Home / Pernikahan / Setelah Diusir Ibu Mertua / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Setelah Diusir Ibu Mertua: Chapter 31 - Chapter 40

91 Chapters

Bab 31

"Mas, ini ibu nelpon!"Kuberikan ponsel tersebut. Kebetulan Mas Yudha sudah muncul di pintu kamar. Ia segera keluar, sebab tak mau mengganggu Dinar."Iya, Bu?"Aku tak mendengar lagi obrolan mereka. Lebih baik aku ke dapur lalu menata isinya.Ini semua seperti mimpi bagiku. Bisa keluar dari rumah ibu dengan kerelaan beliau, tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti yang kurencanakan sebelumnya. Tak mau membuang waktu, segera saja kuisi ember besar yang dibeli sore tadi. Tak ada bak mandi di sini, jadi mau tak mau harus menampung air.Pun tak ada wastafel seperti di rumah ibu. Semua kegiatan yang bersangkutan dengan air hanya bisa dikerjakan di kamar mandi ini.Perabotan segera kubawa ke kamar mandi untuk dicuci. Tak banyak memang, tapi, setidaknya sudah bersih nanti jika mau memakai.."Mas, airnya nggak ngalir!"Aku berniat memasak air untuk menyeduh kopi, juga untuk mandi Dinar. Namun apa daya, air t
Read more

Bab 32

Tawa kami pecah berderai-derai. Dinar terlihat bengong melihat ayahnya yang tertawa-tawa di depannya.Kami memang membeli kompor satu tungku kemarin, tapi tabungnya belum dapat. Sudah kuusulkan supaya beli sama ibu, tapi Mas Yudha nggak mau. Kebiasaan di rumah ibu apa-apa tinggal pakai, nggak mikir beli gas, apalagi masang. Ini pagi-pagi sudah panik nggak ada air, nggak kepikiran ngecek kompor juga."Maaf, Mas. Kenapa bisa lupa, ya?" tanyaku setelah tawaku berkurang."Ya bisa, namanya juga manusia, Dek.""Lagian kamu, Mas, belum ada tabung main pasang aja selang sama regulatornya. Kirain semalam pamit itu udah dapet.""Ya maaf, kirain Mas biar tinggal masang kalau dapat tabung, nggak taunya nggak boleh dibeli, jadi mesti cari ke tempat lain.""Aku juga kenapa nggak ngecek dulu, ya. Duh, kenapa jadi oleng begini, Mas."Mas Yudha menggerak-gerakkan lengan Dinar, yang disambut kekehan berulang. Aku masih menyeracau, tak habis pikir dengan drama pagi pertama di kontrakan ini."Itu kalau m
Read more

Bab 33

Setengah jam kemudian ia kembali dengan nasi brekat selamatan dari tetangga. Beberapa kue tradisional melengkapi brekat kali ini. Memang hampir setiap hari ada saja yang mengadakan selamatan. Entah selamatan orang meninggal, syukuran kelahiran, sampai arisan. Aku sendiri pun kadang bingung jika ibu yang mengundang tetangga mengaji di rumah untuk selamatan. Hal ini sebab terlalu seringnya diadakan.Nasi-nasi brekat yang didapat dari tetangga itu biasanya justru terbuang, sebab saking banyaknya. Pun sebab sudah masak terlebih dahulu, jadi memilih menyantap masakan sendiri.Sering merasa bersalah juga saat terpaksa membungkus nasi ke dalam kantong kresek lalu memasukkan ke dalam tong sampah. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat menjemur nasi, apalagi ayam yang berkeliaran bebas seperti di rumah orang tua Mas Yudha.Ketika masih di rumah ibu, mudah saja menghabiskan nasi itu, tinggal kasih ayam, beres. Atau taruh di tampah, biarkan kering, maka bisa menjadi nasi aking. .Kondisi keuangan
Read more

Bab 34

Melihat Mas Angga bergantian melaksanakan ibadah dengan Mbak Andin, entah kenapa ada yang tercubit di sini, di sudut hati.Kembali hati didera iri pada Mbak Andin, lalu berandai jika yang jadi suamiku itu Mas Angga. Ingin rasanya suamiku pun demikian, mau melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.Mbak Andin menatap dengan sorot yang sulit diartikan. Aku sendiri mengalihkan pembicaraan pada perkembangan anak-anak dan lingkungan baruku.Ia memang tak bertanya lagi, tapi kuyakin dalam hatinya ingin tau bagaimana aku menjalani satu bulanku di sini tanpa mukena.Ya, memang telah selama itu, aku hampir tak melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Kecuali saat berkunjung ke rumah ibu mertua. Begitu juga dengan Mas Yudha. Mukena itu memang tertinggal di sana. Entah bagaimana, aku tak terpikirkan untuk membawanya serta saat kembali ke rumah ini.Mas Yudha pun, tak beda jauh denganku. Sesungguhnya aku terkejut saat ia berkata a
Read more

Bab 35

Gegas kututup pintu, lalu kembali ke dapur. Memindai seisi ruangan, lalu membuka lemari. Kedua mataku sibuk mencari piring berisi pecak ikan kembung. Seingatku masih ada tiga ekor tadi. Tapi, kok …Tatapan mata ini terhenti di atas lemari, di mana tadi kuletakkan piring berisi masakan.Astaghfirullah … itu dia! Piringnya masih berisi bumbu, sementara isinya telah raib. Bumbunya berceceran dari atas lemari hingga ke lantai. Tak salah lagi, pasti ulah kucing tadi. Saat sedang menduga-duga, terasa telapak tangan menyentuh bahu, membuatku sedikit terperanjat. Detak jantung ikut berlompatan sebab mendapat kejutan. Terlihat olehku Mas Yudha berdiri tegak di belakangku. Tak menyangka ia menyusul ke dapur."Duh, Mas … bikin kaget aja!" protesku, masih menormalkan detak jantung."Kenapa, kok gitu mukanya?" tanya Mas Yudha bingung.Kuhela napas pendek sebelum menjawab."Maaf, Mas … ikannya hilang," jawabku den
Read more

Bab 36

Terbangun di jam empat pagi, sebab tepukan lembut di lengan kiri.Mata yang masih terasa lengket dilebar-lebarkan. Wajah Mas Yudha yang nampak pertama kali, lalu samar terdengar suara rengekan Dinar."Si cantik bangun, Dek, sepertinya lapar," ujar Mas Yudha sambil tersenyum. Ia lalu melabuhkan kecupan singkat di keningku.Tak menunggu lagi, segera saja aku beringsut mendekati Dinar, lantas kuberi ASI. Ia mulai menyesapnya tanpa henti, membuat kantong ASI perlahan mengendur sebab mulai berkurang isinya.Rupanya anakku benar-benar lapar, hingga menyesap yang kedua, lantas kembali terlelap. Sementara kedua mataku telah terbuka lebar. Rasa kantuk telah hilang sama sekali sekarang.Kuelus wajah mungil yang kini kembali ke alam mimpi. Pipinya yang menggembung kukecup beberapa kali. Mas Yudha telah ikut pula berbaring di samping bayiku. Napasnya terdengar teratur, sementara alisnya bertaut.Melihatnya seperti ini, muncul rasa
Read more

Bab 37

Aroma yang tak asing, menambah daftar kesal dan ketidaksukaan pada hewan berkaki empat yang semalam mencuri ikan kembungku.Urung menghirup napas dalam-dalam, berganti kembali ke dapur, mengambil kantong kresek, lalu mencari sumber bau tak sedap.Segera saja kumasukkan kantong kresek berisi kotoran kucing yang sangat menggangguku. Sesungguhnya aku nyaman tinggal di sini, hanya satu itu masalahku.Jika saja pemiliknya mau memasukkan hewan peliharaannya ke dalam kandang, kurasa hal ini tak akan terjadi. Ingin menegur juga nggak enak, sebab masih warga baru di sini.Hanya kepasrahan yang bisa kulakukan. Membersihkan jika kotor. Menjunjung langit di mana bumi kupijak, itulah yang kini kulakukan. Setidaknya ini jauh lebih baik daripada serumah dengan ibu mertuaku.Kutatap sekali lagi rumah di seberang jalan ini, di mana lima ekor kucing biasa berkeliaran, bahkan bergantian digendong dan dihujani ciuman.Kembali aku memasuki rumah. Men
Read more

Bab 38

"Makanya lain kali lihat tanggal lagi!"Samar terdengar suara Mas Yudha. Di mana dia? Sedang bicara sama siapa? "Ya udah, ya udah. Wa'alaikumsalam."Terdengar lagi suaranya, seperti sedang kesal dengan seseorang yang mengajak bicara.Hatiku kembali dipenuhi tanya, sambil melihat sekeliling.Terlihat Dinar berada dalam posisi tengkurap, sementara tangannya sibuk memainkan sisir dan botol minyak telon. Kakinya menendang-nendang udara. Sesekali terdengar celotehan dari bibir mungilnya.Tak jauh darinya, sebuah ponsel tengah menyala, sedang menampilkan adegan film animasi 'Super Jojo' yang sedang sibuk dengan sepatu rodanya.Aku menghela napas panjang, lantas membuat kesimpulan sendiri, bahwa Mas Yudha yang memberikan tontonan itu pada putri bungsuku. Siapa lagi, hanya dia yang ada di rumah ini selain aku dan Dinar.Aku sendiri terbaring di sampingnya, terpisah jarak setengah meter. Melihat ke luar kamar, nampaknya langit masih terang. Jam bera
Read more

Bab 39

"Enggak. Entar aja nambahnya. Puyeng entar, kayak Mbak Andin. Mas nggak lihat apa, Mbak Andin sama Mas Angga sampai habis gitu badannya?""Kamu perhatian amat sama mereka. Mas nggak merhatiin, tuh. Tapi beneran, deh, Mas malah seneng kalau Dinar punya adik bayi," sambung Mas Yudha, lantas pamer gigi.Aku menghela napas panjang mendengar ucapannya. Ini bukan kali pertama ia berkata ingin menambah momongan. Ya sebenarnya nggak masalah juga, namanya rejeki mana bisa ditolak. Tapi sebisa mungkin kuusahakan supaya jarak lahirnya nggak terlalu dekat. Biar puas juga si Dinar diasuh oleh kami berdua. Ya, sama berharap kondisi keuangan stabil juga.Kan nggak lucu kalau saat keuangan morat-marit seperti sekarang justru punya bayi lagi. Ya, memang rejeki sudah diatur, setiap anak juga sudah ada jatah rejekinya masing-masing, tapi, kalau bisa ditunda dulu, kenapa enggak. Kan gitu.Lagian aku juga sudah KB suntik tiga bulan. Berjaga-ja
Read more

Bab 40

Pertanyaan apa yang baru saja kudengar? Tak ada orang lain di ruangan ini selain aku dan Budhe. Jika menyebut menantu, tak mungkin juga Budhe yang dimaksud, sebab mertua Budhe telah lama berpulang.Lantas jika pertanyaan berisi tuduhan itu ditujukan padaku, atas dasar apa?Terkesiap dengan suara yang tak asing itu, membuat kami berdua menoleh bersamaan ke arah datangnya suara. Seketika manik mata ini membola melihat Bulek Ratih tersenyum sinis menatapku.Rasa tak percaya bahwa orang yang dulu kukenal baik dan bijak ini berubah seratus delapan puluh derajat semenjak aku pulang kampung beberapa waktu lalu.Bulek telah bersandar di sisi pintu, dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Terlihat olehku kedua mata Bulek yang memerah, kini menatapku tajam."Maksud Bulek apa?" tanyaku ingin tau apa maksud ucapannya beberapa saat tadi.Tidak mungkin Bulek yang selama ini baik dan bijak tiba-tiba menyampaikan tuduhan keji padaku.Tak pernah terpikirka
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status