Ternyata benar apa yang dikatakan Iin tadi, Twin House ini benar-benar asik. Suasana gazebonya sangat syahdu, dari gazebo juga kita bisa melihat tingkah lucu anak-anak yang sedang bermain di bangunan sebelah kiri yang dicat warna-warni dan dilengkapi dengan fasilitas bermain. Lalu di bagunan sebelah kanan gazebo yang bentuknya sama, kita bisa melihat kafe yang dipenuhi orang-orang dewasa. Kafe sebelah kanan juga tak kalah menariknya karena didekorasi ala-ala coboy. Sementara pilihan duduk di gazebo benar-benar pilihan yang tepat untuk menikmati pemandangan kedua sudut bangunan yang berbeda tema itu.Kuseruput strawberry smoothie yang direkomendasikan Iin, lalu memesan beberapa cemilan ringan untuk mengisi perut sambil memandangi beberapa anak yang terlihat bermain dengan riang di bangunan sebelah kiri.“Cahaya!”Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil oleh seseorang. Wanita cantik yang menggandeng tangan seorang gadis kecil terlihat menghampiriku dari arah bangunan sebelah kiri.
Otakku segera berputar, menghubungkan semua isi percakapanku dengan Iin dan Imelda tadi. Hingga aku bisa langsung menyimpulkan siapa owner Twin House yang diidolakan oleh kedua gadis yang sedang duduk bersamaku di gazebo ini. Ya, pastilah Ivan pemilik Twin House ini. Bukankah kata Mas Adam, temannya itu punya beberapa coffeeshop? Mungkin Twin House ini adalah salah satu coffeeshop miliknya.“Hei, Aya! Kok malah ngelamun sih. Ini nih owner nya Twin. Kamu masih ingat Ivan kan?” Imelda menepuk pundakku.“I-iya, Mel,” jawabku gugup.Bukan tanpa sebab aku gugup, sejak menoleh ke arah suara tadi, Ivan tak pernah melepaskan tatapan tajamnya dariku. Ingatanku kembali melayang pada kejadian di depan pintu toilet coffeeshopnya tempo hari.“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”Pertanyaan yang masih sering terngiang di telingaku, sementara si pemilik tatapan tajam bak mata elang itu kini sudah duduk bergabung dengan kami di gazebo.“Tumben kunjungan ke Twin,
“Cahaya Kirana.” Aku yang memilih menunduk dan pura-pura sibuk dengan ponselku setelah Iin pamit ke toilet tadi menengadahkan wajah mendengar pria di hadapanku itu menyebut nama lengkapku.“Kamu ingat nama lengkapku?” tanyaku, sebab aku tak menyangka pria itu masih mengingat nama lengkapku setelah beberapa tahun tak bertemu.“Ingatlah, Ay. Aku hafal nama itu, nggak akan pernah hilang dari ingatanku. Bukankah sudah kubilang aku adalah salah satu pengagummu dulu, bagaimana aku bisa melupakan nama gadis yang membuatku tiba-tiba saja bertindak bodoh dengan mengirimkan sebatang coklat dan setangkai bunga padanya.”Aku tersenyum, kembali teringat kejadian itu. Suasana menjadi lebih santai, aku tak lagi merasa segugup tadi.“Maaf ya, dulu gara-gara aku, kamu jadi dibully habis-habisan.”“Dibully gara-gara coklat itu bukan siksaan bagiku, Ay. Justru yang membuatku merasa tersiksa dan tak punya semangat adalah ketika kamu tiba-tiba saja berhenti kuliah dan menghilang dari kampus. Membuat kampu
“Aku senang bisa melihatmu tersenyum seperti ini, Aya.”Aku buru-buru menetralkan kembali senyumku. Pria itu tak memalingkan pandangannya sedetik pun dariku.“Aku tau ada yang aneh dari hubunganmu dengan Adam. Caranya melepaskan tanganmu, caranya memperlakukanmu, caranya berbicara padamu, hanya dengan melihatnya sepintas aku tau kamu sedang tak baik-baik saja, Aya.”“Aku tidak ....”“Tapi aku tidak akan lancang menanyakan apa pun padamu, meskipun aku sangat ingin.” Ia memotong kalimatku.Hening sesaat.“Aya, aku tak tau apa yang membuatmu menikah dengan Adam, tapi aku merasa ia tak menghargaimu. Dan itu membuatku sakit.”“Jangan hanya menduga-duga, Van. Aku dan Adam baik-baik saja. Kami juga bahagia dengan rumah tangga kami. Jangan karena insiden kecil di coffeeshop mu waktu itu, kamu langsung mengambil kesimpulan jika hubungan kami tidak berjalan dengan baik. Kamu salah, aku dan Mas Adam tak ada masalah apa pun. Dan kami bahagia.” Aku menekankan kalimat terakhirku.“Syukurlah kalau b
“Tenang saja, Mas. Aku tak mengatakan apa pun pada Bella, dia juga tak bertanya apapun padaku. Jangan khawatir, aku tidak akan mempermalukanmu di depannya. Tapi, bolehkah aku bertanya satu hal? Apa Mas Adam masih mengharapkannya sehingga Mas Adam menjadi sepanik ini saat ia kembali?”“Ngomong apa kamu, Ay! Dia sudah mencampakkanku. Apa kamu pikir aku tak punya harga diri masih mengharapkannya?”“Lalu kenapa kamu sepanik ini?”“Karena aku belum membalaskan sakit hatiku padanya.”Aku terdiam. Sungguh aku tak mengerti apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Tapi aku juga tak mau mencari tau lebih banyak lagi. Aku justru sedang berpikir bagaimana caranya aku menepati janjiku pada Bella untuk mempertemukannya dengan Mas Adam.“Kamu siap-siap, hari ini kita ke rumah ibu. Mumpung aku punya waktu luang.”Ke rumah ibu? Dia mengajakku ke rumah ibuku? Ini satu-satunya hal dari Mas Adam yang membuatku selalu tunduk dan menerima semua perlakuannya. Pria itu sangat menghormati ibuku dan juga sangat
Saat berpamitan pulang pun, Mas Adam terlihat menasihati adik-adikku dengan bijaknya, kemudian mencium punggung tangan ibuku dengan takzimnya. Momen ini selalu saja membuatku terpana. Bagaimana mungkin pria yang hampir tiap ucapannya selalu meyakitiku itu bersikap sedemikan sempurnanya di depan keluargaku?🌸🌸🌸“Mas.” Aku memecah keheningan dalam mobil saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari rumah ibu.“Hm.”“Kenapa beliin Candra motor?”Ia melirikku.“Kenapa bertanya bukannya berterima kasih.”“Bukan tak berterima kasih, Mas. Aku hanya tak mau adik-adikku terlalu bergantung padamu.”“Emangnya kenapa?”Aku menghela nafas.“Mereka akan berpikir hubungan kita baik-baik saja, Mas.”“Memangnya ada apa dengan hubungan kita. Apa aku kurang memberimu nafkah?”“Ck! Bukan begitu, Mas. Kurasa kamu tak mungkin tak menyadarinya. Komunikasi kita selalu seperti ini, tak ada keharmonisan sebagaimana suami istri pada umumnya.”“Jadi hubungan seperti apa yang kamu inginkan, Aya? Kita bukan pas
“Mas, aku bulan ini omzet butikku lumayan meningkat dari beberapa bulan terakhir. Boleh nggak aku undang karyawan butik dan beberapa pelanggan butik ke rumah kita. Sekedar makan-makan sebagai ucapan terima kasih.”Aku menghempaskan tubuhku di sofa, di samping Mas Adam yang sedang duduk di depan tv. Namun pria itu sama sekali tak menonton tv, sedari tadi kuperhatikan ia hanya berkonsentrasi ke layar ponselnya sambil sesekali tersenyum sendiri.“Kenapa harus ngundang ke rumah? Kenapa nggak rayain di butikmu aja?” jawabnya tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.Aku mencari-cari alasan apa yang tepat untuk permintaanku ini. Karena sebenarnya ini hanya alasanku untuk menepati janjiku pada Bella mengundangnya ke rumah kami. Aku juga menggunakan omzet butik sebagai alasan, karena aku tak mau hanya membawa Bella seorang ke rumah ini untuk memenuhi keinginannya bertemu dengan Mas Adam. Aku tak ingin terjadi hal-hal yang tak kuinginkan dengan kedatangan Bella. Paling tidak, jika aku me
“Besok aku ditugaskan ke Banjarmasin, Ay. Tolong siapkan pakaian dan perlengkapanku selama seminggu ke depan,” ucap Mas Adam saat aku sudah tidur dan sudah hampir masuk ke dalam dunia mimpi.“Hmmm? Kenapa, Mas?” gumamku.“Kamu budek, ya! Aku besok tugas ke Banjarmasin, siapin perlengkapanku untuk satu minggu ke depan!” Suaranya meninggi, membuat rasa kantukku hilang. Aku membalikkan tubuhku menatap pria yang masih berkutat dengan laptopnya itu.“Kok baru ngomong sekarang, Mas? Baru dapat info?”“Nggak. Surat Tugasnya udah kuterima dari kemarin tapi aku lupa bilang.”Aku berdecak kesal.“Kenapa berdecak, Ay? Nggak mau nyiapin? Terus gunanya kamu jadi istri apa?”“Bukan gitu, Mas. Kenapa nggak ngomong dari tadi sih? Aku udah ngantuk gini,” jawabku, sambil menyibak selimut dan turun dari ranjang menuju ke arah lemari pakaian, lalu memilih-milih pakaian Mas Adam dan beberapa perlengkapan lainnya.Mas Adam memang sering ditugaskan ke cabang-cabang perusahaan. Hampir setiap bulan ia melakuk
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber