Adam masih duduk di depan layar lap top. Konsentrasinya benar-benar lumpuh total. Tiga hari yang lalu, Maryati ibunda Adam melihat televisi. Kedua jemari tangannya tidak berhenti bergerak-gerak. Tawanya yang sesekali berderai mengiringi film komedi di layar televisi tidak mampu menyembunyikan kegalauannya. Adam yang menemani sang ibu nonton di sampingnya menangkap gerakan tangan itu dan segera tanggap apa yang tengah dirisaukan oleh ibunya. “Kapan terakhir cincin itu harus ditebus, Bu?” “Delapan hari lagi. Ibu sudah diberi tenggang waktu tiga bulan. Jika tidak ditebus akan hangus. Hilang. Tunggakannya masih separoh lagi, satu juta seratus ribu. Ibu sudah nggak punya apa-apa lagi untuk dijual. Tinggal lemari es..., “Jangan Bu. Ibu kan perlu untuk menyimpan es buah kalau masih sisa,” sergah Adam keberatan. “Coba nanti saya carikan uangnya. Ibu jangan khawatir. InsyaAllah cincin ibu akan kembali.” Maryati menatap putra tunggalnya sendu. Mengangguk pelan mesk
Pulang dari rumah Wulan, Malika dan kedua temannya langsung mampir ke rumah Maryati. Mereka berempat bernostalgia. Anton datang menyusul dengan motor bututnya. Membawa sekresek jeruk. Mengendarai motor butut tahun 1980-an warna merah. Suaranya bikin telinga bergoyang. Uthuk uthuk uthuk... Malika yang nelpon Anton karena Putu Astari dan Mbak Fatma masih ada kondangan ke rumah temannya sampai malam. Sementara itu tidak angkutan umum untuk pulang ke desa. Rumah Maryati yang biasanya sepi menjadi ramai. Maryati bahagia sekali kedatangan teman lamanya. Ia masak capcay telur puyuh dan goreng tempe mendoan. Dimakan selagi hangat sangat nikmat. Tidak ada yang perlu disembunyikan. Maryati menceritakan kisah hidupnya. Sementara Adam dan Anton menyingkir ke teras usai makan, bermain gitar. “Bukan untuk pamer penderitaan atau mengemis simpati. Aku hanya ingin berbagi pengalaman. Kalau kita harus baik sama semua orang. Hati-hati sama orang terdekat, karena bisanya mereka yang
Siang itu Pramono termenung di balkon hotel bintang tiga yang di sewanya selama mengerjakan proyek di sini. Melepas kan pandang ke arah Gunung Arjuno di sebelah barat kota Malang. Pemandangan hijau dan hembusan angin mampu menyegarkan mata dan pikiran. Sebuah sorban warna putih membalut kepala Pramono. Bukan maksud hati bergaya seperti orang Arab, akan tetapi untuk melindungi kepalanya yang pening dari terpaan angin. Wajah Pramono begitu kuyu dan pucat. Penampilannya mirip pendekar Wiro Sableng kalah perang. Bibir Pramono yang coklat pucat mengunyah roti bantal pelan-pelan, diselingi minum teh panas. Memanglah, sejak empat hari lalu Pramono sakit demam tinggi. Tubuhnya menggigil. Nggruguh. Kepala cenut-cenut dan suhu tubuhnya mencapai 40 derajat celcius. Persis orang kena malaria. Darahnya juga sempat naik ke level 160. Namun, dokter bilang tidak ada gejala penyakit aneh. Hanya demam biasa dan kelelahan. Syukurlah, raganya yang rewel kini sudah membaik sete
MARIO JAYAATMO. Pemuda gagah itu berdiri di tepi jendela kaca lebar Tangan kirinya berkacak di pinggang, sedang yang kanan berpegangan pada tepi kelambu warna biru toscha berbahan lembut. Dari lantai dua kantornya ini, bandara Juanda terlihat ujung landasannya. Dari sini jaraknya hanya dua kilmeter saja. Sementara di atas langit kota Sidoarjo, lalu lalang pesawat tidak ada berhentinya. “Pak Pilot... Nyuwun duiteee...!” (Pak pilot... minta uangnya) Bos muda perusahaan distributor alat-alat Kesehatan dan rumah sakit Global Medical itu terkekeh mengingat masa bocahnya. Bersamaan dengan teman-temannya, serentak meneriakkan kalimat itu jika ada pesawat atau helikopter melintas di atasnya. Ketika berteriak begitu, urat leher bocah-bocah itu sampai kelihatan, dibarengi dengan tubuh yang melonjak-lonjak ke atas. Bahkan ada yang melepas bajunya dan dilambaikan ke atas. Berharap gempitanya didengar oleh sang pilot. Konyol dan norak banget. “Zaman anti masalah. Anti ga
Desi terkesiap dan mengeryitkan dahi tak habis pikir melihat foto yang terpampang dengan jelas itu. “Seperti Bu Malika... tapi lebih muda. Ah, mungkin foto lama sebelum pakai jilbab.” Desi memperhatikan sosok Mario dari belakang dengan tatapan aneh. “Kenapa Pak Mario menaruh profil kakaknya. Bukan foto sekeluarga atau pacarnya?” Ponsel Mario berdering. “Hai Leniii... sori nggak dengar telpon. Tadi aku silent, ada meting di kantor. Emmm... Rabu lusa aku ada acara kantor sampai hari sabtu.” “Terus, kapan ada waktu buatkuuuu...?” terdengar jelas suara wanita memelas. Mario terdiam sejenak, menatap lampu neon berbentuk panjang di sudut ruangan, “Eemm... setelah hari minggunya nanti kita rencanakan. Sudah ya. Aku masih sibuk.” Tanpa menunggu jawaban kekasih di masa SMUnya itu, Mario langsung mengakhiri panggilan Leni dan menaruh ponselnya di meja. Bibir Mario tersenyum separoh sambil mengangkat kedua tangannya. “Heemmm... anak-anak gadis banyak dramanya. Pingin ini,
"Katanya kalau banyak amal itu rejekinya akan bertambah, berkah. Aku kok malah hancur-hancuran seperti ini,” keluh Malika sambil tiduran di sofa. Lelah raganya usai membersihkan kamar mandi yang habis disedot karena sudah overload. Wajah Malika kuyu dan lesu. Matanya agak sembab karena semalam menangis, rindu sama suami dan anak-anaknya. Ditatapnya dengan malas lap top yang menyala atas meja. Baru saja Adam datang menyerahkan lap top dan langsung menghidupkannya. Setelah itu ia keluar lagi demi melihat wajah Malika ditekuk.Takut dicerkam kali yaaa...?! Bagaimana tidak mengeluh dan sedih, hari ini saja harus keluar uang untuk memperbaiki lap topnya yang rusak. Biaya delapan ratus ribu. WC kamar mandi juga meluber dan perlu disedot. Keluar lagi uang lima ratus ribu. Belum buat beli pulsa listrik dan bayar air yang nunggak selama enam bulan. Meski jarang dipakai tapi lumayan juga habisnya, dua ratusan ribu. “Uangku tinggal satu juta tujuh ratus. Pokoknya ha
Malam itu, Mario muncul di depan rumah Malika. Bersamaan dengan kepulangan anak-anak muda yang sejak siang tadi berlatih peran di rumah tersebut. Mereka berpapasan di halaman. Tinggal Adam dan Anton yang masih merevisi dialog. Malika yang keluar mengiringi kepergian anak-anak terlonjak kaget melihat kedatangan adiknya. Hampir tidak percaya. Tatapannya memaku pada sosok Mario yang berdiri di pinggir teras dengan bibir senyam-senyum. Hingga Mario beringsut mendatangi Malika dan berdiri tepat di hadapannya. “Malam-malam gini melamun, nanti kesambet setan lho,” canda Mario memencet hidung Malika. Malika gelagapan, tersadar dari lamunannya. Seketika merentangkan kedua tangannya dan memeluk tubuh Mario erat-erat. “Adikku Mariooo…!” lengkingnya dalam buncahan rasa haru sekaligus gembira. Kedatangan Mario seolah bagai obat untuk jiwanya yang sakit setelah hampir sebulan tidak bertemu. “Nggak bilang kalo mau datang,” sungut Malika memukuli gemas bahu adiknya. Tidak lupa
Malika duduk di sofa ruang tengah melihat televise usai melaksanakan salat isya. Ia ingin bersantai sejenak setelah beraktifitas sepanjang hari. Tanpa mengenakan jilbab. Namun daster yang dikenakan sopan dan panjang. Malika telah bertekad untuk lebih hati-hati menjaga tubuhnya dari tatapan laki-laki. Mario keluar kamar dan mengambil tas belanja dari sebuah minimarket. “Dingin-dingin begini enaknya minum kopi panas. Mbak Lika pasti mau.” “He he… seperti biasa. Nggak nolak rejeki.” Malika lupa jika dirinya masak air panas di dapur. Mario kembali melihat-lihat tumpukan property dan kain di sudut ruang tengah. “Segini banyak alat buat sooting.” Pemuda itu mengukur kepalanya yang tidak gatal. “Iya. Ini aja belum semua. Masih ada yang harus dibeli,” sahut Malika santai sambil melipat mukena, lantas ditaruh di pojok sofa. Meraih sisir dan merapikan rambutnya yang acak adul. Malika menjual kalungnya untuk membantu Adam dan teman-temannya membeli itu semua. Kalung i
Dalam perjalanan Darsih mengungkapkan ueg-unegnya tentang preman yang mengobrak-abrik rumah Malika. Heru masih menekuri layar ponsel, membaca chat yang masuk hanya manggut-manggut.“Mas Heru, masak sampeyan nggak tahu sih?” seru Darsih agak keras. Sewot karena merasa diacuhkan sama Heru.Lelaki itu tergagap. “Eh iya, Mbak. Aku tahu dari Mas Mario...”“Soalnya peristiwa itu telah mengubah hidupku, jadi gembel kayak gini. Menurut sampeyan, siapa kira-kira pelakunya? Sumpah, aku masih penasaran sampai sekarang,” Darsih belum puas bicara, masih berkeluh kesah. Heru mematikan ponselnya dan menggeleng perlahan. “Namanya saja kejahatan, Mbak.Lama-lama juga akan ketahuan.”Pulang dari counter, Darsih melihat mobil hitam berhenti di depan gang. Di samping kantor polisi. Tulisan ‘DUA Putri’ di kaca depan bagian atas membuat langkah Darsih terhenti. Dahinya mengeryit. Sontak menuju belakang mobil dan nampaklah gambar buah jeruk. Darsih terkesiap kaget.“Ya Allah...! Mobil iniiii...
Darsih pulang dari warung sebelah untuk membeli makan. Kalau siang dan ramai begini Darsih berani keluar. Hanya sekitar kosan saja, tidak berani jauh-jauh. Syukurlah banyak penjual makanan dan kebutuhan sehari-hari.Jika pingin sesuatu yang tidak ada di sini, baru minta tolong sama si Bombom. Darsih membuka nasi bungkus dan menikmati pelan-pelan. Hanya lauk tempe sama oseng teri. Ia harus berhemat karena uangnya tidak banyak.Pas ke sini sempat menjual cincin seharga satu juta. Buat bayar kos, beli majic jar dan makan sehari-hari. Kini tinggal 300 ribu.POnselnya berdering. Darsih mengangkat dengan malas. Nama yang tak asing lagi.“Mbak, ini Mario. Tolong emasnya itu kasih temanku. Nanti jam tiga sore ditunggu di depan pasar. Dia sopir truk. Malam ini mau berangkat ke Mojokerto, biar nanti dikasihkan kepada Mas Pram.”Darsih tertegun sejenak. Enak sekali Mario ngomong. Ia segera teringat sama Malika yang kekurangan uang saat ini.“Gimana Mbak, bisa kan?” “Eemm... jauh Mas. Kutung
Siang itu, seorang perempuan berjilbab keluar dari minimarket menenteng dua tas belanjaan. Tiba di tempar parkir celingukan mencari seseorang. Akhirnya ia duduk di bawah pohon. Membuka ponsel dan memencet nama Pramono.“Oohh iya... dia kan tidak pegang ha-pe. Ternyata pelupa juga Mas Pram ini,” gumamnya dan menaruh lagi dalam tas kecilnya.Tak lama kemudian Pramono datang dari pertokoan di depan mini market. Tangannya membawa kresek hitam dan kotak ponsel. Wajahnya yang kuning berseri-seri. Dilihat sekilas Pramono seperti memiliki darah Jepang. Rambutnya lurus dengan hidung tinggi. Namun matanya lebar.Dahi Nana berkerut melihat benda di tangan Pramono, “Lho... Beli ha-pe baru?" “Oohh... zaman sekarang Dik, tidak ada ha-pe seperti hidup di zaman purba. Tidak bisa menghubungi rekan bisnis untuk bertukar info kerjaan. Tidak bisa menerima telpon dari anak-anakku. Tapi ada baiknya juga. Tiga hari tanpa ha-pe bisa baca buku dan majalah sepuasnya, he he he...” “Hobi yang bermanf
Tidak ada jawaban. Terdengar suara berisik di seberang telpon. “Marioo... dengar aku kan?” Malika mengeraskan suaranya.“Maa-aaf... aku masih ada pertemuan dengan seseorang. Iii-ya mbak. Pokoknya special buat kakakku. “ “Barusan aku telponan sama Papa?”“Ooohh... baguslah kalau begitu. Kemarin kusuruh Papa meluangkan waktu untuk menghubungi Mbak Lika. Papa sekarang sibuk di kebun, mengurusi kayu sengon.” “Iya. Tadi Papa bercerita banyak tentang pohon sengon yang ditanamnya. Sudah berumur delapan tahun. Harus dikurangi pohonnya biar yang lain bisa tumbuh besar. ““Tanahnya papa ada di mana saja sih, Mbak?” “Di Mojokerto ada dua hektar. Sama di Pasuruan juga dua hektar. Yang di Pasuruan satu hektar ditanami pohon jati. Tapi masih muda, baru umur lima belas tahun…”“Jati umur segitu masih muda?” potong Mario heran. “Iyalah. Buruh waktu tiga puluh tahun ke atas untuk mendapatkan jati yang besar dan bagus. Kalau sengon umur sepuluh tahun sudah bisa dipanen...”“Dua tah
Siang itu Adam dan kru film pendek bersiap pergi ke tempat sooting. Malika mengajak Putu Astari. Wanita berbodi semlohai itu senang sekali bakalan mendapat pengalaman baru. Bahkan ia rela libur jualan dua hari ke depan. Dengan semangat 2022, Putu Astari membantu menaikkan semua properti dan perlengkapan ke dalam truk kecil yang dipinjam Anton dari temannya. Anton bagian menata di dalam truk. “Tangkap Maass...!” seru Putu Astari mengangkat kardus ukuran sedang ke arah Anton. “Jangan dilempar, Mbak. Itu isinya lap top sama lensa!” Anton berseru mencegahnya.“He he, bercanda kok.” Sedangkan Malika masih sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dibawa. Dipastikan cukup selama tiga hari dua malam di tempat sooting. Wajahnya berbinar-binar. Merasa diri kembali muda. Teman-temannya Adam yang lain sudah berada di lokasi sooting sejak kemarin. Kali ini Malika mengenakan celana dan hem panjang. Lokasi soting berada di pedesaan dan tepi hutan. Kurang bebas gerakny
Darsih tidak mau meratapi nasib. Ia tahu apa yang dialami sudah menjadi suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Dirinya tinggal menjalani. Ia bersyukur masih hidup, masih ada makanan yang disediakan oleh penculik. Waktu senggang yang melimpah digunakan untuk menambah ibadah salatnya. Ngajinya meskipun hanya lewat Juzama kecil. Air cukup banyak meskipun kamar mandinya tanpa pintu. Setiap hari Darsih masak, dan bersih-bersih. Darsih baru menyadari ponselnya tidak ada ketika mengambil baju ganti di dalam tasnya. Mereka telah menyitanya. Selama tiga hari mereka tidak pernah datang. Sepanjang hari itu pula Darsih terus memasak singkong. Dibakar, direbus. Digoreng. “Tiap hari makan singkong, bisa meletus perutku.” Benar saja. Tiap saat suara letusan keluar. Mengeluarkan gas dari area pembuangan. Untunglah lampu bisa menyala. Jika tidak, Darsih sudah mati ketakutan di dalam gudang. Apalagi pernah malam-malam pintu diketuk orang. Terus suara langkah berat di luar menge
Di suatu sore. Sepuluh hari lalu…Travel yang ditumpangi Darsih berhenti di sebuah rumah makan di pesisir pantai daerah Negara. Semua penumpang turun. Darsih duduk menepi, menikmati kopi sambil mengirim pesan kepada Malika untuk menyampaikan keberadaannya. Tak lama kemudian datang sebuah mobil warna hitam. Turun seorang wanita cantik mengenakan baju santai dan celana legging ketat. Disusul dua pria dengan tampang agak sangar. Ketiga orang itu duduk tidak jauh dari Darsih. Seorang pelayan mendatangi mereka. “Kopi hitam tiga, Mbak. Sama soto dua,” aba si wanita. Si pelayan manggut dan menyingkir ke dalam. Darsih sama sekali tidak memandang ke arah mereka hingga si wanita berjalan menuju ke arahnya. “Ini Mbak Darsih ya?” Darsih menaruh ponselnya. Dahinya berkerut, menelusuri sosok di depannya lekat. Wanita seumurannya. Bodinya ramping dengan kulit kuning. Riasannya tipis-tipis. “Iya. Mbaknya ini siapa yaaa?” “Mbak darsih punya saudara di daerah sek
Pemilik raga kekar itu menempelkan mulut ke telinga Si Appa dan berbisik pelan. “Ini Mas Anton. Ayo pergi dari sini. Bahaya.” Si Appa kembali tersentak dan menahan nafas. Masih dengan sikap waspada dan tatapan nanar, Si Appa menoleh ke belakang dan mendongakkan kepalanya. Sesaat kemudian bibirnya tersenyum. Lega. Anton kemudian mengantar pulang Si Appa lewat belakang. Menerobos tanaman labu dan kebun jeruk. Karena di depan rumah Malika, Si Jabrik sudah mengintai dan menunggu kemunculan Si Appa. Rumah Si Appa terlihat lengang. Ya, Mbak Fatma sedang mengantar suaminya berobat ke dukun sangkal putung sejak beberapa hari lalu. Anton tidak mau terjadi apa-apa dengan Si Appa. Meskipun jago silat, namun ia hanyalah gadis cilik yang masih banyak kelemahan dan kekurangannya. Kurang gesit, kurang cermat, kurang waspada dan lainnya. Anton menasehati bocah cilik itu panjang lebar. Si Appa sendiri masih terlihat shock dengan peristiwa barusan. Wajahnya masih pucat. Ber
“Mariooo... kamu di dalam yaaa?”Mario terlonjak kaget mendengar lengkingan kakaknya dari luar. Matanya yang baru saja terpejam seketika membuka penuh. “Heh perempuan. Sukanya bikin kaget,” sungut Mario menekam dadanya yang berdebar saking kagetnya. Ia bangun dan duduk bersila memandangi pintu. Mukanya sedikit manyun karena terganggu tidurnya. “Iya Mbaakkk... Buka saja, nggak dikunci.”CEKLEK. Malika muncul dengan wajah segar dan rambut basah usai keramas. Wajah manisnya dipoles bedak dan gincu tipis-tipis. Bajunya sudah diganti dengan gaun kesayangan... daster ala payung. “Maaf kalau ngganggu tidurmu. Tapi ini sudah sore. Tidur sore tidak baik buat kesehatan,” ujar Malika enteng, melewati ranjang menuju jendela dan menyibak sedikit kordennya. Mario hanya nyengir. “Emmm... haruuummm.” Hidung Mario menyesap aroma wangi dan segar dari sampo. Melusuri sekujur tubuh kakaknya yang menyamping. "Eh iya, aku mau jalan-jalan dulu. Besok pulang pagi naik pesawat. L