Home / Pernikahan / Setelah Diusir Ibu Mertua / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Setelah Diusir Ibu Mertua: Chapter 51 - Chapter 60

91 Chapters

Bab 51

Adaptasi lagi. Itulah hal yang kini coba kujalani.Hampir setahun hidup dan tinggal di lingkungan yang tenang tanpa bising kendaraan, dan kini seperti dipaksa harus membiasakan diri lagi dengan ramainya arus lalu lintas jalan raya di depan rumah.Banyaknya pabrik yang baru berdiri lah, menjadikan lonjakan arus lalu lintas sedemikian padat. Kemacetan terus terjadi sepanjang pagi hingga menjelang jam sembilan. Demikian halnya jika sore hari, mulai jam empat sore hingga menjelang Isya', baru terlihat mulai berkurang ramainya kendaraan yang melintas.Aku mencoba berdamai dengan kondisi ini. Menganggap ini takdir yang telah digariskan untukku. Pun anakku, kuharap ia nyaman dan betah tinggal di sini lagi."Bersabarlah, tak ada rumah tangga yang tak diuji." Ucapan Mbak Fatma menenangkan aku. Jika bisa, saat ini juga ingin kubawa anakku ke sini. Bukankah ini sudah satu tahun, batas waktu yang diberi oleh ibu mertua untuk membawa serta anak yang
Read more

Bab 52

Aku terjaga saat terdengar suara benda keras beradu dengan aspal. Bayi kecilku ikut terjingkat. Sayup-sayup kudengar ada kecelakaan. Aku menghela napas panjang. Menenangkan degup jantung yang seakan hendak lepas dari tempatnya. Tinggal di tepi jalan raya dan laka lantas, sepertinya ini memang satu paket komplit, dan aku harus bersiap dengan segala kemungkinan..Ridho Allah tergantung ridho orang tua.Aku mengaminkan sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, aku merasa banyak keberkahan yang terjadi di hidupku semenjak tinggal dekat ibu.Usaha online yang sempat terseok-seok, kini mulai menampakkan hasilnya. Jika saat tinggal di kontrakan aku bisa membeli baju untukku dan anak-anak, maka sekarang aku bisa membeli beberapa perhiasan untuk gadis kecilku.Sebuah rak berisi stok pakaian yang dijual online dan offline, kini melengkapi isi rumah. Satu langkah besar, karena sebelumnya, kami–aku dan
Read more

Rencana Bu Elis

Matahari baru beranjak naik, tapi kesibukan telah terlihat di dapur Bu Elis. Wanita paruh baya itu akan mengadakan selamatan sore nanti, jadilah sibuk menyiapkan makanan, dibantu Ratih serta kedua menantunya, Andin dan Karin.Ketiga cucu Bu Elis dihandle oleh Angga. Sementara Yudha sibuk dengan toko onlinenya. Suami dari Karin itu memilih berdiam di kamar, hanya keluar sebentar, lalu kembali menenggelamkan diri dengan toko onlinenya.Bu Elis mencari kesempatan untuk berbicara dengan menantu pertamanya. Beliau pun menghampiri Andin yang sedang mengiris wortel untuk campuran mi goreng."Andin, ibu mau bicara sama kamu."Bu Elis mengambil kursi kecil lantas duduk di depan kedua menantunya.Andin menghentikan kegiatannya sejenak, melihat adik iparnya, lantas memusatkan perhatian pada sang ibu mertua. "Iya, Bu. Ada apa, ya?" tanya Andin dengan kening mengernyit. Terlihat olehnya raut wajah serius di wajah ibu mertuanya.
Read more

Angga Galau

Beberapa Minggu kemudian … .Angga baru saja menyelesaikan makan malamnya. Gegas ia menyandang tas laptop, lantas berpamitan pada sang istri."Dek, aku mau ke rumah ibu, ya?"Andin yang masih berbaring karena menemani anaknya tidur, segera beringsut bangun. Ia terkejut melihat sang suami berpakaian rapi, menyandang tas, serta wangi. 'Mau ke mana dia malam begini? Mana rapi dan wangi lagi,' gumam Andin dalam hati, sambil memindai penampilan suaminya."Dek?" Angga memanggil sekali lagi, karena sang istri justru melamun, alih-alih langsung mengiyakan ijinnya kali ini."Eh, iya? Ke rumah ibu malam begini, Mas? Kok bawa tas segala?" tanya Andin bingung. Ia memindai penampilan suaminya sekali lagi. Tak dapat dipungkiri kalau ia merasa heran, kenapa suaminya pamit pergi semalam ini.Angga terlihat salah tingkah. Andin makin curiga."Ya, itu, ada urusan sedikit di sana, sama ibu," jawab Angga sedikit gugup, lantas meng
Read more

Abai

Ada sepasang mata lain yang melepas kepergian Angga dari kediaman Bu Elis. Ya, Karin melonjak bangun begitu mendengar suara motor Angga, lantas berdiri tegak di balik jendela kaca."Kamu terlihat lebih keren saat menggendong tas ransel, Mas," gumam Karin seorang diri."Coba kalau datang agak sorean, kan lumayan bisa main sama Dinar agak lamaan. Ini cuma sebentar, sibuk amat ngikutin maunya ibu yang mau bikin rumah. Belum tentu juga Mbak Andinnya mau diajak tinggal di sini nanti."Aku rasa bakalan sia-sia, deh, bangun rumah itu. Lihat aja entar."Karin masih bergumam panjang pendek, sampai motor Angga menghilang di kelokan jalan depan warung sang ibu."Ngapain itu, ngomong sendiri di situ?"Karin terjingkat, lantas memegangi dadanya yang berdegup kencang. Ketika berbalik badan, ia dapati sang suami berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu sama ruang tengah. Karin hanya nyengir kuda, lalu bergerak mendekat."N
Read more

Pondasi

Sementara itu, di rumah Bu Elis, beliau telah sibuk memasak sejak kemarin. Perempuan setengah abad lebih itu sibuk menyiapkan menu untuk acara selamatan Minggu pagi. Membuat bumbu, membuat ayam ungkep, dan beberapa keperluan selamatan, semua dikerjakan sendiri. Karin hanya membantu sekedarnya. Itu pun dengan wajah masam."Yang bakal punya rumah aja nggak bantuin, kenapa aku yang ikutan repot," gerutunya dalam hati.Ia bersorak gembira saat Dinar merengek minta gendong. Itu artinya akan terbebas dari tugas membantu ibu mertuanya."Udah sana, rumati dulu itu anaknya!" titah Bu Elis yang tak mau mendengar cucu kesayangannya menangis."Siap, Bu!"Senyum Karin kian lebar, lantas melangkah pergi membawa si buah hati..Menjelang jam enam pagi, para tamu undangan sudah mulai datang, termasuk pemborong dan para tukang. Bu Elis berkali-kali melihat ke ujung jalan, hendak memastikan kalau anak sulungnya akan datang dan ikut selamatan.
Read more

Janji Andin

Andin membuang pandang ke luar jendela, di mana pondasi calon rumah untuk suaminya berada.Terngiang ucapan sang suami beberapa tahun lalu, saat ia meminta tinggal terpisah dari rumah Bu Elis."Aku sudah memutuskan, Dek. Aku mau bangun rumah, dan anak-anak kuajak. Kalau nggak kamu, ya, terserah."Hati Andin kembali mencelos teringat itu semua. Ditambah pesan dari ibu mertuanya yang ia baca beberapa saat tadi, kian menambah jumlah penolakan untuk mau tinggal di tempat itu.Ibu dari Lusi dan Dani itu merasa, bahwa pesan Bu Elis menyiratkan keinginan supaya Angga hanya datang sendiri ke rumah ini. Dan bukankah sejatinya Andin pun enggan ikut tadinya, karena badannya kurang sehat sejak kemarin?Akan tetapi, demi menghargai sang suami, ia pun memaksa ikut, sebab tak mau ada perang dunia dengan imam dalam rumah tangganya itu. Kini rasa sesal menyelusup ke dalam sanubarinya. 'Mestinya aku menolak ikut. Mestinya aku istirahat saja di rumah tadi. Untuk apa aku ada di sini, jika hadirku tak dii
Read more

Tak Rela

"Mas, sandalku mana, ya? Kok nggak ada?" tanya Andin sambil celingukan.Baru akan naik ke atas motor, terdengar suara adzan Subuh dari masjid dekat rumah Bu Elis. "Tunggu selesai adzan, ya?" pinta Angga.Kali ini Andin setuju. Perempuan yang menggendong bocah tiga tahun itupun segera duduk di ujung teras toko ibu mertuanya. Kantong hitam yang sejak tadi ia pegang diletakkan di sampingnya. Tatapannya langsung menyorot pada pondasi rumah yang kemarin baru dibuat. "Lho, kok malah duduk di situ?" tegur Bu Elis yang baru ke luar."Nunggu adzan, Bu." Angga yang menjawab."Oh, nggak nunggu di dalam aja, Ndin?"Andin memasang senyum meski hatinya masih terluka."Makasih, Bu. Di sini saja."Bu Elis tak menjawab lagi. Suasana hening untuk beberapa saat. Suara kendaraan yang melintas masih terdengar di sela suara adzan. Tak lama kemudian, terdengar iqomah, Bu Elis sudah siap dengan mukena, hendak berangkat ke masjid setelah anak dan cucunya pulang."Sudah selesai adzannya. Kami pulang ya, Bu,"
Read more

Nasehat

Beberapa hari kemudian … ."Angga, melamun aja!"Seseorang menyapa, membuat Angga mengerjap. Wajah yang kemudian memenuhi area pandangnya, membuat bibirnya melengkungkan senyuman."Lagi galau dia, Pak!" salah seorang temannya yang menyahuti, Indra namanya."Asem! Jangan dengerin dia, Pak," sangkal Angga, meski pada kenyataannya dia memang sedang terbengong tadi, saat seniornya-Pak Mugi-datang bertamu secara tiba-tiba.Pak Mugi hanya geleng-geleng kepala melihat mantan 'anak buahnya' saling ledek, seru seperti saat dirinya masih berkantor di sini.Mereka lalu berbincang dan bertukar kabar. Sampai kemudian, Pak Mugi mengajukan tanya pada Angga."Kemarin, aku lewat jalan depan rumahmu. Kok ada orang kayak lagi bangun rumah? tanya Pak Mugi penasaran."Oh, iya, Pak.""Rumah kamu?"Angga mengangguk. Pak Mugi meninju lengan Angga."Aduh. Sakit lho, Pak," Angga meringis, pura-pura kesakitan."Gitu kok, nggak ngomong sama saya?!" protes Pak Mugi."Kenapa gitu, Pak? Mau disumbang semen satu truk
Read more

Senyumnya menyeringai

Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa yang tahu?Demikian pula Andin yang kini tampak tersenyum manis memandangi kolam ikan, dimana puluhan ekor ikan nila sebesar telapak tangan orang dewasa sedang berkecipak berebut makanan yang ditaburkan oleh kedua anaknya.Ada banyak impian yang tengah ia rancang dalam kepala, dan nasehat Pak Mugi beserta istri beberapa saat tadi seakan menguatkannya.Melihat kolam ikan tersebut, keinginan untuk memiliki kolam lele kelak jika punya rumah sendiri semakin besar. Sederhana saja inginnya, rumah dengan kolam lele serta kebun yang akan ditanami bermacam sayur dan tanaman toga.Seperti halnya kebun mini di depan rumah kontrakannya, yang ia rawat sepenuh hati dan tanami bermacam sayur. Sebuah sudut yang menjadi hiburan sekaligus salah satu sumber kebahagiaan baginya.'Jika ilmu kebatinan yang diajarkan Pak Mugi bisa membuat beliau memiliki rumah dan halaman yang luas serta nyaman ini, bukan tak mungkin kalau aku kelak juga akan memiliki yang sama
Read more
PREV
1
...
45678
...
10
DMCA.com Protection Status