“Sering gini, Ay?” Kak Dian bertanya saat beberapa petugas medis menanganiku.“Biasanya hanya kram sebentar terus hilang, Kak. Baru kali ini sakit gini.”“Iya. Kamu sampai pucat banget tadi, Ay.”“Makasih, ya, Kak. Udah nolongin tadi.”Kak Dian mengangguk. Sejujurnya aku agak canggung, Kak Dian mau tak mau mengingatkanku pada seseorang.“Suami kamu mana, Ay?”Aku tak menjawab.“Aduh, maaf, ya. Udah lancang nanyanya.”“Nggak apa-apa, Kak,” jawabku, tapi aku memilih tak menjawab pertanyaannya.“Masih sakit?” tanya Kak Dian saat melihatku meringis.Aku mengangguk.“Kak Dian tadi ngapain ke butik?” Pertanyaan yang sedari tadi ingin kutanyakan.Dia menarik napas.“Nggak tau, Ay. Anak itu tiba-tiba saja nelpon aku tadi pagi-pagi buta.”Kak Dian menjeda, aku menunggunya meneruskan kalimat.“Terus dia mohon-mohon minta aku ke rumah kamu.”“Katanya lagi kepikiran kamu.”“Ya mana berani aku ke rumahmu, Ay. Takut dikira ada niat tersembunyi.”“Makanya aku memilih ke butikmu aja.”“Eh, nggak taun
“Bareng siapa ke sini tadi?”Aku melirik ke arah Kak Dian.“Diantar Kak Dian.”“Kak Dian?”“Teman, pelanggan butik.”Lalu aku memperkenalkan Kak Dian padanya. Padahal aku tau dia pasti mengenali Kak Dian karena pernah melihatnya di rumah Ivan waktu itu.Kak Dian berpamitan setelahnya sebelumnya kami saling mencium pipi kiri kanan.“Cepat sembuh, ya, Aya. Dan semoga babynya sehat selalu.”Aku menatap punggung Kak Dian hingga hilang di balik pintu. Kak Dian datang pagi-pagi karena dipaksa oleh Ivan? Perasaannya nggak enak? Kok dia bisa ngerasain kalau aku sedang sakit? Tanpa sadar aku tersenyum sendiri, kemudian senyumku menguap begitu menyadari Mas Adam sedang menatap tajam padaku.“Aku tau dia siapa, Ay? Kenapa dia bisa ngantarin kamu?”Huhhh! Aku menarik napasku.“Aku juga nggak tau kenapa Kak Dian tiba-tiba saja datang ke butik, Mas.”“Kamu hubungi dia? Kamu minta tolong dia? Dia bersembunyi di balik kakaknya?”“Mas ... aku benar-benar nggak tau. Tadi karyawanku udah pesan taksi tap
PoV AdamJangan pergi! Temani aku.Permintaan Aya sebenarnya membuatku sedikit berat untuk melangkah pergi meninggalkannya. Apalagi aku juga ingin sekali menemaninya USG dan melihat perkembangan janinnya di dalam sana. Tapi pekerjaanku sudah menunggu, dan tim ku bahkan sudah berada di bandara.Ada perasaan asing ketika melihat Aya menahanku untuk pergi. Ini pertama kalinya dia seperti itu, pertama kalinya dia seolah sangat membutuhkan kehadiranku. Tapi, akhirnya aku memilih untuk pergi.“Jangan manja, Aya. Ada mama yang nemanin,” ucapku sambil melepas cengkramannya di lenganku.Dan ternyata mama muncul tepat di saat aku keluar dari ruangan. Itu membuatku bisa bernapas lega. Setidaknya, mama bisa mengabariku mengenai keadaan bayi Aya.Satu hal lagi yang membuatku mengabaikan permintaan Aya untuk tinggal adalah, keberadaan seorang wanita yang dipanggilnya “Kak Dian” di sana. Terlebih lagi, ternyata Aya ke rumah sakit diantar oleh wanita itu, yang kukenali sebagai kakak dari Ivan. Lalu s
Daerah tambang tempat kami ditugaskan kali ini terletak agak jauh di pedalaman. Jika biasanya aku dan tim akan menginap di hotel, maka kali ini kami hanya difasilitasi menginap di mess perusahaan. Letaknya yang masih terpencil membuat suasana mess sedikit mencekam karena berada di tengah hutan. Kulihat Nindya gelisah saat mengetahui kami akan menginap di mess ini untuk beberapa hari ke depan. Ya, entah mengapa aku selalu bisa membaca gadis ini. Mungkin karena intensitas kebersamaan kami selama ini membuatku sudah sangat paham dengannya.“Nggak usah takut, aku dan teman-teman yang lain kan juga nginap di sini.”Dia hanya melirikku sekilas.“Nanti aku minta kamar di sebelah kamarmu. Jadi kamu bisa minta tolong kalau ada apa-apa. Di sebelahnya juga teman yang lain, biar kamu ngerasa aman.”Dia mengangguk. Kami selalu seperti ini, sudah saling memahami karakter masing-masing tanpa harus bicara panjang lebar.Ternyata suasana di mess memang cukup membuat gadis yang terbiasa dengan keramaia
“Aya mana, Ma?”“Dia lagi tidur, sepertinya kecapean nangis. Tadi dia histeris pas tau bayinya nggak bisa dipertahankan. Mama kasihan sama istrimu, Nak. Mana pas lagi sedih gini kamu justru nggak ada nemanin dia.”Jangan pergi! Temani aku.Aku kembali teringat permintaan Aya.“Boleh ngomong sama Aya, Ma?”“Jangan dulu, Nak. Kasihan dia baru saja tertidur. Ini juga masih nunggu jadwal kuretase, dokternya masih ada pasien operasi.”“Di situ ada siapa aja, Ma?”“Ada Mama sama Papa, juga Candra. Ibunya Aya juga sedang sakit jadi nggak bisa datang.”Aku menghela napas. Seharusnya aku ada di sana. Seharusnya tadi aku menuruti permintaannya untuk tinggal. Padahal itu pertama kalinya dia meminta padaku, memintaku untuk tinggal, memintaku untuk menemaninya. “Ma, jagakan Aya, ya,” ucapku lirih saat mengakhiri panggilan.Aku mendongak, menahan agar air mata tak keluar. Aku kehilangan bayiku. Aku kehilangan bayi yang beberapa kali kuragukan sebagai darah dagingku. Aku kehilangan harapanku, jug
“Aya mana, Ma?” tanyaku setelah masuk.“Lagi di kamarnya. Dia jarang keluar kamar sejak pulang dari rumah sakit.” Mama menghela napas.Kudapati Aya sedang tertidur membelakangi pintu saat aku masuk ke sana. Lalu saat aku menghampirinya, terlihat butir-butir keringat di kening wanita itu. Sepertinya dia sedang tertidur, mungkin karena masih dalam pengaruh obat-obatan. Karena kata mama, dokter meresepkan obat tidur dosis rendah agar dia bisa beristirahat untuk mempercepat pemulihannya. Apalagi, kata mama, Aya masih sesekali histeris saat mengingat bayinya. Kunyalakan AC kamar agar ia bisa lebih nyaman. Kuseka beberapa butir peluh di keningnya, Aya hanya menggeliat sebentar kemudian terlelap lagi.Akhirnya aku memilih ikut berbaring, lalu memeluknya dari belakang. Telapak tanganku langsung menyentuh perutnya saat aku memeluk. Lagi, ada perasaan kehilangan di dalam hatiku. Dia sudah tak ada lagi di dalam sana. Aku mengusap-usap perutnya hingga ikut terlelap bersamanya.“Mas.”Suara Aya me
“Rahim aya masih luka, karena tindakan kuretase kemarin. Kata dokter masih harus istirahat minimal sebulan.” Kali ini mama menatapku.Aku mengangguk, mengerti apa yang dimaksud mama.“Setelah itu Aya boleh hamil lagi. Nggak ada larangan.”Sekali lagi aku mengerti arah pembicaraan mama.“Mama dan Papa pulang dulu. Baik-baik kalian, meski bayinya sudah nggak ada, jangan jadikan alasan untuk berpikiran yang aneh-aneh lagi seperti yang sudah-sudah.”Aku mengangguk sambil menoleh pada Aya, tepat di saat dia juga sedang menoleh padaku. Tatapan matanya masih menyiratkan kehilangan yang mendalam. Entah kehilangan yang mana yang masih ditangisinya.Maka malam ini, aku memindahkan bantalku ke kamar Aya dan membiarkan kamar kami kosong.“Kalau mau tidur di sebelah, aku nggak apa-apa, Mas,” ucapnya saat aku meletakkan peralatan tidurku di tempat tidurnya.Aku menatapnya sesaat. Sebenarnya kalimatnya tadi lebih terdengar sebagai penolakan bagiku. Ada rasa amarah yang berusaha kutahan di dalam dada
Ada yang berubah dari Aya semenjak kehilangan bayinya. Setiap hari dia terlihat selalu menyibukkan diri dengan berbagai aktifitasnya di rumah, karena mama mewanti-wantinya untuk tidak mengurus butiknya dulu. Hanya sesekali kulihat dia menelepon karyawannya, lalu sesekali sorang gadis yang sepertinya karyawan butiknya datang ke rumah. Maka Aya terlihat sengaja mencari-cari kesibukan di rumah. Aku dibuat tercengang-cengang saat pulang dari kantor dan melihat beberapa barang yang letaknya diubah, atau bingkai foto dan lukisan yang bertukar tempat, juga pajangan-pajangan lain yang berpindah.Sepertinya dia sengaja membuat dirinya sibuk. Karena tak beberapa hari berselang, benda-benda yang tadi berubah tempat sudah kembali ke tempatnya semula, lalu kemudian beberapa hari berikutnya berpindah lagi. Taman kecil di depan rumah juga makin segar dengan bunga berbagai warna yang sepertinya baru ditaman. Aya memang sangat hobil berkebun. Dulu, aku selalu menyebut itu sebagai hobi norak, karena ka
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber