Aroma yang tak asing, menambah daftar kesal dan ketidaksukaan pada hewan berkaki empat yang semalam mencuri ikan kembungku.
Urung menghirup napas dalam-dalam, berganti kembali ke dapur, mengambil kantong kresek, lalu mencari sumber bau tak sedap.Segera saja kumasukkan kantong kresek berisi kotoran kucing yang sangat menggangguku. Sesungguhnya aku nyaman tinggal di sini, hanya satu itu masalahku.Jika saja pemiliknya mau memasukkan hewan peliharaannya ke dalam kandang, kurasa hal ini tak akan terjadi. Ingin menegur juga nggak enak, sebab masih warga baru di sini.Hanya kepasrahan yang bisa kulakukan. Membersihkan jika kotor. Menjunjung langit di mana bumi kupijak, itulah yang kini kulakukan. Setidaknya ini jauh lebih baik daripada serumah dengan ibu mertuaku.Kutatap sekali lagi rumah di seberang jalan ini, di mana lima ekor kucing biasa berkeliaran, bahkan bergantian digendong dan dihujani ciuman.Kembali aku memasuki rumah. Men"Makanya lain kali lihat tanggal lagi!"Samar terdengar suara Mas Yudha. Di mana dia? Sedang bicara sama siapa? "Ya udah, ya udah. Wa'alaikumsalam."Terdengar lagi suaranya, seperti sedang kesal dengan seseorang yang mengajak bicara.Hatiku kembali dipenuhi tanya, sambil melihat sekeliling.Terlihat Dinar berada dalam posisi tengkurap, sementara tangannya sibuk memainkan sisir dan botol minyak telon. Kakinya menendang-nendang udara. Sesekali terdengar celotehan dari bibir mungilnya.Tak jauh darinya, sebuah ponsel tengah menyala, sedang menampilkan adegan film animasi 'Super Jojo' yang sedang sibuk dengan sepatu rodanya.Aku menghela napas panjang, lantas membuat kesimpulan sendiri, bahwa Mas Yudha yang memberikan tontonan itu pada putri bungsuku. Siapa lagi, hanya dia yang ada di rumah ini selain aku dan Dinar.Aku sendiri terbaring di sampingnya, terpisah jarak setengah meter. Melihat ke luar kamar, nampaknya langit masih terang. Jam bera
"Enggak. Entar aja nambahnya. Puyeng entar, kayak Mbak Andin. Mas nggak lihat apa, Mbak Andin sama Mas Angga sampai habis gitu badannya?""Kamu perhatian amat sama mereka. Mas nggak merhatiin, tuh. Tapi beneran, deh, Mas malah seneng kalau Dinar punya adik bayi," sambung Mas Yudha, lantas pamer gigi.Aku menghela napas panjang mendengar ucapannya. Ini bukan kali pertama ia berkata ingin menambah momongan. Ya sebenarnya nggak masalah juga, namanya rejeki mana bisa ditolak. Tapi sebisa mungkin kuusahakan supaya jarak lahirnya nggak terlalu dekat. Biar puas juga si Dinar diasuh oleh kami berdua. Ya, sama berharap kondisi keuangan stabil juga.Kan nggak lucu kalau saat keuangan morat-marit seperti sekarang justru punya bayi lagi. Ya, memang rejeki sudah diatur, setiap anak juga sudah ada jatah rejekinya masing-masing, tapi, kalau bisa ditunda dulu, kenapa enggak. Kan gitu.Lagian aku juga sudah KB suntik tiga bulan. Berjaga-ja
Pertanyaan apa yang baru saja kudengar? Tak ada orang lain di ruangan ini selain aku dan Budhe. Jika menyebut menantu, tak mungkin juga Budhe yang dimaksud, sebab mertua Budhe telah lama berpulang.Lantas jika pertanyaan berisi tuduhan itu ditujukan padaku, atas dasar apa?Terkesiap dengan suara yang tak asing itu, membuat kami berdua menoleh bersamaan ke arah datangnya suara. Seketika manik mata ini membola melihat Bulek Ratih tersenyum sinis menatapku.Rasa tak percaya bahwa orang yang dulu kukenal baik dan bijak ini berubah seratus delapan puluh derajat semenjak aku pulang kampung beberapa waktu lalu.Bulek telah bersandar di sisi pintu, dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. Terlihat olehku kedua mata Bulek yang memerah, kini menatapku tajam."Maksud Bulek apa?" tanyaku ingin tau apa maksud ucapannya beberapa saat tadi.Tidak mungkin Bulek yang selama ini baik dan bijak tiba-tiba menyampaikan tuduhan keji padaku.Tak pernah terpikirka
"Ibumu cuma mau gendong cucunya, Nduk. Kenapa kamu jauhkan?" Budhe Yani masih tak menyerah.Kini aku menghela napas lelah. Jelas sudah ini ulah ibu yang memutar balikkan fakta. Ibu mengadu pada saudaranya dengan memojokkan aku, hingga aku seperti pesakitan.Oke, aku akan membuat klarifikasi, semua demi tak ada salah paham lagi setelah ini."Budhe, maaf. Saya tidak pernah berniat menjauhkan anak saya dari neneknya, kecuali ada hal yang sangat tidak bisa saya terima. Ibu masih bisa menggendong Dinar kapan saja. Toh, hampir tiap hari kami datang berkunjung dan menemani ibu mengobrol santai. Sekarang ini, saya memang ngontrak, Budhe. Kami tinggal terpisah sama ibu, tapi kalau siang hampir selalu ada di rumah beliau. Pulang ke kontrakan cuma kalau waktunya tidur saja," ujarku menjelaskan.Kulihat keduanya saling bertukar pandang, lantas mulai mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya pikiran mereka mulai terbuka setelah kusampaik
Sekitar dua Minggu sejak kejadian itu, pembangunan rumah pun dimulai.Bukan hanya keluarga kecilku, tapi keluarga Mbak Andin pun diminta untuk datang ke rumah mertua.Tak ada yang ibu pinta, selain meramaikan rumah beliau yang telah sepi selama beberapa waktu.Dan benar saja meski wajah ibu terlihat pucat, tapi beliau selalu menampakkan senyum.Masakan dan cemilan untuk dua pekerja telah beliau siapkan sendiri. Tentu saja aku bisa menghela napas lega, sebab setiap ada acara, biasanya dua menantu ini kebagian di dapur membantu ibu.Mbak Andin pun ikut lega juga kurasa. Bisa duduk manis sambil mengawasi kedua bocil yang lincah bergerak ke sana ke mari.Kini aku beralih memperhatikan dua pekerja yang sibuk menyusun batu bata dan adukan semen. Kotak-kotak yang membagi sepetak tanah menjadi beberapa ruangan telah terlihat. Tak ada pondasi dari batu kali seperti yang kulihat pada umumnya, hanya beberapa tumpukan bat
Keesokan harinya, kuajak Mas Yudha berburu barang promosi di indoapril. Sengaja datang pagi saat masih sepi, sebab harus discan satu persatu.Lumayanlah, hasil buruan bisa dijual lagi dengan harga di bawah pasaran. Namanya juga usaha, apa pun yang bisa menghasilkan uang pasti kami kejar.Berburu promo ini salah satunya. Di warung orange pun demikian, seringnya Mas Yudha begadang menunggu barang yang dijual dengan harga nyungsep, lalu kembali dijual dengan harga normal atau di bawah pasaran.Setiap hari, aku butuh waktu minimal satu jam untuk meng-upload foto produk, lalu sibuk menjawab inbox.Berbeda dengan Mas Yudha yang fokus dengan akun di warung orange, maka aku melakukan gencatan senjata di akun Facebook, sebab kebanyakan yang closing memang dari sana.Kesibukan ini semakin membuat kami berdua memperbanyak tontonan film animasi untuk Dinar. Ayah ibunya sibuk dengan toko online, anaknya sibuk dengan film animasi untuk anak-anak. Demik
Sekitar setengah jam kemudian, suara motor Mas Angga terdengar memasuki halaman, lalu berhenti sempurna di samping Honda beat yang tadi kuajak keliling perumahan ini.Ia terlihat gagah dengan seragam yang menempel di tubuhnya. Lusi dan Dani menyambut kedatangan sang ayah dengan senyuman lebar."Ayah … ayah … ada Dek Dinar, Yah!" ujar mereka berebut memberi kabar."Sama Tante Karin, Yah!" Seruan kedua anak itu membuatku tersenyum. Mungkin jika besar nanti, akan seperti itu juga sambutan anakku saat menyambut ayahnya pulang kerja.Sekarang Dinar kecilku masih di fase mengacak-acak mainan, sambil sesekali mengeluarkan satu dua kata yang belum jelas bunyinya. Ah, aku bahkan lupa, ayahnya sekarang kan, tak perlu ke mana-mana untuk bekerja. Paling ambil paket ke rumah ibu. Itu pun sama-sama ke sananya. Saat ini pun ia sedang mengubah ruang tamu Mbak Andin menjadi lautan mainan. Meski aku mencegah, tapi Mbak Andin justru mendukung Dinar dengan menawarkan semu
Sepeda motor berwarna dominan hitam ini kembali melaju meninggalkan area perumahan di mana kakak ipar dan dua keponakanku tinggal."Mas, kita cari popok sekalian, ya, yang di rumah tinggal sedikit," usulku setelah motor yang dinaiki meninggalkan pintu gerbang perumahan.Mas Yudha mengangguk setuju, lalu mempercepat laju kendaraan, lantas berbelok di area parkir Saudari mall. Hanya butuh waktu sepuluh menit ke sini, kenapa Mbak Andin tak pernah ke sini? Itulah yang terlintas pertama kali saat kembali menginjakkan kaki di area mall ini. Mas Yudha menggenggam tanganku sepanjang perjalanan mencari apa yang akan kami beli.Setelah puas melihat-lihat, barulah kami meninggalkan mall ini dengan membawa popok sebesar bantal.Kedua mataku memindai sekeliling. Siapa tau aja ada sesuatu yang bisa dibeli untuk dijual lagi dari mall ini. Lalu pandanganku terhenti di tumpukan handuk di teras mall.Promo cuci gudang, handuk yang
Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern