Semalaman aku tak bisa tidur, teringat bagaimana suamiku berbicara banyak hal mengenai kakak iparku. Detail pula yang disampaikan, bikin hati kebat-kebit memikirkan kemungkinan terburuk.Entah kenapa aku merasa suamiku punya perhatian lebih, atau mungkin ini hanya perasaanku saja?Tiba-tiba saja aku teringat kalau beberapa waktu ke belakang aku jadi lebih sering berpikir mengenai saudara suamiku satu-satunya, yaitu Mas Angga. Apa ini semacam sebab akibat, aku memperhatikan Mas Angga, lalu Mas Yudha memperhatikan Mbak Andin?Ah, kenapa jadi begini. Bukannya wajar ya, kalau Mas Yudha tau banyak, soalnya kan mereka sudah jadi satu keluar, pasti lah Mas Yudha tau soal keluarga dan asal usul kakak iparnya itu, sama sepertiku yang dulu diinterogasi oleh ibu sebelum jadi menantu.Aku jadi berprasangka pada suamiku, buang-buang energi saja. Tak mungkin juga lah Mas Yudha punya rasa sama Mbak Andin. Sudah jelas aku yang jadi istri dan diperjuangkan di hada
"Kalau kamu, kan, anak kuliahan. Sudah pasti bisa mendidik anak dengan baik nantinya. Ibu masih berharap kamu bisa jadi menantu ibu, meski ibu sudah tak lagi punya anak laki-laki."Deg … deg … deg … .Astaghfirullah … astaghfirullah … apa yang terjadi dengan ibu mertua hamba ya, Rabb … Apakah ibu sedang berniat meminta salah satu anak lelakinya untuk berpoligami?"Bu Elis … ."Kudengar suara perempuan yang menemani ibu mulai terdengar. Aku ingin tau, ia menanggapi seperti apa ungkapan ibu mertuaku yang baru saja ia dengar barusan."Tidak apa-apa, Mir. Nanti biar ibu bujuk lagi si Yudha."Ya Allah!Aku menekap mulut. Membayangkan suamiku akan menikah lagi seperti pinta ibu. Mengingat selama ini Mas Yudha lebih banyak patuh pada beliau, bukan tak mungkin nanti ia akan mengabulkan jika memang sang ibu memohon.Apa yang harus kulakukan sekarang, ya Rabb … .Tiba-tiba saja terdengar suara ponsel ya
Enam bulan berlalu. Tak ada yang mencurigakan dari suamiku. Ia tetap menjadi suami dan ayah yang baik untuk Dinar. Masih sering berbicara dengan anakku yang satu lagi melalui telepon. Pun dengan bapak dan ibu, ia selalu berusaha menjaga silaturahmi dengan mereka meski tak bertatap muka.Aku tak lagi melihat Mira datang ke rumah ibu. Setidaknya begitu yang kulihat saat aku diajak berkunjung. Entah di waktu lain.Perasaan curiga pun berusaha kutepis. Aku tak mau digerogoti oleh rasa penasaran dan penuh curiga, yang nantinya akan merusak moodku. Fokusku kini pada anakku, serta toko online yang kini mulai merangkak naik. Kondisi ekonomi kian stabil. Aku bisa membeli beberapa lembar baju yang kuinginkan. Kiriman untuk anakku juga kulebihkan, meski ibu dan ayah tak pernah meminta..Aku menatap heran pada isi rumah yang nyaris kosong, kecuali beberapa boks berisi penuh dengan perabotan dan pernak-pernik rumah.Barang-barang telah dimasukkan ke kardu
Inikah akhirnya?Setelah menikmati kurang dari setahun hidup bebas, aku harus kembali ke rumah itu, dimana aku pernah diminta pergi tanpa membawa anakku oleh orang tua suamiku?Aku sudah bahagia tinggal di sini. Merdeka, bebas melakukan apa saja, bebas bangun jam berapa saja, bebas mau beli apa dan akan ke mana, tak ada yang mengabsen dan bertanya-tanya.Tapi sekarang apa? Aku dipaksa kembali ke sana tanpa kompromi. Inikah arti dari tenangnya Mas Yudha menghadapi aku selama setahun terakhir ini?Berakhir di sini kah, 'pestaku'? Oh, aku sungguh ingin membantah, tapi lidahku kelu. Kata-kata yang siap meluncur, kutelan kembali tanpa sempat terucap."Ibu, beliau hampir dilecehkan oleh salah satu pelanggan, Dek. Aku tak bisa membiarkan orang tuaku seperti itu. Ibu memang sudah sepuh, tapi beliau beberapa kali menghadapi lelaki hidung belang sendirian.""Ibu, dilecehkan?" Aku bertanya dengan kening mengernyit. Hatiku mencelos saat
"Ini nanti kalau ditanya Pak Yai bilang acara apa, Bu?"Mas Yudha bertanya, bersiap menyambut kedatangan Pak ustadz yang akan memimpin doa."Acaranya itu, menyambut kepulangan kamu sama cucuku untuk tinggal kembali ke rumah ini.""Heh? Acara apa itu? Kamu mau masalah keluargamu diketahui orang sekampung?" Bulek Ratih membantah ucapan ibu.Aku tak peduli. Bahkan yang disebut kepulangan Mas Yudha dan sang cucu. Aku? Ah, mungkin beliau lupa, kalau aku ini ibu dari cucu yang diminta tinggal di sini. Kubiarkan saja mereka berdebat. Nanti kalau beruntung biasanya bakal nemu adegan lucu.Mbak Andin masih sibuk memasukkan kotak nasi ke dalam kantong plastik. Banyaknya kegiatan, membuatku tak busa leluasa berbicara dengannya. Mungkin nanti, kalau rumah sudah sepi."Bilang saja ini syukuran, berdoa untuk keselamatan dan kebaikan semua anggota keluarga, nggak usah ngomong kalau penyambutan atau yang lain. Malu, Mbak!"Tuh
Adaptasi lagi. Itulah hal yang kini coba kujalani.Hampir setahun hidup dan tinggal di lingkungan yang tenang tanpa bising kendaraan, dan kini seperti dipaksa harus membiasakan diri lagi dengan ramainya arus lalu lintas jalan raya di depan rumah.Banyaknya pabrik yang baru berdiri lah, menjadikan lonjakan arus lalu lintas sedemikian padat. Kemacetan terus terjadi sepanjang pagi hingga menjelang jam sembilan. Demikian halnya jika sore hari, mulai jam empat sore hingga menjelang Isya', baru terlihat mulai berkurang ramainya kendaraan yang melintas.Aku mencoba berdamai dengan kondisi ini. Menganggap ini takdir yang telah digariskan untukku. Pun anakku, kuharap ia nyaman dan betah tinggal di sini lagi."Bersabarlah, tak ada rumah tangga yang tak diuji." Ucapan Mbak Fatma menenangkan aku. Jika bisa, saat ini juga ingin kubawa anakku ke sini. Bukankah ini sudah satu tahun, batas waktu yang diberi oleh ibu mertua untuk membawa serta anak yang
Aku terjaga saat terdengar suara benda keras beradu dengan aspal. Bayi kecilku ikut terjingkat. Sayup-sayup kudengar ada kecelakaan. Aku menghela napas panjang. Menenangkan degup jantung yang seakan hendak lepas dari tempatnya. Tinggal di tepi jalan raya dan laka lantas, sepertinya ini memang satu paket komplit, dan aku harus bersiap dengan segala kemungkinan..Ridho Allah tergantung ridho orang tua.Aku mengaminkan sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, aku merasa banyak keberkahan yang terjadi di hidupku semenjak tinggal dekat ibu.Usaha online yang sempat terseok-seok, kini mulai menampakkan hasilnya. Jika saat tinggal di kontrakan aku bisa membeli baju untukku dan anak-anak, maka sekarang aku bisa membeli beberapa perhiasan untuk gadis kecilku.Sebuah rak berisi stok pakaian yang dijual online dan offline, kini melengkapi isi rumah. Satu langkah besar, karena sebelumnya, kami–aku dan
Matahari baru beranjak naik, tapi kesibukan telah terlihat di dapur Bu Elis. Wanita paruh baya itu akan mengadakan selamatan sore nanti, jadilah sibuk menyiapkan makanan, dibantu Ratih serta kedua menantunya, Andin dan Karin.Ketiga cucu Bu Elis dihandle oleh Angga. Sementara Yudha sibuk dengan toko onlinenya. Suami dari Karin itu memilih berdiam di kamar, hanya keluar sebentar, lalu kembali menenggelamkan diri dengan toko onlinenya.Bu Elis mencari kesempatan untuk berbicara dengan menantu pertamanya. Beliau pun menghampiri Andin yang sedang mengiris wortel untuk campuran mi goreng."Andin, ibu mau bicara sama kamu."Bu Elis mengambil kursi kecil lantas duduk di depan kedua menantunya.Andin menghentikan kegiatannya sejenak, melihat adik iparnya, lantas memusatkan perhatian pada sang ibu mertua. "Iya, Bu. Ada apa, ya?" tanya Andin dengan kening mengernyit. Terlihat olehnya raut wajah serius di wajah ibu mertuanya.
Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern