuki ruang kerjaku dan mendapati sebuah kursi santai di sana. Dia yang selalu ada di mana-mana, karena dia meninggalkan begitu banyak kenangan manis.“Abis ini temanin aku ke dokter ya, In. Tadinya Candra yang harusnya nemanin, tapi dia ada jadwal ujian pagi ini.”“Loh, Mbak Aya sakit?”“Hanya kram perut sih, In. Tapi sebaiknya kuperiksakan, takutnya bayinya kenapa-kenapa.”“Kok nggak diantar suami, Mbak?”Aku menoleh pada Iin dan gadis itu buru-buru meminta maaf.“Maaf, Mbak. Saya nggak bermaksud lancang.”“Nggak apa, In. Suamiku sedang sibuk, siang ini juga akan berangkat ke luar kota.”Iin mengangguk, lalu menyodorkan beberapa berkas pemesanan barang padaku untuk kusetujui.“Saya
last updateLast Updated : 2022-11-29
Read more

Bab 155

“Sering gini, Ay?” Kak Dian bertanya saat beberapa petugas medis menanganiku.“Biasanya hanya kram sebentar terus hilang, Kak. Baru kali ini sakit gini.”“Iya. Kamu sampai pucat banget tadi, Ay.”“Makasih, ya, Kak. Udah nolongin tadi.”Kak Dian mengangguk. Sejujurnya aku agak canggung, Kak Dian mau tak mau mengingatkanku pada seseorang.“Suami kamu mana, Ay?”Aku tak menjawab.“Aduh, maaf, ya. Udah lancang nanyanya.”“Nggak apa-apa, Kak,” jawabku, tapi aku memilih tak menjawab pertanyaannya.“Masih sakit?” tanya Kak Dian saat melihatku meringis.Aku mengangguk.“Kak Dian tadi ngapain ke butik?” Pertanyaan yang sedari tadi ingin kutanyakan.Dia menarik napas.“Nggak tau, Ay. Anak itu tiba-tiba saja nelpon aku tadi pagi-pagi buta.”Kak Dian menjeda, aku menunggunya meneruskan kalimat.“Terus dia mohon-mohon minta aku ke rumah kamu.”“Katanya lagi kepikiran kamu.”“Ya mana berani aku ke rumahmu, Ay. Takut dikira ada niat tersembunyi.”“Makanya aku memilih ke butikmu aja.”“Eh, nggak taun
last updateLast Updated : 2022-11-29
Read more

Bab 156

“Bareng siapa ke sini tadi?”Aku melirik ke arah Kak Dian.“Diantar Kak Dian.”“Kak Dian?”“Teman, pelanggan butik.”Lalu aku memperkenalkan Kak Dian padanya. Padahal aku tau dia pasti mengenali Kak Dian karena pernah melihatnya di rumah Ivan waktu itu.Kak Dian berpamitan setelahnya sebelumnya kami saling mencium pipi kiri kanan.“Cepat sembuh, ya, Aya. Dan semoga babynya sehat selalu.”Aku menatap punggung Kak Dian hingga hilang di balik pintu. Kak Dian datang pagi-pagi karena dipaksa oleh Ivan? Perasaannya nggak enak? Kok dia bisa ngerasain kalau aku sedang sakit? Tanpa sadar aku tersenyum sendiri, kemudian senyumku menguap begitu menyadari Mas Adam sedang menatap tajam padaku.“Aku tau dia siapa, Ay? Kenapa dia bisa ngantarin kamu?”Huhhh! Aku menarik napasku.“Aku juga nggak tau kenapa Kak Dian tiba-tiba saja datang ke butik, Mas.”“Kamu hubungi dia? Kamu minta tolong dia? Dia bersembunyi di balik kakaknya?”“Mas ... aku benar-benar nggak tau. Tadi karyawanku udah pesan taksi tap
last updateLast Updated : 2022-11-29
Read more

Bab 157

PoV AdamJangan pergi! Temani aku.Permintaan Aya sebenarnya membuatku sedikit berat untuk melangkah pergi meninggalkannya. Apalagi aku juga ingin sekali menemaninya USG dan melihat perkembangan janinnya di dalam sana. Tapi pekerjaanku sudah menunggu, dan tim ku bahkan sudah berada di bandara.Ada perasaan asing ketika melihat Aya menahanku untuk pergi. Ini pertama kalinya dia seperti itu, pertama kalinya dia seolah sangat membutuhkan kehadiranku. Tapi, akhirnya aku memilih untuk pergi.“Jangan manja, Aya. Ada mama yang nemanin,” ucapku sambil melepas cengkramannya di lenganku.Dan ternyata mama muncul tepat di saat aku keluar dari ruangan. Itu membuatku bisa bernapas lega. Setidaknya, mama bisa mengabariku mengenai keadaan bayi Aya.Satu hal lagi yang membuatku mengabaikan permintaan Aya untuk tinggal adalah, keberadaan seorang wanita yang dipanggilnya “Kak Dian” di sana. Terlebih lagi, ternyata Aya ke rumah sakit diantar oleh wanita itu, yang kukenali sebagai kakak dari Ivan. Lalu s
last updateLast Updated : 2022-12-01
Read more

Bab 158

Daerah tambang tempat kami ditugaskan kali ini terletak agak jauh di pedalaman. Jika biasanya aku dan tim akan menginap di hotel, maka kali ini kami hanya difasilitasi menginap di mess perusahaan. Letaknya yang masih terpencil membuat suasana mess sedikit mencekam karena berada di tengah hutan. Kulihat Nindya gelisah saat mengetahui kami akan menginap di mess ini untuk beberapa hari ke depan. Ya, entah mengapa aku selalu bisa membaca gadis ini. Mungkin karena intensitas kebersamaan kami selama ini membuatku sudah sangat paham dengannya.“Nggak usah takut, aku dan teman-teman yang lain kan juga nginap di sini.”Dia hanya melirikku sekilas.“Nanti aku minta kamar di sebelah kamarmu. Jadi kamu bisa minta tolong kalau ada apa-apa. Di sebelahnya juga teman yang lain, biar kamu ngerasa aman.”Dia mengangguk. Kami selalu seperti ini, sudah saling memahami karakter masing-masing tanpa harus bicara panjang lebar.Ternyata suasana di mess memang cukup membuat gadis yang terbiasa dengan keramaia
last updateLast Updated : 2022-12-01
Read more

Bab 159

“Aya mana, Ma?”“Dia lagi tidur, sepertinya kecapean nangis. Tadi dia histeris pas tau bayinya nggak bisa dipertahankan. Mama kasihan sama istrimu, Nak. Mana pas lagi sedih gini kamu justru nggak ada nemanin dia.”Jangan pergi! Temani aku.Aku kembali teringat permintaan Aya.“Boleh ngomong sama Aya, Ma?”“Jangan dulu, Nak. Kasihan dia baru saja tertidur. Ini juga masih nunggu jadwal kuretase, dokternya masih ada pasien operasi.”“Di situ ada siapa aja, Ma?”“Ada Mama sama Papa, juga Candra. Ibunya Aya juga sedang sakit jadi nggak bisa datang.”Aku menghela napas. Seharusnya aku ada di sana. Seharusnya tadi aku menuruti permintaannya untuk tinggal. Padahal itu pertama kalinya dia meminta padaku, memintaku untuk tinggal, memintaku untuk menemaninya. “Ma, jagakan Aya, ya,” ucapku lirih saat mengakhiri panggilan.Aku mendongak, menahan agar air mata tak keluar. Aku kehilangan bayiku. Aku kehilangan bayi yang beberapa kali kuragukan sebagai darah dagingku. Aku kehilangan harapanku, jug
last updateLast Updated : 2022-12-01
Read more
PREV
1
...
1415161718
...
48
DMCA.com Protection Status