Adaptasi lagi. Itulah hal yang kini coba kujalani.
Hampir setahun hidup dan tinggal di lingkungan yang tenang tanpa bising kendaraan, dan kini seperti dipaksa harus membiasakan diri lagi dengan ramainya arus lalu lintas jalan raya di depan rumah.Banyaknya pabrik yang baru berdiri lah, menjadikan lonjakan arus lalu lintas sedemikian padat. Kemacetan terus terjadi sepanjang pagi hingga menjelang jam sembilan. Demikian halnya jika sore hari, mulai jam empat sore hingga menjelang Isya', baru terlihat mulai berkurang ramainya kendaraan yang melintas.Aku mencoba berdamai dengan kondisi ini. Menganggap ini takdir yang telah digariskan untukku. Pun anakku, kuharap ia nyaman dan betah tinggal di sini lagi."Bersabarlah, tak ada rumah tangga yang tak diuji." Ucapan Mbak Fatma menenangkan aku.Jika bisa, saat ini juga ingin kubawa anakku ke sini. Bukankah ini sudah satu tahun, batas waktu yang diberi oleh ibu mertua untuk membawa serta anak yangAku terjaga saat terdengar suara benda keras beradu dengan aspal. Bayi kecilku ikut terjingkat. Sayup-sayup kudengar ada kecelakaan. Aku menghela napas panjang. Menenangkan degup jantung yang seakan hendak lepas dari tempatnya. Tinggal di tepi jalan raya dan laka lantas, sepertinya ini memang satu paket komplit, dan aku harus bersiap dengan segala kemungkinan..Ridho Allah tergantung ridho orang tua.Aku mengaminkan sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, aku merasa banyak keberkahan yang terjadi di hidupku semenjak tinggal dekat ibu.Usaha online yang sempat terseok-seok, kini mulai menampakkan hasilnya. Jika saat tinggal di kontrakan aku bisa membeli baju untukku dan anak-anak, maka sekarang aku bisa membeli beberapa perhiasan untuk gadis kecilku.Sebuah rak berisi stok pakaian yang dijual online dan offline, kini melengkapi isi rumah. Satu langkah besar, karena sebelumnya, kami–aku dan
Matahari baru beranjak naik, tapi kesibukan telah terlihat di dapur Bu Elis. Wanita paruh baya itu akan mengadakan selamatan sore nanti, jadilah sibuk menyiapkan makanan, dibantu Ratih serta kedua menantunya, Andin dan Karin.Ketiga cucu Bu Elis dihandle oleh Angga. Sementara Yudha sibuk dengan toko onlinenya. Suami dari Karin itu memilih berdiam di kamar, hanya keluar sebentar, lalu kembali menenggelamkan diri dengan toko onlinenya.Bu Elis mencari kesempatan untuk berbicara dengan menantu pertamanya. Beliau pun menghampiri Andin yang sedang mengiris wortel untuk campuran mi goreng."Andin, ibu mau bicara sama kamu."Bu Elis mengambil kursi kecil lantas duduk di depan kedua menantunya.Andin menghentikan kegiatannya sejenak, melihat adik iparnya, lantas memusatkan perhatian pada sang ibu mertua. "Iya, Bu. Ada apa, ya?" tanya Andin dengan kening mengernyit. Terlihat olehnya raut wajah serius di wajah ibu mertuanya.
Beberapa Minggu kemudian … .Angga baru saja menyelesaikan makan malamnya. Gegas ia menyandang tas laptop, lantas berpamitan pada sang istri."Dek, aku mau ke rumah ibu, ya?"Andin yang masih berbaring karena menemani anaknya tidur, segera beringsut bangun. Ia terkejut melihat sang suami berpakaian rapi, menyandang tas, serta wangi. 'Mau ke mana dia malam begini? Mana rapi dan wangi lagi,' gumam Andin dalam hati, sambil memindai penampilan suaminya."Dek?" Angga memanggil sekali lagi, karena sang istri justru melamun, alih-alih langsung mengiyakan ijinnya kali ini."Eh, iya? Ke rumah ibu malam begini, Mas? Kok bawa tas segala?" tanya Andin bingung. Ia memindai penampilan suaminya sekali lagi. Tak dapat dipungkiri kalau ia merasa heran, kenapa suaminya pamit pergi semalam ini.Angga terlihat salah tingkah. Andin makin curiga."Ya, itu, ada urusan sedikit di sana, sama ibu," jawab Angga sedikit gugup, lantas meng
Ada sepasang mata lain yang melepas kepergian Angga dari kediaman Bu Elis. Ya, Karin melonjak bangun begitu mendengar suara motor Angga, lantas berdiri tegak di balik jendela kaca."Kamu terlihat lebih keren saat menggendong tas ransel, Mas," gumam Karin seorang diri."Coba kalau datang agak sorean, kan lumayan bisa main sama Dinar agak lamaan. Ini cuma sebentar, sibuk amat ngikutin maunya ibu yang mau bikin rumah. Belum tentu juga Mbak Andinnya mau diajak tinggal di sini nanti."Aku rasa bakalan sia-sia, deh, bangun rumah itu. Lihat aja entar."Karin masih bergumam panjang pendek, sampai motor Angga menghilang di kelokan jalan depan warung sang ibu."Ngapain itu, ngomong sendiri di situ?"Karin terjingkat, lantas memegangi dadanya yang berdegup kencang. Ketika berbalik badan, ia dapati sang suami berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu sama ruang tengah. Karin hanya nyengir kuda, lalu bergerak mendekat."N
Sementara itu, di rumah Bu Elis, beliau telah sibuk memasak sejak kemarin. Perempuan setengah abad lebih itu sibuk menyiapkan menu untuk acara selamatan Minggu pagi. Membuat bumbu, membuat ayam ungkep, dan beberapa keperluan selamatan, semua dikerjakan sendiri. Karin hanya membantu sekedarnya. Itu pun dengan wajah masam."Yang bakal punya rumah aja nggak bantuin, kenapa aku yang ikutan repot," gerutunya dalam hati.Ia bersorak gembira saat Dinar merengek minta gendong. Itu artinya akan terbebas dari tugas membantu ibu mertuanya."Udah sana, rumati dulu itu anaknya!" titah Bu Elis yang tak mau mendengar cucu kesayangannya menangis."Siap, Bu!"Senyum Karin kian lebar, lantas melangkah pergi membawa si buah hati..Menjelang jam enam pagi, para tamu undangan sudah mulai datang, termasuk pemborong dan para tukang. Bu Elis berkali-kali melihat ke ujung jalan, hendak memastikan kalau anak sulungnya akan datang dan ikut selamatan.
Andin membuang pandang ke luar jendela, di mana pondasi calon rumah untuk suaminya berada.Terngiang ucapan sang suami beberapa tahun lalu, saat ia meminta tinggal terpisah dari rumah Bu Elis."Aku sudah memutuskan, Dek. Aku mau bangun rumah, dan anak-anak kuajak. Kalau nggak kamu, ya, terserah."Hati Andin kembali mencelos teringat itu semua. Ditambah pesan dari ibu mertuanya yang ia baca beberapa saat tadi, kian menambah jumlah penolakan untuk mau tinggal di tempat itu.Ibu dari Lusi dan Dani itu merasa, bahwa pesan Bu Elis menyiratkan keinginan supaya Angga hanya datang sendiri ke rumah ini. Dan bukankah sejatinya Andin pun enggan ikut tadinya, karena badannya kurang sehat sejak kemarin?Akan tetapi, demi menghargai sang suami, ia pun memaksa ikut, sebab tak mau ada perang dunia dengan imam dalam rumah tangganya itu. Kini rasa sesal menyelusup ke dalam sanubarinya. 'Mestinya aku menolak ikut. Mestinya aku istirahat saja di rumah tadi. Untuk apa aku ada di sini, jika hadirku tak dii
"Mas, sandalku mana, ya? Kok nggak ada?" tanya Andin sambil celingukan.Baru akan naik ke atas motor, terdengar suara adzan Subuh dari masjid dekat rumah Bu Elis. "Tunggu selesai adzan, ya?" pinta Angga.Kali ini Andin setuju. Perempuan yang menggendong bocah tiga tahun itupun segera duduk di ujung teras toko ibu mertuanya. Kantong hitam yang sejak tadi ia pegang diletakkan di sampingnya. Tatapannya langsung menyorot pada pondasi rumah yang kemarin baru dibuat. "Lho, kok malah duduk di situ?" tegur Bu Elis yang baru ke luar."Nunggu adzan, Bu." Angga yang menjawab."Oh, nggak nunggu di dalam aja, Ndin?"Andin memasang senyum meski hatinya masih terluka."Makasih, Bu. Di sini saja."Bu Elis tak menjawab lagi. Suasana hening untuk beberapa saat. Suara kendaraan yang melintas masih terdengar di sela suara adzan. Tak lama kemudian, terdengar iqomah, Bu Elis sudah siap dengan mukena, hendak berangkat ke masjid setelah anak dan cucunya pulang."Sudah selesai adzannya. Kami pulang ya, Bu,"
Beberapa hari kemudian … ."Angga, melamun aja!"Seseorang menyapa, membuat Angga mengerjap. Wajah yang kemudian memenuhi area pandangnya, membuat bibirnya melengkungkan senyuman."Lagi galau dia, Pak!" salah seorang temannya yang menyahuti, Indra namanya."Asem! Jangan dengerin dia, Pak," sangkal Angga, meski pada kenyataannya dia memang sedang terbengong tadi, saat seniornya-Pak Mugi-datang bertamu secara tiba-tiba.Pak Mugi hanya geleng-geleng kepala melihat mantan 'anak buahnya' saling ledek, seru seperti saat dirinya masih berkantor di sini.Mereka lalu berbincang dan bertukar kabar. Sampai kemudian, Pak Mugi mengajukan tanya pada Angga."Kemarin, aku lewat jalan depan rumahmu. Kok ada orang kayak lagi bangun rumah? tanya Pak Mugi penasaran."Oh, iya, Pak.""Rumah kamu?"Angga mengangguk. Pak Mugi meninju lengan Angga."Aduh. Sakit lho, Pak," Angga meringis, pura-pura kesakitan."Gitu kok, nggak ngomong sama saya?!" protes Pak Mugi."Kenapa gitu, Pak? Mau disumbang semen satu truk
Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern