Pagi ini aku kembali aktif di butik setelah beberapa hari hanya memantau lewat chat di grup WA yang beranggotakan karyawan butik Ayya. Iin langsung menyapaku dengan ekspresi senangnya saat aku membuka depan butik yang terbuat dari kaca.“Sepi banget butik beberapa hari ini, Mbak.”“Enggak apa, In. Rejeki kan sudah ada yang atur. Nanti kita coba promosi lebih giat lagi,” ucapku menanggapi.“Bukan itu, Mbak. Kalau pelanggan ini alhamdulillah ramai. Laporannya juga sudah saya kirim di grup WA kan? Bahkan etalase sebelah sana hanya sudah nyaris kosong, hanya tinggal terisi beberapa koleksi aja.”“Alhamdulillah kalau begitu, In. Lah, terus maksud kamu tadi apa?”“Maksud saya beberapa hari ini butik terasa sepi enggak ada Mbak Aya.”Aku tertawa.“Oiya, Mbak. Kemarin ada tamu yang antarin undangan. Saya letakkan di atas meja Mbak Aya.”“Tamu? Siapa In? Undangan apa?”“Katanya teman Mbak Aya. Orangnya cantik banget kayak artis. Kalau nggak salah namanya Bella.”Bella? Aku menautkan alis. Meng
“Kenapa ke sini? Tau dari mana alamat butikku?” tanyaku gugup. Tak percaya pria yang tadi hanya ada di lamunanku kini sedang berdiri di hadapanku.“Tadi nanya sama Adam alamat butikmu.”“Hahhh???” pekikku.“Kamu kenapa, Ay? Ngagetin aja!”“Minta alamat butikku sama Mas Adam? Untuk alasan apa? Terus dia bilang apa?”“Untuk alasan mau ngajak kamu makan siang dan Adam tak nanya apapun lagi.”“Hahh? Kamu udah gila?”Ia tergelak.“Kenapa sepanik itu sih, Ay?”“Aku serius, Van.” Mataku mulai berembun. Aku sendiri tak mengerti kenapa mataku jadi berkabut.“Eh, kok nangis, Ay. Aku bercanda tadi. Iya aku nanya Adam alamat butikmu, tadi alasannya aku mau nengok kamu dan nanyain keadaan kakimu. Maaf, Aya. Jangan nangis.” Ia terlihat panik.Tatapan Iin dan karyawanku yang lain membuatku merasa tak nyaman sekaligus merasa malu. Bisa-bisanya aku menangis seperti ini untuk sesuatu yang tak jelas, bahkan aku sendiri tak tau kenapa aku rasanya ingin menangis. Sehingga aku menurut saja ketika Ivan meng
Aku mengangguk. Malu. Ya, malu sekali rasanya. Kenapa aku jadi seperti ini di hadapannya? Padahal dia bukan siapa-siapa. Lalu kemudian hanya kata maaf yang kuucapkan berkali-kali padanya, karena aku sendiri bingung harus berkata apa.“Jangan turun dulu, ya. Di luar gerimis,” ucapnya saat aku hendak membuka pintu mobilnya. Tak baik bagi hatiku terlalu lama berada di dalam mobilnya dan hanya berdua dengannya.Ia menoleh ke belakang, meraih jaket yang masih berbungkus plastik berlogo laundry yang tergeletak di jok belakang mobilnya. Lalu membuka pintu mobil di sampingnya. Tak lama kemudian pria itu sudah membuka pintu mobil di sebelahku.“Turun, Ay. Pelan-pelan saja. Hati-hati kakimu.”Pria itu menungguku turun. Jaket yang diambilnya di jok belakang tadi dibentangkannya untuk menutupi kepalaku, menghindarkanku dari terpaan gerimis. Lalu kami berdua berjalan ke arah coffeshop dengan dipayungi jaketnya. Aroma parfum laundy dari jaketnya berbaur dengan aroma parfum pria itu membuat jantungk
Lalu kembali meraihnya saat benda itu berbunyi. Pesan dari Bella.[Jangan lupa datang di peragaan busana ya, Aya. Ajakin Mas Adam juga.][InsyaAllah, Bel. Aku nggak berani janji. Mas Adam juga masih di luar kota.]Sunyi. Itulah yang kurasakan sekarang. Sejak ajakan makan siang Ivan di Twin kemarin, aku sudah tak pernah lagi bertemu dengannya. Ucapan Imelda saat itu membuatku meminta Ivan agar tak lagi menemuiku, tak lagi datang ke rumah atau pun ke butik.“Orang awam kalau lihat kalian kayak tadi pasti mengira kalian ada hubungan, Ay. Aku juga tadi mikirnya kalian ada hubungan khusus. Habisnya kalian terlihat romantis banget.”Begitu kata Imelda kala itu. Dan aku bukan tak menyadari hal itu. Maka saat Ivan mengantarku pulang kembali ke butik. Aku memintanya untuk tak lagi menemuiku. Ia protes namun aku memberikan alasan yang membuatnya mengangguk setuju.“Ini tak baik, Van. Aku takut orang berpikiran macam-macam.”“Kenapa harus peduli apa kata orang, Ay.”“Kamu boleh tak peduli, Van.
Mataku belum bisa terpejam ketika bel depan berbunyi. Aku melirik jam di atas nakas, hampir pukul 12 tengah malam. Pikiranku langsung menuduh satu nama yang sedari tadi memang terus menari-nari di kepalaku. Buru-buru kuganti baju tidurku lalu merapikan rambutku. Aku harus memberi peringatan keras pada Ivan jika dia benar-benar nekat datang tengah malam begini. Namun aku terkejut ketika membuka pintu dan melihat sosok yang berdiri di sana, mengucap salam lalu langsung masuk menyeret trolley bag. Mas Adam.“Kok tengah malam tibanya, Mas? Penerbangan jam berapa?” tanyaku setelah menjawab salam dan mencium punggung tangannya.Tak ada balasan apapun darinya, jangan berharap dia mencium keningku. “Penerbangan sore. Tadi tibanya pas magrib tapi nemanin Nindya dulu di apartemennya. Pintu apartemennya rusak dan tukang kuncinya lama baru datang. Nindya minta ditemanin, dia takut sendirian sementara pintunya rusak.”Dia takut sendirian.Sementara ia tak pernah menanyakan apa aku takut sendiri
“Sudah, Ma. Aya sudah periksa ke dokter dan kata dokter enggak ada masalah, mungkin memang belum saatnya,” jawabku lirih, merasa bersalah belum bisa memberi berita bahagia kepada mereka berdua.“Adam nya sendiri gimana, Nak?”Aku melirik Mas Adam yang tengah bermain catur di teras dengan papa.“Mas Adam belum periksa, Ma.”“Loh, jadi Aya ke dokter sendirian?”“Iya, Ma.”“Bukan gitu konsepnya, Nak. Harusnya kalian berdua periksa, biar jelas dan dokter juga bisa memberikan solusi kalau ada salah satu di antara kalian yang punya masalah.”“Iya, Ma. Nanti Aya ajakin Mas Adam lagi periksa ke dokter berdua. Kemarin-kemarin Mas Adam bilang nggak bisa ikut karena padatnya pekerjaannya.”Kudengar mama mendengkus kesal. “Dia memang selalu begitu, Aya. Padahal dulu selalu bilang pengen segera punya anak biar mama dan papa nggak nganggap dia anak kecil lagi. Makanya dulu buru-buru minta tunangan sama Bella.”Aku melirik mama, membahas soal Bella mengingatkanku pada undangan yang diberikannya wakt
“Tapi, Pa. Adam justru kagum pada wanita-wanita yang berkarir bagus dan berwawasan luas seperti mama.” Suara Mas Adam.“Itu karena kamu mengagumi mamamu, Nak. Dari kecil Adam sudah menyaksikan bagaimana mama berpenampilan cantik dengan setelan baju-baju kerjanya tapi juga masih mencurahkan kasih sayangnya padamu. Namun jika kamu mengalaminya sendiri, kamu pasti akan merasakan seperti apa yang papa rasakan. Tak tega melihat istri yang kita sayangi keletihan. Kita ini laki-laki, Dam. Tetap ada tuntutan untuk dilayani istri meski dia sedang kelelahan. Maka suara hati akan selalu tarik menarik antara ego dan rasa kasihan.”Hening sejenak.“Papa memilihkan Cahaya untukmu karena Papa ingin kamu, putra papa satu-satunya tak mengalami hal itu. Papa ingin kamu merasakan kebahagiaanmu saat pulang ke rumah dalam keadaan letih dan istrimu sudah menantikanmu dan menyiapkan semua kebutuhanmu dengan bahagia, bukan dengan guratan lelah dan senyuman yang justru membuatmu merasa iba. Bukankah itu sanga
“Kenapa nggak dijawab? Kamu mau pura-pura tuli?”Aku menoleh lagi. Kesal!“Aku harus jawab apa, Mas? Percuma! Bukankah aku selalu salah di matamu? Apa yang salah dengan isi pesanku waktu itu? Aku hanya menanyakan kenapa Mas Adam nggak bisa kasi perhatian sedikit saja padaku, pada istrimu.”“Sejak kapan kamu jadi sok manja gini, Cahaya Kirana?” Ia memberiku tatapan tajam sesaat sebelum kembali berkonsentrasi menyetir.“Sejak aku tau kalau kamu lebih perhatian pada orang lain dibanding istrimu sendiri.”“Apa maksudmu?”Jangan biarkan orang lain membunuh karakter aslimu, meski itu adalah orang dekatmu sendiri. Aku tau, dibalik semua kesdihan dan air matamu, kamu masih Cahaya Kirana yang dulu, yang selalu aktif dan percaya diri.Kalimat dari seseorang kembali terngiang di telingaku. Aku harus mengatakan ini, meski aku tau Mas Adam akan marah.“Kamu lebih memilih menyelamatkan orang lain dari pada aku. Kamu tak peduli bagaimana aku bisa pulang setelah kakiku cidera. Kamu lebih memilih meng
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber