Kutatap wajahku dari pantulan cermin di toilet lalu mencoba menghapus sisa-sisa tangis di sana. Kata-kata yang dilontarkan Mas Adam barusan pada rekannya membuatku segera menjauh dari sana sebelum bulir-bulir bening itu menghambur keluar dari mataku. Aku memang sudah terbiasa dengan kata-kata kasar yang keluar dari mulut suamiku, tapi terasa sangat menyakitkan ketika ia melontarkan kalimat-kalimat meyudutkan itu di hadapan orang lain. Terus terang saja aku malu pada Ivan, pria pemilik kafe yang mengundang kami ke acara ini. Pria yang tadi mengatakan bahwa ia adalah penggemarku saat kuliah dulu. Kini di hadapannya, pria yang berstatus sebagai suamiku justru merendahkanku dengan mengatakan tak ada yang bisa dibanggakan dariku.
“Kamu nggak apa-apa?”
Aku terkejut saat mendapati Ivan tengah berdiri di depan pintu toilet saat aku keluar dari sana.
Aku hanya menggeleng. Ia menahan langkahku.
“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”
“Tolong menyingkirlah, jangan campuri urusanku! Aku tak mengenalmu, jadi jangan bertanya yang nggak-nggak.”
“Cahaya ....”
Aku tak menggubrisnya, meski sebenarnya aku merasa sangat malu padanya. Ia pasti mendengar kata-kata hinaan Mas Adam padaku tadi.
‘Mana istri gue nggak banget lagi. Nggak ada yang bisa dibanggain darinya.’
Kata-kata itu masih saja terngiang di telingaku, hingga akhirnya aku kembali duduk mematung di samping Mas Adam. Tak lama kemudian Ivan pun juga kembali duduk dan bergabung di meja kami. Mas Adam mengenalkanku pada rekannya yang ternyata bernama Supri.
“J-jadi ini istri lo?” Supri tergagap, mungkin ia tadi melihatku di belakang Mas Adam.
“Iya. Perkenalkan saya Cahaya, istri Mas Adam,” sapaku hangat.
Hanya sampai di situ, sisanya aku hanya terdiam sambil sesekali membuka media sosial di ponselku ketika mereka kembali mengobrol dan membahas hal-hal ringan khas pria. Satu hal yang kusadari, Ivan terus menerus menatap tajam padaku di sela-sela obrolan mereka. Sesekali pula ia meninggalkan meja ketika menyapa tamunya yang lain, lalu kemudian kembali duduk di tepat hadapanku yang memilih duduk di samping Mas Adam.
“Terima kasih atas undangannya, Bro. Semoga tambah sukses dan ditunggu undangan-undangan selanjutnya,” ucap Mas Adam pada Ivan saat kami berpamitan untuk pulang.
Sedangkan aku sendiri tak lagi bersuara semenjak keluar dari toilet tadi. Aku hanya mengangguk sopan tanpa bersuara ketika menyalami Ivan saat berpamitan namun aku bisa merasakan pria itu mempererat genggamannya saat kami bersalaman.
***
Hening menguasai saat aku dan Mas Adam sudah berada di dalam mobilnya. Aku masih menyimpan perasaan tak nyaman mendengar ucapan Mas Adam tentangku di hadapan teman-temannya tadi.
‘Mana istri gue nggak banget lagi. Nggak ada yang bisa dibanggain darinya.’
Aku melirik pria yang terlihat sedang serius menyetir itu. Ekspresinya biasa saja, karena ia memang tak merasa baru saja menorehkan sayatan luka di hatiku. Ya, Mas Adam pasti merasa biasa saja karena memang hampir setiap hari ia selalu mengucapkan kata-kata yang tak nyaman padaku. Lisan pria itu benar-benar sudah terbiasa seperti itu sehingga ia tak lagi merasa bersalah. Akupun sebenarnya sudah kebal pada kalimat-kalimat sarkasnya, namun mendengar hinaannya di hadapan rekannya tadi membuatku merasa sakit.
“Mas.”
“Hm.”
“Kenapa dulu Mas mau nikahin aku?”
Bersambung.
“Kenapa dulu Mas mau nikahin aku?”Ia melirikku sesaat.“Pertanyaan apa itu, Ay. Kamu tau sendiri kan, aku menikahimu karena keinginan orang tuaku. Kalau disuruh memilih sih aku nggak akan mungkin mau menikahimu, kita bahkan tak pernah saling mengenal sebelumnya.”“Tapi kenapa Mas Adam waktu itu tak menolak saja?”“Kenapa nggak kamu aja yang menolak perjodohan waktu itu.”Ia mengembalikan ucapanku.“Cahaya pihak perempuan, Mas. Tidak terlalu banyak pertimbangan untuk menerima pinangan seseorang terlebih ketika orang tua Cahaya sudah merestui. Aya juga akan dianggap pembangkang jika menolak, belum lagi anggapan orang tua zaman dulu yang mengatakan jika pamali seorang gadis menolak pinangan lelaki jika tak ada alasan yang prinsip. Kesempatan menolak waktu itu harusnya lebih banyak di pihak Mas Adam.”“Kamu kenapa sih? Nyesal udah nikah sama aku?”“Bukannya Mas yang menyesal sudah menikahiku? Aku tadi dengar sendiri Mas ngomong gitu di depan teman-teman Mas Adam.”Ia tertawa sinis.“Oh,
Malam ini kuhabiskan dengan tidur memunggungi Mas Adam, aku masih sangat kesal dengan kejadian di coffeshop tadi. Sementara pria itu justru nampak biasa saja, ia juga tak berbicara lagi padaku setelah menghardik saat aku membanting pintu mobilnya tadi. Aku tau pria itu masih duduk bersandar pada headboard tempat tidur sambil memperhatikan layar ponselnya. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Mas Adam sebelum tidur, entah dia sedang membaca artikel apa pada layar ponselnya atau sedang chatting dengan siapa, aku tak berani menanyakannya.Pikiranku justru melayang pada si pemilik coffeshop tadi, Ivan. Sejujurnya aku sedikit heran ketika ia tadi menyusul dan menungguku keluar dari toilet kafenya saat aku sedang menumpahkan tangisku di sana. “Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”Kenapa pria itu bertanya seperti itu padaku? Kenapa dia terlihat begitu peduli? Padahal ini adalah hari pertama pertemuan kami, setelah bertahun-tahun yang lalu. Aku bahkan ta
“Nah, kan. Baru juga malam pertama kamu sudah tulalit gini, bikin kesal aja. Kamu mau tidur di ranjang apa di sofa, silakan pilih!” Suaranya meninggi.“Kenapa harus memilih, Mas?” Aku masih tak mengerti."Apa kamu pikir kita akan tidur bareng? Yang benar aja aku tidur dengan cewek tulalit macam kamu! Ya udah kamu di ranjang sana, biar aku yang di sofa.”Pria itu langsung merebahkuan tubuhnya di sofa yang ada di dalam kamar. Sementara aku masih tertegun dengan semua kalimatnya barusan. Seperti ini kah pria yang baru saja menikahiku? Baru beberapa jam yang lalu aku menyandang status sebagai istrinya, tapi kini aku sudah mendengar kalimat hinaan darinya. Tulalit? Ia menyebutku gadis tulalit? Lalu kenapa ia menikahiku jika ia menganggapku tulalit? Ingin sekali kutanyakan padanya malam itu, tapi akhirnya aku memilih diam karena tubuhku pun sudah terlalu lelah setelah seharian berdiri di pelaminan menerima ucapan selamat dari para undangan.Lalu hari-hari selanjutnya, bulan-bulan berikutnya
Pagi ini, setelah Mas Adam berangkat bekerja, aku pun mulai bersiap mengunjungi butik kecilku. Seperti inilah aktivitasku sehari-hari. Belum hadirnya anak dalam rumah tanggaku dengannya membuatku memilih menghabiskan hariku di butik yang kuberi nama “Ayya Boutique”. Aku sangat mencintai aktivitasku ini. Suatu kepuasan tersendiri bagiku jika pelanggan butikku merasa puas dengan penampilan mereka setelah mencoba beberapa fashoin koleksi butik. Beberapa produk butikku juga kurancang sendiri, karena memang dari remaja dulu aku suka sekali menggambar model-model baju yang ada dalam imajinasiku.Dulu, diawal membuka Ayya Boutique aku hanya bekerja sendiri, menjaga butik sendiri, merancang dan menggambar sendiri hingga akhirnya butikku mulai berkembang hingga kini aku sudah mempekerjakan dua orang karyawan perempuan dan satu karyawan laki-laki. Sebenarnya perkembangan butik ini sangat membanggakan bagiku, meskipun Mas Adam tak pernah mengakui itu dan selalu menghina butik sederhanaku ini.Na
Aku masih berkutat dengan pertanyaan seputar Bella ketika pintu depan butik dibuka dari luar. Lalu seorang gadis bertubuh tinggi semampai dengan rambut pirang sebahu memasuki butik. Aku terpesona oleh penampilan gadis itu, tanpa perlu bertanya lagi, aku sudah yakin jika gadis yang kini sedang terseyum ramah itu adalah Bella, mantan tunangan Mas Adam. Tiba-tiba saja aku merasa kerdil di hadapannya.Dengan berusaha menghilangkan rasa gugup, aku menyambut dan menyapanya. Baru kali ini aku menyesali kenapa Mama Indah datang di jam istrirahat seperti ini sehingga hanya aku sendirian yang menghadapi pelanggan kelas atas ini. Rasa gugupku seketika menguap ketika gadis cantik itu menyapaku dengan ramah, bahkan ketika aku masih terpaku mengagumi kecantikannya.“Hai, dengan Cahaya, ya. Kenali aku Bella,” ucapnya tersenyum sambil mengulurkan tangannya.“Oh, hai Bella. Iya saya Cahaya. Terima kasih ya sudah mampir ke butik sederhana ini,” sambutku.“Boleh lihat koleksi gamisnya?” tanya gadis cant
“Ah, pokoknya jangan ngomong yang nggak-nggak. Jangan bikin aku malu di hadapannya dengan jawaban-jawaban murahanmu! Kamu nggak selevel dengan dia, Ay.”Klik. Aku memilih mengakhiri telpon. Kesal sekali rasanya mendengar kalimat Mas Adam. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja menelpon hanya untuk membandingkan aku dengan mantan tunangannya. Ponseku kembali berdering, kali ini Mas Adam mengirim pesan di applikasi hijau.[Kamu jadi istri bener-bener nggak punya sopan santun ya. Suami lagi ngomong, telponnya diputus. Awas saja kalau kamu malu-maluin aku di depan Bella. Dia bukan tandinganmu.] Isi pesan dari Mas Adam.Aku berdecak kesal.“Adam bilang apa, Nak? Maaf tadi Mama yang ngabarin kalau Bella sedang ada di butikmu.” Suara ibu mertuaku mengejutkanku.“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Mas Adam cuma memastikan aja.”“Ay.”“Iya, Ma.”“Mama dengar percakapan kalian tadi. Omongan suamimu jangan diambil hati ya, Nak. Mungkin Adam lagi gugup karena ini pertama kalinya Bella kembali ke Indones
Kuperintahkan pada Iin, karyawan butik yang lebih dulu kembali ke butik setelah jam istirahat untuk merapikan kembali beberapa koleksi butik yang masih tergeletak di sofa setelah dipilah pilih oleh Bella dan maminya tadi. Aku sendiri, entah mengapa ingin segera pulang setelah dongkol dengan isi percakapanku dengan Mas Adam tadi dan juga masih berpikir kenapa Bella memintaku untuk mempertemukannya dengan Mas Adam.“In, aku pulang duluan, ya,” pamitku pada karyawanku.“Tumben, Mbak. Biasanya juga betah berlama-lama di butik.”“Aku lagi pusing, In. Rasanya pengen refreshing.”“Mbak Aya udah makan?”Ah, iya. Aku sampai lupa kalau aku belum makan siang. Kedatangan mama dan temannya tadi membuatku melewatkan jam makan siangku. Akhirnya aku meminta Iin menemaniku mencari cemilan pengganti makan siangku.“Kamu ada rekomendasi kafe yang asik nggak In. Yang bisa untuk tempat nongkrong sekaligus pesan cemilan untuk ngisi perut,” tanyaku setelah beberapa saat melajukan mobilku di jalan raya.“Hmm
Ternyata benar apa yang dikatakan Iin tadi, Twin House ini benar-benar asik. Suasana gazebonya sangat syahdu, dari gazebo juga kita bisa melihat tingkah lucu anak-anak yang sedang bermain di bangunan sebelah kiri yang dicat warna-warni dan dilengkapi dengan fasilitas bermain. Lalu di bagunan sebelah kanan gazebo yang bentuknya sama, kita bisa melihat kafe yang dipenuhi orang-orang dewasa. Kafe sebelah kanan juga tak kalah menariknya karena didekorasi ala-ala coboy. Sementara pilihan duduk di gazebo benar-benar pilihan yang tepat untuk menikmati pemandangan kedua sudut bangunan yang berbeda tema itu.Kuseruput strawberry smoothie yang direkomendasikan Iin, lalu memesan beberapa cemilan ringan untuk mengisi perut sambil memandangi beberapa anak yang terlihat bermain dengan riang di bangunan sebelah kiri.“Cahaya!”Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil oleh seseorang. Wanita cantik yang menggandeng tangan seorang gadis kecil terlihat menghampiriku dari arah bangunan sebelah kiri.
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber