“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
“Cepetan dikit, Aya!” Suara teriakan Mas Adam terdengar dari depan.“Iya, Mas. Bentar lagi.”Buru-buru kusapukan lipstik di bibirku agar tak terlihat pucat, lalu berjalan keluar kamar sambil merapikan gaunku.“Kamu ini kebiasaan deh, kalau udah dandan lama banget. Mana hasilnya juga biasa saja.” Pria itu menyapukan pandangannya dari ujung kaki hingga kepalaku.Aku sudah biasa mendapatkan komentar kurang menyenangkan dari pria yang berstatus suamiku ini, maka aku sudah tak terlalu ambil pusing.“Aku cuma dandan 15 menit tadi, Mas. Itu masih wajar, wanita-wanita lain bahkan menghabiskan waktu lebih dari itu jika berdandan.” Aku berusaha protes, namun yang kudapatkan justru tatapan mata melotot dari pria itu.“Iya, kalau orang lain lama-lama hasilnya bagus, cantik, elegan. Lah, kamu ya gini-gini aja. Dandan nggak dandan juga sama aja, sama-sama ngebosanin liatnya!” Ia tak mau kalah. Kali ini bahkan sambil menoyor pelan keningku.Sakit? Dulunya iya. Sakit sekali mendengarnya selalu menghi
“Aya! Hey! Kamu Cahaya, kan?”Aku menengadahkan wajahku mencari asal suara yang memangil namaku barusan. Lalu dengan napas sedikit ngos-ngosan kuraih lengan Mas Adam yang kini tepat berada di sampingku.“K-kalian?” Masih suara yang tadi. Sementara aku mengeryitkan keningku menebak-nebak siapa pria yang tau namaku ini.“Kamu Aya, kan? Kalian datang bersama?” Pria yang kuduga adalah pemilik coffeshop itu bertanya sambil menatap ke arah tanganku yang masih menggandeng lengan Mas Adam.“Iya dia Cahaya, istriku. Kamu kenal?” jawab Mas Adam sambil melepas tanganku dari lengannya dengan perlahan.“Istri? Kamu nikah sama Aya, Dam? Wah aku nggak nyangka.” Pria itu menatapku tajam.Sementara aku masih memutar otakku mengingat-ingat siapa pria di hadapanku ini.“Gimana kabarmu, Cahaya? Aku Ivan. Kamu nggak ngenalin aku?”Ivan? Aku masih berpikir di mana mengenal pria ini.“Ivan? Kenal di mana, ya? Apa kita teman SMA?” tanyaku penasaran.“Apa sih yang kamu ingat, Ay? Syukur-syukur masih ingat sam
“Mas aku ke sana dulu, ya,” pamitku pada Mas Adam setelah merasa bosan duduk di hadapannya sementara pandangannya hanya terfokus pada ponselnya.“Hmm.” Ia hanya menaikkan alisnya.Aku pun bangkit dari tempatku duduk, lalu berjalan menuju ke arah yang ditunjuk Ivan tadi. Senyumku langsung merekah ketika melihat taman kecil yang ada di bagian belakang kafe. Taman bunga yang terlihat masih baru dan terawat, di sudutnya ada kolam ikan kecil lengkap dengan air terjun mini. Beberapa pengunjung juga terlihat mengagumi taman kecil yang indah ini, bahkan beberapa anak-anak terlihat memainkan ikan-ikan kecil di kolam.“Suka tamannya?” Suara bariton itu mengejutkanku.“Eh ... k-kamu!” Pemilik coffeshop itu sudah berdiri di sampingku.“Kamu benar-benar nggak ingat aku, Cahaya?”Aku menggeleng. “Maaf,” ucapku lirih.Dia terkekeh. Kemudian menatap lurus ke arah taman bunga mini.“Aku udah lama nyari kamu. Nggak nyangka kalau ketemunya justru di sini. Lebih nggak nyangka lagi ternyata kamu udah nika
Hatiku menghangat mengenang masa-masa indah sebelum akhirnya semua berubah ketika aku harus mengambil keputusan terberat pada saat itu, yaitu berhenti kuliah. Saat itu, ayahku yang seorang pegawai negeri pangkat rendah meninggal karena serangan jantung, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa yang akhirnya hanya mengandalkan gaji pensiun ayah yang tak seberapa. Sementara aku masih punya tiga orang adik yang masing-masing masih membutuhkan biaya. Hingga akhirnya aku mengalah, lalu berhenti kuliah dan memilih mencari pekerjaan demi membantu ekonomi keluarga.“Aku dulu penggemar rahasiamu, Ay.” Ivan membuyarkan lamunanku.“Itu aku yang dulu. Cahaya yang sekarang sudah jauh berbeda,” gumamku.Ivan tak menjawab, hanya tersenyum tipis sebelum kemudian berpamitan untuk kembali ke dalam kafenya saat seorang karyawannya memanggil.Aku pun meneruskan lamunanku mengenang masa-masa indahku selama setahun menjadi mahasisiwi. Hendra, sang ketua BEM yang saat itu menjadi kekasihku merasa kecewa
Kutatap wajahku dari pantulan cermin di toilet lalu mencoba menghapus sisa-sisa tangis di sana. Kata-kata yang dilontarkan Mas Adam barusan pada rekannya membuatku segera menjauh dari sana sebelum bulir-bulir bening itu menghambur keluar dari mataku. Aku memang sudah terbiasa dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut suamiku, tapi terasa sangat menyakitkan ketika ia melontarkan kalimat-kalimat meyudutkan itu di hadapan orang lain. Terus terang saja aku malu pada Ivan, pria pemilik kafe yang mengundang kami ke acara ini. Pria yang tadi mengatakan bahwa ia adalah penggemarku saat kuliah dulu. Kini di hadapannya, pria yang berstatus sebagai suamiku justru merendahkanku dengan mengatakan tak ada yang bisa dibanggakan dariku.“Kamu nggak apa-apa?”Aku terkejut saat mendapati Ivan tengah berdiri di depan pintu toilet saat aku keluar dari sana.Aku hanya menggeleng. Ia menahan langkahku.“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”“Tolong menyingkirlah, j
“Kenapa dulu Mas mau nikahin aku?”Ia melirikku sesaat.“Pertanyaan apa itu, Ay. Kamu tau sendiri kan, aku menikahimu karena keinginan orang tuaku. Kalau disuruh memilih sih aku nggak akan mungkin mau menikahimu, kita bahkan tak pernah saling mengenal sebelumnya.”“Tapi kenapa Mas Adam waktu itu tak menolak saja?”“Kenapa nggak kamu aja yang menolak perjodohan waktu itu.”Ia mengembalikan ucapanku.“Cahaya pihak perempuan, Mas. Tidak terlalu banyak pertimbangan untuk menerima pinangan seseorang terlebih ketika orang tua Cahaya sudah merestui. Aya juga akan dianggap pembangkang jika menolak, belum lagi anggapan orang tua zaman dulu yang mengatakan jika pamali seorang gadis menolak pinangan lelaki jika tak ada alasan yang prinsip. Kesempatan menolak waktu itu harusnya lebih banyak di pihak Mas Adam.”“Kamu kenapa sih? Nyesal udah nikah sama aku?”“Bukannya Mas yang menyesal sudah menikahiku? Aku tadi dengar sendiri Mas ngomong gitu di depan teman-teman Mas Adam.”Ia tertawa sinis.“Oh,
Malam ini kuhabiskan dengan tidur memunggungi Mas Adam, aku masih sangat kesal dengan kejadian di coffeshop tadi. Sementara pria itu justru nampak biasa saja, ia juga tak berbicara lagi padaku setelah menghardik saat aku membanting pintu mobilnya tadi. Aku tau pria itu masih duduk bersandar pada headboard tempat tidur sambil memperhatikan layar ponselnya. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Mas Adam sebelum tidur, entah dia sedang membaca artikel apa pada layar ponselnya atau sedang chatting dengan siapa, aku tak berani menanyakannya.Pikiranku justru melayang pada si pemilik coffeshop tadi, Ivan. Sejujurnya aku sedikit heran ketika ia tadi menyusul dan menungguku keluar dari toilet kafenya saat aku sedang menumpahkan tangisku di sana. “Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”Kenapa pria itu bertanya seperti itu padaku? Kenapa dia terlihat begitu peduli? Padahal ini adalah hari pertama pertemuan kami, setelah bertahun-tahun yang lalu. Aku bahkan ta
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber