“Besok aku ditugaskan ke Banjarmasin, Ay. Tolong siapkan pakaian dan perlengkapanku selama seminggu ke depan,” ucap Mas Adam saat aku sudah tidur dan sudah hampir masuk ke dalam dunia mimpi.“Hmmm? Kenapa, Mas?” gumamku.“Kamu budek, ya! Aku besok tugas ke Banjarmasin, siapin perlengkapanku untuk satu minggu ke depan!” Suaranya meninggi, membuat rasa kantukku hilang. Aku membalikkan tubuhku menatap pria yang masih berkutat dengan laptopnya itu.“Kok baru ngomong sekarang, Mas? Baru dapat info?”“Nggak. Surat Tugasnya udah kuterima dari kemarin tapi aku lupa bilang.”Aku berdecak kesal.“Kenapa berdecak, Ay? Nggak mau nyiapin? Terus gunanya kamu jadi istri apa?”“Bukan gitu, Mas. Kenapa nggak ngomong dari tadi sih? Aku udah ngantuk gini,” jawabku, sambil menyibak selimut dan turun dari ranjang menuju ke arah lemari pakaian, lalu memilih-milih pakaian Mas Adam dan beberapa perlengkapan lainnya.Mas Adam memang sering ditugaskan ke cabang-cabang perusahaan. Hampir setiap bulan ia melakuk
Dengan menggunakan mobilku, pagi ini aku ikut Mas Adam menjemput Nindya di apartemennya untuk menuju bandara. Sepanjang jalan dari rumah menuju apartemen Nindya tadi aku sama sekali tak bersuara. Karena sebenarnya ada sisi hatiku yang menolak menjemput Nindya. Bagaimanapun aku seorang istri, perasaanku terusik ketika suamiku terlihat sangat antusias menjemput rekan wanitanya meskipun ia mengajakku. Perhatiannya pada Nindya sejujurnya melukaiku, meski aku belum menemukan alasan apapun untuk menaruh curiga pada hubungan mereka. Aku ingin protes, tapi tak ingin pria itu kembali menjawab dengan hinaan ataupun kalimat cercaan. Dia pasti akan menilaiku wanita kolot jika aku memprotes kepergiannya dengan Nindya. Karena memang mereka pergi bersama dalam rangka tugas dari kantor, dan juga tak hanya berduaan karena ada tim lain bersama mereka.“Selamat pagi, Aya! Maaf ya jadi ngerepotin kamu. Padahal aku udah bilang pada Pak Adam nggak perlu jemputin aku.” Nindya langsung meyapaku dengan ramah
Nindya sedang berada dalam pelukan Mas Adam. Rupanya tadi Mas Adam sempat menarik tangan Nindya untuk menghindarkan gadis itu dari tabrakan trolley. Seketika aku merasa dadaku sesak. Teriakan “Awas Nindya!” dari Mas Adam tadi, juga gerakan refleksnya memilih menarik tubuh Nindya cukup menyakitiku. Dia, suamiku, lebih mengutamakan menyelamatkan Nindya di saat-saat genting dibanding aku, istrinya.Aku masih terdiam dan merasakan sesaknya dadaku saat sebuah tangan terjulur di hadapanku.“Are u okay, Aya?”Mataku beralih dari Mas Adam dan Nindya yang sudah melepaskan dirinya dari dekapan suamiku, lalu menoleh mencari tahu siapa pemilik tangan yang seolah ingin membantuku berdiri itu.“Ivan!” pekikku tak percaya. “Kenapa kamu ada di sini?”“Aku ada perjalanan bisnis ke Makassar pagi ini. Dan aku tadi kebetulan melihat kalian. Baru mau menyapa eh kamu udah jatuh ketubruk trolley.” Dia melirik Mas Adam yang hanya berdiri terpaku.“Berdirilah, kurasa kakimu terkilir.”Ivan membantuku berdiri,
Dengan susah payah akhirnya aku bisa sampai juga ke parkiran mobilku dengan bantuan Ivan. Sesekali kulihat pria itu melirik arlojinya, sambil terus membantuku berjalan dengan tertatih.“Terima kasih, Van,” ucapku setelah berhasil duduk di belakang setir mobilku.Pria itu mengangguk, kembali melirik arlojinya sebentar kemudian mengambil ponselnya dari saku celananya. Ia lalu menunjukkan layar ponselnya padaku.“Pesan dari Adam,” katanya sambil menghadapkan layar ponselnya padaku.Maaf nggak sempat ngobrol, Bro. Aku buru-buru, takut ketinggalan pesawat. Terima kasih tadi udah nolongin Cahaya.Begitu isi pesan dari nomor suamiku yang kubaca di layar ponselnya. Aku mengdengkus malas, sikap Mas Adam tadi masih menyisakan rasa dongkol di hati ini.“Bisa nyetir?” tanyanya.“Bisa, Van. Terima kasih.”“Kamu lagi latihan pidato ucapan terima kasih? Dari tadi ngomongnya terima kasih melulu.” Ia tersenyum, aku ikut tersenyum.Manis sekali senyumnya!Aku menggelengkan kepalaku sendiri setelah kali
“Bisa turun sendiri? Biar aku yang nyetir.” Ia kembali menjulurkan lengannya, menawarkan bantuan.“Aku bisa sendiri, Van,” jawabku ragu-ragu, sambil mencoba keluar dari mobilku.Tapi rupanya kakiku memang tak mau kompromi, sehingga aku terpaksa kembali berpegangan pada lengannya lalu ia menuntunku memutari bagian depan mobilku kemudian membuka pintu depan sebelah kiri dan membantuku masuk. Mataku mengekori gerakan pria itu hingga ia duduk di belakang setir mobilku. Ia menyetel jok dengan memundurkannya, kemudian perlahan melajukan mobilku keluar dari parkiran bandara.“Tadi aku kirim pesan pada Mas Adam minta ia menyuruh orang mengambil mobilku ke sini tapi ponselnya sudah tidak aktif.” Aku berusaha memecah kesunyian.“Oh.”Asem! Ia hanya menjawab sesingkat itu.“Kamu cancel penerbangan karena aku?”“Iya.”Lagi, hanya sesingkat itu. Oke, ini orang mulai nyebelin.“Kenapa? Padahal harusnya kamu tak perlu melakukan itu, Van.”Ia tak menjawab, aku meliriknya kesal. Hingga tanpa kusadari
Kubuka kembali applikasi WA, pesan yang kukirim pada Mas Adam tadi sudah centang biru tapi ia belum membalas pesanku. Kembali kuintip stroy-nya.Touch down Banjarmasin. Semoga menyenangkan untuk seminggu ke depan bersama orang-orang yang menyenangkan. Tulis Mas Adam di story-nyaOrang-orang yang menyenangkan? Pasti termasuk salah salah satunya Nindya. Aku berdecak kesal. Ia bahkan belum membalas pesanku apalagi menanyakan keadaanku setelah insiden di bandara tadi. Tapi bukankah Mas Adam memang seperti itu? Ia tak pernah meneleponku jika sedang tugas keluar kota seperti saat ini. Aku bahkan tak pernah tahu kapan jadwalnya pulang, lebih tepatnya ia tak pernah memberi tahu.“Kenapa cemberut?” Suara Ivan mengagetkanku. Pria itu membawa minuman dan beberapa cemilan di nampan lalu meletakkannya di atas meja.“Sarapan dulu, Aya.”Aku hanya meliriknya.“Ini salep untuk luka memar. Kamu mau oles sendiri atau kubantu oleskan.” Ia menyodorkan plastik kecil berlogo apotik.Ah, rupanya ia berhenti
“Minum dulu, Ay. Ini aku yang sendiri yang bikin. Makanya tadi agak lama di belakang. Setelah ini kuantar pulang ke rumahmu.”“Aku mau ke butikku aja, Van.”“Kamu harus istirahat kalau ingin kakimu cepat pulih kembali, Aya.”Aduh, mengapa justru pria ini yang perhatian padaku? Aku yakin jika itu Mas Adam, dia akan membiarkanku tetap ke butik tanpa memintaku untuk beristirahat. Ah, ada apa denganku? Kenapa aku justru membandingkan suamiku dengan Ivan? Tapi perhatian kecil seperti itu memang hampir tak pernah kudapatkan dari Mas Adam.Diam-diam aku mencuri pandang pada pria di hadapanku ini ketika ia sedang berkonsentrasi menelepon, sepertinya ia sedang berbicara pada karyawannya sebab kudengar ia memberikan beberapa instruksi. Ivan Nicholas, itu nama lengkapnya. Aku sendiri sama sekali tak mengingatnya, namun saat bertemu Imelda di tempat ini tempo hari. Aku mendengar gadis itu mengeja nama lengkap Ivan. Buru-buru kutundukkan pandanganku saat tatapanku dengannya bertemu setelah dia me
“Jika Adam tak terbiasa menghubungimu, mungkin sebaiknya kamu mencoba menghubunginya lebih dulu. Kabarkan tentang perkembangan kakimu padanya.”Sekali lagi aku mengangguk. Entah kenapa pria yang hanya kubiarkan duduk di kursi teras itu membuatku terus menerus mengangguk, menyetujui semua ucapannya.“Aku pulang, Aya.”Ia melangkah ke arah pagar menuju mobil sport merah yang sudah terparkir di depan rumahku. Ivan tadi memang menelepon seseorang untuk menjemputnya di alamat rumahku. Ia hapal alamat rumahku, tapi aku enggan bertanya dari mana ia mengetahui alamat kami. Mungkin dari Mas Adam, karena mereka berteman, pikirku.“Van,” panggilku. Ia menoleh.“Hati-hati di jalan.”Ia tersenyum, lalu mengangguk. Aku masih memandangi punggungnya hingga pria itu masuk ke dalam mobilnya.🌹🌹🌹Jika Adam tak terbiasa menghubungimu, mungkin sebaiknya kamu mencoba menghubunginya lebih dulu. Kabarkan tentang perkembangan kakimu padanya.Kata-kata Ivan tadi membuatku malam ini meraih ponselku, berniat
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber