Semua Bab TANTE MALIKA : MANISNYA DENDAM ADIK TERSAYANG: Bab 21 - Bab 30

46 Bab

BAB 21

"Mas Pram, mbok nelpon tho Mas. Atau angkatlah telponku. Sekaliiii... saja. Seberapa marahnya kamu sama aku, seberapa jijiknya kamu sama aku, aku adalah ibu dari anak-anakmu...” PUK. Malika terperangah ketika kakinya ada yang menepuk. Siapa lagi kalau bukan Adam. Jemari pemuda itu masih menyengkeram ujung roknya. Wajah Malika yang bersimbah air mata tersenyum geli melihat sikap konyol Adam. Persis anak kecil takut ditinggal sendirian. Sekilas Adam membuka mata, menatap Malika redup. Bibirnya menggumamkan tiga kata. Lirih dan tersendat, “Buk, ada apa...?” Malika geleng-geleng kepala dan sibuk menghapus air mata dengan ujung jilbabnya. “Nggak ada apa-apa. Rindu sama anak,” jawab Malika tenang. Tidak ingin Adam melihat kesedihannya, tangan Malika mengusap kelopak mata Adam agar menutup kembali. Pemuda itu terjengit dan sekilas mengangkat wajah. Ajaib. Tak butuh waktu lama, Adam langsung tertidur. Suara dengkurannya terdengar tipis dan beraturan. Mungkin baru
Baca selengkapnya

BAB 22

Adzan isya mengumandang dari arah masjid desa Kintamani. Di antara kabut tipis dan dinginnya malam yang menusuk kulit, sepasang kaki melangkah menyusuri jalan setapak di tengah kebun jeruk. Tersendat-sendat. Sempoyongan, setelah hampir dua jam menempuh perjalanan kaki. Sebuah tas kain lusuh terayun-ayun di tangannya. Sandal jepit yang dikenakan sesekali lepas tali dari bolongannya. Gemas dan kesal, akhirnya ia lempar sandal itu ke tengah kebun jeruk. Toh, jalan raya sudah di depan mata. Jalan yang akan dilalui bakalan mulus. Tidak seperti jalan yang ditapaki sekarang, penuh dengan duri dan kerikil. “Kira-kira lima ratus meter lagi. Mudah-mudahan Bu'e ada di rumah. Kalau nggak ada, matilah aku.” Raganya yang lelah dan menahan lapar rasanya ingin roboh saja. Perutnya hanya kemasukan dua potong singkong rebus pagi tadi. Beberapa permen yang tersimpan di dalam saku celananya menolongnya dari kelaparan dan sedikit memberi energi pada tubuhnya. Begitu pula dengan
Baca selengkapnya

BAB 23

Esok paginya begitu bangun tidur, Darsih berpesan sama Malika. “Bu'e, saya tidak akan keluar rumah jika tidak penting sekali. Saya mohon, jangan bilang sama orang-orang kalau saya ada di sini yaaa..?” “Iya. Eh, tapi di sini siapa yang kenal sama kamu, Mbak?” “Yaaaa... jaga-jaga saja sih Bu. Beberapa tetangga saya dari desa ada yang tinggal di sini. Rata-rata mereka berjualan bakso sama sosis keliling.” “Oooh... gitu. Okee Mbak.” Setelah membuat kopi panas dan ketela goreng, keduanya mengobrol di ruang tengah sambil melihat televisi. Darsih permisi menyelonjorkan kaki di sofa panjang. Jemari tangannya yang berwarna coklat kehitaman tidak berhenti mengusapkan minyak oles ke kakinya, lantas dipijit-pijitnya sendiri. Malika prihatin melihat telapak kaki Darsih yang kusam, nampak melepuh dan bengkak. “Sini saya mijitin, Mbak...” “Eh, nggak...nggak. Jangan Buk!” timpal Darsih menolak sembari menjauhkan kakinya dari jangkauan tangan Malika. “Nggak apa-apa.
Baca selengkapnya

BAB 24

“Heeegghh... Ya Allah.” Helaan nafas panjang di sampingnya membuat Malika tergagap dan menoleh. Ia merasa bersalah telah mengacuhkan Darsih yang sekarang menjadi tamunya. Penampilan Darsih agak lucu. Tubuh pendeknya terbenam dalam daster berukuran besar. Malika bingung juga, Budhe Sun bertubuh mungil, tapi dastenya banyak yang berukuran besar. Mungkin diberi oleh seseorang. “Eh, mbak Sih, maaf. Mbak kok sedih gitu?” Malika mulai memancing pertanyaan. “Saya bingung kalau nganggur gini, Buk. Tidak ada pemasukan. Mana saya harus mengirim uang sama emak." “Iya Mbak. Sama. Di sini aku juga lagi bingung. Eh, emak sampeyan kan punya kebun coklat sama kelapa?” “Pohon coklat hanya enam puluh pohon, Buk. Kalau kelapa paling tiga puluh. Hasilnya sedikit. Kalau buat makan sih cukup. Tahu sendiri kan tinggal di desa. Banyak orang punya hajat. Belum lagi nengok orang lahiran, orang sakit dan iuran macam-macam.” “Iya benar, Mbak. “Saya ke sini kan rencanaya mau c
Baca selengkapnya

BAB 25

Siang itu usai masak MALIKA sudah berdandan rapi dan cantik. Bersiap-siap ke rumah Wulan. Makanan dan buah yang hendak dibawa sudah dipersiapkan sejak tadi. Tinggal menunggu kedatangan Putu Astari dan Mba Fatma. Barusan mereka nelpon sudah pulang dari pasar dan sekarang masih bersiap-siap. Adam muncul dengan wajah kuyu. Sempat menginap di rumah Malika semalam, lantas esoknya tidur di tempat Anton usai periksa ke dokter. Malika segera mengambil nasi goreng dan bikin teh panas untuk pemuda itu. “Sedikit saja, Bu. Tadi sudah dibelikan sate sama Mas Anton.” Kedatangan Adam hendak mengambil tas dan cas ponsel yang ketinggalan di rumah Malika. “KOndismu masih seperti ini. Masak mau pulang sekarang?” Adam tidak segera menjawab. Wajahnya nampak gundah. “Saya bilang sama ibu ada kerjaan di sini. InsyaAllah dua hari lagi aja pulang. Menunggu luka mengering. Ibu pasti sedih dan khawatir melihat kondisi saya begini.” “Iya. Bagus itu Dik, apalagi ibumu tidak k
Baca selengkapnya

BAB 26

Mbak Fatma mengusap bahu Malika prihatin. “Aduh Malika, kasihan deh kamu. Ketinggalan berita kayak gini. Memangnya Budhe Sun nggak pernah cerita ya? Nggak lama setelah kamu balik ke Jawa, Kak Mar menikah sama Koh Daniel. Anak sulungnya Pak Liong. Pemilik vila di bawah ituuu…” “Astogfirullooohhh. Masa sih? Tahunya aku, dia itu suaminya dari Cina, eh Hongkong, seperti yang diceritakan sama Adam kemarin.” “Heee... itu bukan suatu dosa, Malika. Kok kamu bilang begitu?” protes Mbak Fatma melihat Malika mengucapkan istigfar berulangkali. Malika geleng-geleng kepala. Masih sulit percaya. “Jadi Adam ituuu...?” “Iyaaaa..., Mas Adam tadi itu anaknya Kak Mar sama Koh Daniel. Cucunya Pak Liong. Pemilik vila di bawah itu. Mereka dulu tinggal di sana. Setelah Koh Daniel meninggal, disusul sama Pak Liong, kak Mar dan Adam pindah ke Bangli dalam keadaan miskin. Baru tiga tahun lalu...” terang Mbak Fatma sejelas-jelasnya. Bicaranya keras dan agak ngotot, seperti mau ngajak perang
Baca selengkapnya

BAB 27

Adam masih duduk di depan layar lap top. Konsentrasinya benar-benar lumpuh total. Tiga hari yang lalu, Maryati ibunda Adam melihat televisi. Kedua jemari tangannya tidak berhenti bergerak-gerak. Tawanya yang sesekali berderai mengiringi film komedi di layar televisi tidak mampu menyembunyikan kegalauannya. Adam yang menemani sang ibu nonton di sampingnya menangkap gerakan tangan itu dan segera tanggap apa yang tengah dirisaukan oleh ibunya. “Kapan terakhir cincin itu harus ditebus, Bu?” “Delapan hari lagi. Ibu sudah diberi tenggang waktu tiga bulan. Jika tidak ditebus akan hangus. Hilang. Tunggakannya masih separoh lagi, satu juta seratus ribu. Ibu sudah nggak punya apa-apa lagi untuk dijual. Tinggal lemari es..., “Jangan Bu. Ibu kan perlu untuk menyimpan es buah kalau masih sisa,” sergah Adam keberatan. “Coba nanti saya carikan uangnya. Ibu jangan khawatir. InsyaAllah cincin ibu akan kembali.” Maryati menatap putra tunggalnya sendu. Mengangguk pelan mesk
Baca selengkapnya

BAB 28

Pulang dari rumah Wulan, Malika dan kedua temannya langsung mampir ke rumah Maryati. Mereka berempat bernostalgia. Anton datang menyusul dengan motor bututnya. Membawa sekresek jeruk. Mengendarai motor butut tahun 1980-an warna merah. Suaranya bikin telinga bergoyang. Uthuk uthuk uthuk... Malika yang nelpon Anton karena Putu Astari dan Mbak Fatma masih ada kondangan ke rumah temannya sampai malam. Sementara itu tidak angkutan umum untuk pulang ke desa. Rumah Maryati yang biasanya sepi menjadi ramai. Maryati bahagia sekali kedatangan teman lamanya. Ia masak capcay telur puyuh dan goreng tempe mendoan. Dimakan selagi hangat sangat nikmat. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Maryati menceritakan kisah hidupnya. Sementara Adam dan Anton menyingkir ke teras usai makan, bermain gitar. “Bukan untuk pamer penderitaan atau mengemis simpati. Aku hanya ingin berbagi pengalaman. Kalau kita harus baik sama semua orang. Hati-hati sama orang terdekat, karena bisanya mereka yang
Baca selengkapnya

BAB 29

Siang itu Pramono termenung di balkon hotel bintang tiga yang di sewanya selama mengerjakan proyek di sini. Melepas kan pandang ke arah Gunung Arjuno di sebelah barat kota Malang. Pemandangan hijau dan hembusan angin mampu menyegarkan mata dan pikiran. Sebuah sorban warna putih membalut kepala Pramono. Bukan maksud hati bergaya seperti orang Arab, akan tetapi untuk melindungi kepalanya yang pening dari terpaan angin. Wajah Pramono begitu kuyu dan pucat. Penampilannya mirip pendekar Wiro Sableng kalah perang. Bibir Pramono yang coklat pucat mengunyah roti bantal pelan-pelan, diselingi minum teh panas. Memanglah, sejak empat hari lalu Pramono sakit demam tinggi. Tubuhnya menggigil. Nggruguh. Kepala cenut-cenut dan suhu tubuhnya mencapai 40 derajat celcius. Persis orang kena malaria. Darahnya juga sempat naik ke level 160. Namun, dokter bilang tidak ada gejala penyakit aneh. Hanya demam biasa dan kelelahan. Syukurlah, raganya yang rewel kini sudah membaik sete
Baca selengkapnya

BAB 30

MARIO JAYAATMO. Pemuda gagah itu berdiri di tepi jendela kaca lebar Tangan kirinya berkacak di pinggang, sedang yang kanan berpegangan pada tepi kelambu warna biru toscha berbahan lembut. Dari lantai dua kantornya ini, bandara Juanda terlihat ujung landasannya. Dari sini jaraknya hanya dua kilmeter saja. Sementara di atas langit kota Sidoarjo, lalu lalang pesawat tidak ada berhentinya. “Pak Pilot... Nyuwun duiteee...!” (Pak pilot... minta uangnya) Bos muda perusahaan distributor alat-alat Kesehatan dan rumah sakit Global Medical itu terkekeh mengingat masa bocahnya. Bersamaan dengan teman-temannya, serentak meneriakkan kalimat itu jika ada pesawat atau helikopter melintas di atasnya. Ketika berteriak begitu, urat leher bocah-bocah itu sampai kelihatan, dibarengi dengan tubuh yang melonjak-lonjak ke atas. Bahkan ada yang melepas bajunya dan dilambaikan ke atas. Berharap gempitanya didengar oleh sang pilot. Konyol dan norak banget. “Zaman anti masalah. Anti ga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status