Kubuka kembali applikasi WA, pesan yang kukirim pada Mas Adam tadi sudah centang biru tapi ia belum membalas pesanku. Kembali kuintip stroy-nya.Touch down Banjarmasin. Semoga menyenangkan untuk seminggu ke depan bersama orang-orang yang menyenangkan. Tulis Mas Adam di story-nyaOrang-orang yang menyenangkan? Pasti termasuk salah salah satunya Nindya. Aku berdecak kesal. Ia bahkan belum membalas pesanku apalagi menanyakan keadaanku setelah insiden di bandara tadi. Tapi bukankah Mas Adam memang seperti itu? Ia tak pernah meneleponku jika sedang tugas keluar kota seperti saat ini. Aku bahkan tak pernah tahu kapan jadwalnya pulang, lebih tepatnya ia tak pernah memberi tahu.“Kenapa cemberut?” Suara Ivan mengagetkanku. Pria itu membawa minuman dan beberapa cemilan di nampan lalu meletakkannya di atas meja.“Sarapan dulu, Aya.”Aku hanya meliriknya.“Ini salep untuk luka memar. Kamu mau oles sendiri atau kubantu oleskan.” Ia menyodorkan plastik kecil berlogo apotik.Ah, rupanya ia berhenti
“Minum dulu, Ay. Ini aku yang sendiri yang bikin. Makanya tadi agak lama di belakang. Setelah ini kuantar pulang ke rumahmu.”“Aku mau ke butikku aja, Van.”“Kamu harus istirahat kalau ingin kakimu cepat pulih kembali, Aya.”Aduh, mengapa justru pria ini yang perhatian padaku? Aku yakin jika itu Mas Adam, dia akan membiarkanku tetap ke butik tanpa memintaku untuk beristirahat. Ah, ada apa denganku? Kenapa aku justru membandingkan suamiku dengan Ivan? Tapi perhatian kecil seperti itu memang hampir tak pernah kudapatkan dari Mas Adam.Diam-diam aku mencuri pandang pada pria di hadapanku ini ketika ia sedang berkonsentrasi menelepon, sepertinya ia sedang berbicara pada karyawannya sebab kudengar ia memberikan beberapa instruksi. Ivan Nicholas, itu nama lengkapnya. Aku sendiri sama sekali tak mengingatnya, namun saat bertemu Imelda di tempat ini tempo hari. Aku mendengar gadis itu mengeja nama lengkap Ivan. Buru-buru kutundukkan pandanganku saat tatapanku dengannya bertemu setelah dia me
“Jika Adam tak terbiasa menghubungimu, mungkin sebaiknya kamu mencoba menghubunginya lebih dulu. Kabarkan tentang perkembangan kakimu padanya.”Sekali lagi aku mengangguk. Entah kenapa pria yang hanya kubiarkan duduk di kursi teras itu membuatku terus menerus mengangguk, menyetujui semua ucapannya.“Aku pulang, Aya.”Ia melangkah ke arah pagar menuju mobil sport merah yang sudah terparkir di depan rumahku. Ivan tadi memang menelepon seseorang untuk menjemputnya di alamat rumahku. Ia hapal alamat rumahku, tapi aku enggan bertanya dari mana ia mengetahui alamat kami. Mungkin dari Mas Adam, karena mereka berteman, pikirku.“Van,” panggilku. Ia menoleh.“Hati-hati di jalan.”Ia tersenyum, lalu mengangguk. Aku masih memandangi punggungnya hingga pria itu masuk ke dalam mobilnya.🌹🌹🌹Jika Adam tak terbiasa menghubungimu, mungkin sebaiknya kamu mencoba menghubunginya lebih dulu. Kabarkan tentang perkembangan kakimu padanya.Kata-kata Ivan tadi membuatku malam ini meraih ponselku, berniat
[Bisa enggak sih sekali saja kasih perhatian. Aku istrimu, Mas. Kenapa selalu seperti ini caranya ngomong denganku? Selalu ketus dan nyakitin hati. Nggak hanya dengan lisan, tapi lewat chat pun aku masih harus menerima kalimat-kalimat seperti itu dari suamiku sendiri. Kalau sudah nggak suka bilang, Mas. Aku bisa pergi jika memang tak dibutuhkan lagi.]Entah dari mana datangnya keberanianku mengirim pesan seperti itu padanya. Padahal selama tiga tahun ini aku tak pernah protes seperti itu padanya, hanya di awal-awal pernikahan kami dulu aku pernah memprotesnya, namun akhirnya aku menjadi capek sendiri karena ia tak pernah menggubrisku dan tak juga berubah, maka semua itu akhirnya menjadi kebiasaan bagiku. Kebiasaan yang sangat buruk, yang berhasil mengubahku menjadi wanita yang tidak percaya diri, bahkan cenderung menutup diri.Tapi kenapa baru sekarang aku kembali mempertanyakan sikapnya ini? Apakah karena ucapan Ivan kemarin? Jangan sedih terus. Kamu berhak bahagia. Aku suka Cahaya
Banyak sekali notifkasi yang masuk saat aku mengaktifkan ponselku. Padahal tidak biasanya ponselku seramai ini. Setiap harinya paling hanya grup butikku yang terlihat aktif mengirim info-info butik padaku. ku-scroll layar ponselku dan membaca satu persatu pesan yang masuk.[Kamu kenapa, Aya? Ngirim pesan nggak jelas gitu. Bukannya tadi kakimu yang cidera, kenapa jadi otakmu yang eror?]Balasan pesan dari Mas Adam menanggapi pesan terakhirku sebelum ponsel kumatikan. Aku mendengkus kasar.Lalu kemudian beberapa pesan dari Mama Indah menanyakan kabarku dan mengatakan akan mampir pagi ini. Seperti yang dikatakannya tadi, mama juga menjelaskan kalau Mas Adam meneleponnya dan mengabari jika kakiku sedang cidera.[Kak Aya, kakinya gimana? Udah baikan? Tadi Mas Adam telepon suruh Candra lihatin Kak Aya, tapi sudah kemalaman. InsyaAllah besok pagi Candra mampir ke rumah Kakak. Candra sengaja nggak bilang Ibu, takut ibu khawatir.]Pesan dari Candra, adikku. Rupanya Mas Adam juga meneleponnya s
Hari-hariku hanya kuhabiskan dengan menonton film, lalu kemudian membuka layar ponsel. Padahal sebelumnya aku bukanlah tipe orang yang selalu memegang ponsel. Lalu kenapa beberapa hari ini benda pipih itu tak pernah jauh dariku? Bahkan kadang dalam keadaan tidur pun aku masih memegang benda itu. Apa sebenarnya yang sedang kutunggu. Pesan dari suamiku? Tidak. Mas Adam tak pernah menghubungiku ketika sedang di luar kota, meski hanya untuk menanyakan kabarku.Dan jantungku berdetak tak karuan ketika menyadari bahwa beberapa hari ini aku sedang menunggu pesan darinya. Dari seseorang yang baru beberapa hari yang lalu nomornya kusimpan di kontak ponselku dengan nama IN. Namun ternyata Ivan tak pernah mengirim pesan lagi. Bahkan pesan tarakhirku waktu itu hanya dibacanya, tapi tak berbalas. Maka beberapa hari ini aku hanya membuka chat terakhirku dengannya lalu membacanya kembali berulang-ulang sambil berharap ia membalas pesanku atau mengirim pesan padaku.Hingga akhirnya di hari ketiga ini
“Jangan nolak. Kamu juga lagi kepalaran tuh. Ganti baju sana, kita nyari makan. Oiya, pakai bajunya yang sopan ya, jangan yang tipis seperti itu,” ucapnya sambil membalikkan badannya membelakangiku.Aku terkejut menatap diriku sendiri.Brukk!! Spontan aku menutup pintu dengan kasar ketika menyadari bagaimana penampilanku saat ini. Arrgghh! Bisa-bisanya aku mengobrol dengannya dengan balutan piyama berbahan tipis seperti ini. Buru-buru aku berlari menuju kamarku lalu mengganti pakaianku dan mengurai kembali rambutku. Kuhela napas panjang sebelum kembali membuka pintu, semoga pria itu tak lagi membahas penampilan memalukanku tadi.Ivan masih berdiri menghadap ke taman kecil di depan rumah, membelakangi pintu.“Sudah bener belum bajunya?” tanyanya masih memunggungiku.Plakk!! Kuayunkan tas tanganku memukul punggungnya. Ia terkekeh, kemudian membalikkan tubuhnya.“Nah ini baru bener.”“Jangan dibahas!”“Oke oke. Jadi kita makan di mana?”“Terserah kamu, asal jangan jauh-jauh dari sini bi
Pagi ini aku kembali aktif di butik setelah beberapa hari hanya memantau lewat chat di grup WA yang beranggotakan karyawan butik Ayya. Iin langsung menyapaku dengan ekspresi senangnya saat aku membuka depan butik yang terbuat dari kaca.“Sepi banget butik beberapa hari ini, Mbak.”“Enggak apa, In. Rejeki kan sudah ada yang atur. Nanti kita coba promosi lebih giat lagi,” ucapku menanggapi.“Bukan itu, Mbak. Kalau pelanggan ini alhamdulillah ramai. Laporannya juga sudah saya kirim di grup WA kan? Bahkan etalase sebelah sana hanya sudah nyaris kosong, hanya tinggal terisi beberapa koleksi aja.”“Alhamdulillah kalau begitu, In. Lah, terus maksud kamu tadi apa?”“Maksud saya beberapa hari ini butik terasa sepi enggak ada Mbak Aya.”Aku tertawa.“Oiya, Mbak. Kemarin ada tamu yang antarin undangan. Saya letakkan di atas meja Mbak Aya.”“Tamu? Siapa In? Undangan apa?”“Katanya teman Mbak Aya. Orangnya cantik banget kayak artis. Kalau nggak salah namanya Bella.”Bella? Aku menautkan alis. Meng
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber