Malika duduk di sofa ruang tengah melihat televise usai melaksanakan salat isya. Ia ingin bersantai sejenak setelah beraktifitas sepanjang hari. Tanpa mengenakan jilbab. Namun daster yang dikenakan sopan dan panjang. Malika telah bertekad untuk lebih hati-hati menjaga tubuhnya dari tatapan laki-laki. Mario keluar kamar dan mengambil tas belanja dari sebuah minimarket. “Dingin-dingin begini enaknya minum kopi panas. Mbak Lika pasti mau.” “He he… seperti biasa. Nggak nolak rejeki.” Malika lupa jika dirinya masak air panas di dapur. Mario kembali melihat-lihat tumpukan property dan kain di sudut ruang tengah. “Segini banyak alat buat sooting.” Pemuda itu mengukur kepalanya yang tidak gatal. “Iya. Ini aja belum semua. Masih ada yang harus dibeli,” sahut Malika santai sambil melipat mukena, lantas ditaruh di pojok sofa. Meraih sisir dan merapikan rambutnya yang acak adul. Malika menjual kalungnya untuk membantu Adam dan teman-temannya membeli itu semua. Kalung i
“Astagfirullah. Nggak mungkin Adam seperti itu. Kak Mar telah mendidiknya dengan baik. Aku tahu betul pribadi Kak Mar,” tepis Malika menepis prasangka buruknya. Akan tetapi, tak berselang lama ia teringat lagi sama perhiasan emasnya yang hilang. “Waktu itu hanya Adam yang ada di dalam rumah. Sementara ia juga sedang membutuhkan uang. Ah, siapapun yang mengambilnya, aku harus lebih hati-hati dan selalu mengunci kamar. Apalagi sekarang banyak orang di rumah ini.” PUK. Sebuah tepukan lembut dari belakang mendarat di bahunya. Malika tidak menoleh karena tahu siapa yang melakukannya. Hanya mengangkat bahu sebagai responnya. “Mbak... uang siapa itu? Banyaakkk sekaliiii...!” pekik Mario tiba-tiba, tepat di telinga Malika. Mendengar kata itu Malika sontak membalik badan dengan mata membeliak. “Manaaa... ? Uang apaa...?” Malika ikut memekik kaget. Dengan tatapan nanar mengikuti telunjuk Mario yang mengarah ke lantai terus naik ke atas meja, mengitari westafel dan berakhir memencet hidung
“Mba Likaaa...!” lengking Mario tertahan, seolah ingin menyadarkan Adam. Nada suaranya berat dan dalam.“Ma-maaf…” Adam segera menarik tangannya yang masih memegang paha Malika. Pemuda itu sangat gugup dan merasa bersalah. Apalagi melihat Mario berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan menukik tajam ke arahnya. Mengandung kemarahan dan ancaman.‘Maaa-af, tadi Bu Likaa… Bu Lika kesulitan minum, terus kubantu bangun,” jelas Adam gugup. Mukanya yang kuning seketika memerah.Mario mengibaskan rambut depannya sambil menyeringai sinis. Seolah tidak mempercayai ucapan Adam. Hanya alasan saja untuk melindungi diri.Sesaat Malika membuka mata mendengar lengkingan Mario dan percakapan mereka selanjutnya. Kepalanya manggut-manggut payah. Malika menggerak-gerakkan bibirnya pelan seolah ingin menjelaskan sesuatu, namun tidak terdengar suaranya.Melihat kondisi Malika yang begitu payah dan memprihatinkan, Mario dengan cepat bisa menguasai diri. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan.
Suara alarm jam lima sore menjerit-jerit dari ponsel milik Malika. Kaget. Malika yang masih terbaring di sofa sontak membuka mata dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Tanpa melihat tulisan peringatan, Malika langsung mematikan alarm. Klik. “Ya Allah… Tidak terasa lebih dari tiga jam aku tidur. Enteng sekali tubuhku,” Malika menarik nafas lega. Menaruh kembali ponsel di atas meja. Ia tidak melihat sosok di dekatnya. Malika mengangkat kepala dan punggung, celingukan mencari Mario. “Mariooo…!” panggil Malika dengan perasaan cemas. Tidak ada jawaban. Ia melihat jaket yang dipakai adiknya teronggok di sudut sofa. Malika bangkit pelan-pelan dan melongok ke arah kamar yang ditiduri Mario. Kosong. “Ke mana Mario? Apakah dia pergi jalan-jalan? Ah, ngapain aku cemas. Di kan sudah besar. Kalau tersesat, pasti bisa balik lagi ke sini.” Malika termangu sejenak, merasakan basah-basah hangat pada organ intimnya. Wanita itu bergegas ke kamar mandi, sekalian buang air ke
“Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L
Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber
Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek
Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge
Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...
Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung
Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf
Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah
Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny
Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge
Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek
Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber
“Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L