Pulang dari rumah Wulan, Malika dan kedua temannya langsung mampir ke rumah Maryati. Mereka berempat bernostalgia. Anton datang menyusul dengan motor bututnya. Membawa sekresek jeruk. Mengendarai motor butut tahun 1980-an warna merah. Suaranya bikin telinga bergoyang. Uthuk uthuk uthuk... Malika yang nelpon Anton karena Putu Astari dan Mbak Fatma masih ada kondangan ke rumah temannya sampai malam. Sementara itu tidak angkutan umum untuk pulang ke desa. Rumah Maryati yang biasanya sepi menjadi ramai. Maryati bahagia sekali kedatangan teman lamanya. Ia masak capcay telur puyuh dan goreng tempe mendoan. Dimakan selagi hangat sangat nikmat. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Maryati menceritakan kisah hidupnya. Sementara Adam dan Anton menyingkir ke teras usai makan, bermain gitar. “Bukan untuk pamer penderitaan atau mengemis simpati. Aku hanya ingin berbagi pengalaman. Kalau kita harus baik sama semua orang. Hati-hati sama orang terdekat, karena bisanya mereka yang
Siang itu Pramono termenung di balkon hotel bintang tiga yang di sewanya selama mengerjakan proyek di sini. Melepas kan pandang ke arah Gunung Arjuno di sebelah barat kota Malang. Pemandangan hijau dan hembusan angin mampu menyegarkan mata dan pikiran. Sebuah sorban warna putih membalut kepala Pramono. Bukan maksud hati bergaya seperti orang Arab, akan tetapi untuk melindungi kepalanya yang pening dari terpaan angin. Wajah Pramono begitu kuyu dan pucat. Penampilannya mirip pendekar Wiro Sableng kalah perang. Bibir Pramono yang coklat pucat mengunyah roti bantal pelan-pelan, diselingi minum teh panas. Memanglah, sejak empat hari lalu Pramono sakit demam tinggi. Tubuhnya menggigil. Nggruguh. Kepala cenut-cenut dan suhu tubuhnya mencapai 40 derajat celcius. Persis orang kena malaria. Darahnya juga sempat naik ke level 160. Namun, dokter bilang tidak ada gejala penyakit aneh. Hanya demam biasa dan kelelahan. Syukurlah, raganya yang rewel kini sudah membaik sete
MARIO JAYAATMO. Pemuda gagah itu berdiri di tepi jendela kaca lebar Tangan kirinya berkacak di pinggang, sedang yang kanan berpegangan pada tepi kelambu warna biru toscha berbahan lembut. Dari lantai dua kantornya ini, bandara Juanda terlihat ujung landasannya. Dari sini jaraknya hanya dua kilmeter saja. Sementara di atas langit kota Sidoarjo, lalu lalang pesawat tidak ada berhentinya. “Pak Pilot... Nyuwun duiteee...!” (Pak pilot... minta uangnya) Bos muda perusahaan distributor alat-alat Kesehatan dan rumah sakit Global Medical itu terkekeh mengingat masa bocahnya. Bersamaan dengan teman-temannya, serentak meneriakkan kalimat itu jika ada pesawat atau helikopter melintas di atasnya. Ketika berteriak begitu, urat leher bocah-bocah itu sampai kelihatan, dibarengi dengan tubuh yang melonjak-lonjak ke atas. Bahkan ada yang melepas bajunya dan dilambaikan ke atas. Berharap gempitanya didengar oleh sang pilot. Konyol dan norak banget. “Zaman anti masalah. Anti ga
Desi terkesiap dan mengeryitkan dahi tak habis pikir melihat foto yang terpampang dengan jelas itu. “Seperti Bu Malika... tapi lebih muda. Ah, mungkin foto lama sebelum pakai jilbab.” Desi memperhatikan sosok Mario dari belakang dengan tatapan aneh. “Kenapa Pak Mario menaruh profil kakaknya. Bukan foto sekeluarga atau pacarnya?” Ponsel Mario berdering. “Hai Leniii... sori nggak dengar telpon. Tadi aku silent, ada meting di kantor. Emmm... Rabu lusa aku ada acara kantor sampai hari sabtu.” “Terus, kapan ada waktu buatkuuuu...?” terdengar jelas suara wanita memelas. Mario terdiam sejenak, menatap lampu neon berbentuk panjang di sudut ruangan, “Eemm... setelah hari minggunya nanti kita rencanakan. Sudah ya. Aku masih sibuk.” Tanpa menunggu jawaban kekasih di masa SMUnya itu, Mario langsung mengakhiri panggilan Leni dan menaruh ponselnya di meja. Bibir Mario tersenyum separoh sambil mengangkat kedua tangannya. “Heemmm... anak-anak gadis banyak dramanya. Pingin ini,
"Katanya kalau banyak amal itu rejekinya akan bertambah, berkah. Aku kok malah hancur-hancuran seperti ini,” keluh Malika sambil tiduran di sofa. Lelah raganya usai membersihkan kamar mandi yang habis disedot karena sudah overload. Wajah Malika kuyu dan lesu. Matanya agak sembab karena semalam menangis, rindu sama suami dan anak-anaknya. Ditatapnya dengan malas lap top yang menyala atas meja. Baru saja Adam datang menyerahkan lap top dan langsung menghidupkannya. Setelah itu ia keluar lagi demi melihat wajah Malika ditekuk.Takut dicerkam kali yaaa...?! Bagaimana tidak mengeluh dan sedih, hari ini saja harus keluar uang untuk memperbaiki lap topnya yang rusak. Biaya delapan ratus ribu. WC kamar mandi juga meluber dan perlu disedot. Keluar lagi uang lima ratus ribu. Belum buat beli pulsa listrik dan bayar air yang nunggak selama enam bulan. Meski jarang dipakai tapi lumayan juga habisnya, dua ratusan ribu. “Uangku tinggal satu juta tujuh ratus. Pokoknya ha
Malam itu, Mario muncul di depan rumah Malika. Bersamaan dengan kepulangan anak-anak muda yang sejak siang tadi berlatih peran di rumah tersebut. Mereka berpapasan di halaman. Tinggal Adam dan Anton yang masih merevisi dialog. Malika yang keluar mengiringi kepergian anak-anak terlonjak kaget melihat kedatangan adiknya. Hampir tidak percaya. Tatapannya memaku pada sosok Mario yang berdiri di pinggir teras dengan bibir senyam-senyum. Hingga Mario beringsut mendatangi Malika dan berdiri tepat di hadapannya. “Malam-malam gini melamun, nanti kesambet setan lho,” canda Mario memencet hidung Malika. Malika gelagapan, tersadar dari lamunannya. Seketika merentangkan kedua tangannya dan memeluk tubuh Mario erat-erat. “Adikku Mariooo…!” lengkingnya dalam buncahan rasa haru sekaligus gembira. Kedatangan Mario seolah bagai obat untuk jiwanya yang sakit setelah hampir sebulan tidak bertemu. “Nggak bilang kalo mau datang,” sungut Malika memukuli gemas bahu adiknya. Tidak lupa
Malika duduk di sofa ruang tengah melihat televise usai melaksanakan salat isya. Ia ingin bersantai sejenak setelah beraktifitas sepanjang hari. Tanpa mengenakan jilbab. Namun daster yang dikenakan sopan dan panjang. Malika telah bertekad untuk lebih hati-hati menjaga tubuhnya dari tatapan laki-laki. Mario keluar kamar dan mengambil tas belanja dari sebuah minimarket. “Dingin-dingin begini enaknya minum kopi panas. Mbak Lika pasti mau.” “He he… seperti biasa. Nggak nolak rejeki.” Malika lupa jika dirinya masak air panas di dapur. Mario kembali melihat-lihat tumpukan property dan kain di sudut ruang tengah. “Segini banyak alat buat sooting.” Pemuda itu mengukur kepalanya yang tidak gatal. “Iya. Ini aja belum semua. Masih ada yang harus dibeli,” sahut Malika santai sambil melipat mukena, lantas ditaruh di pojok sofa. Meraih sisir dan merapikan rambutnya yang acak adul. Malika menjual kalungnya untuk membantu Adam dan teman-temannya membeli itu semua. Kalung i
“Astagfirullah. Nggak mungkin Adam seperti itu. Kak Mar telah mendidiknya dengan baik. Aku tahu betul pribadi Kak Mar,” tepis Malika menepis prasangka buruknya. Akan tetapi, tak berselang lama ia teringat lagi sama perhiasan emasnya yang hilang. “Waktu itu hanya Adam yang ada di dalam rumah. Sementara ia juga sedang membutuhkan uang. Ah, siapapun yang mengambilnya, aku harus lebih hati-hati dan selalu mengunci kamar. Apalagi sekarang banyak orang di rumah ini.” PUK. Sebuah tepukan lembut dari belakang mendarat di bahunya. Malika tidak menoleh karena tahu siapa yang melakukannya. Hanya mengangkat bahu sebagai responnya. “Mbak... uang siapa itu? Banyaakkk sekaliiii...!” pekik Mario tiba-tiba, tepat di telinga Malika. Mendengar kata itu Malika sontak membalik badan dengan mata membeliak. “Manaaa... ? Uang apaa...?” Malika ikut memekik kaget. Dengan tatapan nanar mengikuti telunjuk Mario yang mengarah ke lantai terus naik ke atas meja, mengitari westafel dan berakhir memencet hidung