Home / Pernikahan / Bukan Sekelumit Sesal / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Bukan Sekelumit Sesal: Chapter 81 - Chapter 90

95 Chapters

Part 81 Terduga Pelaku

"Bagaimana kondisi putra kami, Dokter? Dia baik-baik saja, kan?" desak Ardan. "Sejauh ini aman, pasien mampu bertahan. Pelurunya sudah berhasil dikeluarkan. Beruntung karena peluru tidak mengenai jantung. Tepatnya sekitar tiga centimeter di dekat jantung, tapi menyebabkan salah satu rusuknya patah. Mohon maaf, saya harus menyampaikan hal ini, kondisi pasien masih kritis dan masih harus dipantau. Kami akan upayakan yang terbaik untuk pasien. Kita sama-sama berdoa untuk keselamatannya. Saya ingin tahu siapa dokter yang menangani luka tusuk di punggungnya. Ada hal yang perlu saya diskusikan," ujar dokter yang menangani operasi Akram. “Luka di punggung?” tanya Novita mengernyit. "Iya Dok, dari hasil pengamatan saya, itu luka tusuk," jawab dokter itu menatap Novita lalu beralih pada keluarga pasien bergantian. Harapannya ada salah seorang di antara mereka yang bisa menjelaskan. Pijakan Ardan goyah dan tubuhnya limbung. Haslan yang menahannya memberi kode dengan menekan kuat jempolnya di
Read more

Part 82 Dia Sepertinya Rindu

"Buat dirimu susah ditolak!" sahut Lintang yang baru saja keluar dari ruang ICU. Tadinya ia mengira hanya Ardan dan Haslan saja yang menunggu di luar ruangan. Ternyata Rian dan Riswan belum beranjak. "Prinsip macam apa itu?" tanya Latief tapi Lintang justru menanggapi dengan serius. Gebetan Adina itu tidak hanya menemui Riswan, Akram dan Alyana. Dia juga berhasil mengambil hati sahabat-sahabat Riswan dan Akram. Sebagai salah satu sahabat Riswan, Rian turut membenarkan dan pemuda itu sudah memenuhi tantangan darinya. "Om mau dengar rekaman suaranya waktu telpon Lintang, Bian sama Ranu dipanggilan grup?" tanya Lintang menawarkan. Dokter yang satu itu berjongkok di samping Riswan dan memutar recording dari panggilan telponnya. Ketiga pria paruh baya itu terkekeh dan Riswan merasa sangat bersyukur. Akhirnya sejak tadi, mereka bertiga bisa sejenak melupakan kesedihan yang menimpa mereka. "Sebenarnya gebetan Adina itu, dia putranya siapa, Wan? Di tempat bimbel itu, kata asisten om, tida
Read more

Part 83 Penyintas Dalam Skenario

"Sudah bangun?" Seorang wanita yang duduk di balik setir mobil itu mengulas senyum pada Arum. "Maaf, Ibu sebenarnya siapa? Kenapa Ibu mengancam saya seperti ini?" tanya Arum mencoba menjauh kala tangan wanita itu hendak mengusap wajahnya. Kuku yang panjang berwarna merah itu nampak menakutkan di mata Arum. Arum bisa menilai kelembutan dan ketulusan senyum wanita itu. Tapi sorot matanya berbeda, seakan wanita itu hendak menancapkan sesuatu padanya. Ada kebencian yang tersirat dan Arum semakin yakin ketika merasakan dagunya dicengkeram kuat. "Kamu itu penyintas dalam skenario yang sudah aku susun. Kamu bahkan sampai mengandung benih anak itu. Harusnya kamu itu tidak pernah muncul di sana dan mengacaukan semua ini!" Bisikan penuh penekanan itu membuat tubuh Arum gemetar. Arum mencoba memberanikan diri untuk kembali menatap wanita asing itu. "Apa yang Nyonya mau?" "Nyonya Helena. Aku ini temannya Novita dan kami berniat menjodohkan anak-anak kami. Tapi kamu malah menjebak Akram dan me
Read more

Part 84 Lebih Berbahaya Dibanding Pelakor

Akram akhirnya membuka mata, tersadar setelah tiga hari terbaring di ICU. Telinganya terus mencerna suara tangis di sekitarnya. Matanya yang mengerjap perlahan memindai ruangan serba putih hijau di sekitarnya. Seseorang duduk di samping tempatnya berbaring dengan kepala yang tertunduk di atas tumpuan tangan yang menggenggam tangannya. "Kak?!" seru Adina ketika merasakan tangannya merasakan remasan kecil. Kakaknya merespon dan ketika ia menoleh, kedua mata kakaknya menatapnya. "Papa... pa-" Akram kembali terpejam menahan sakit di bagian dadanya. Ia ingin tahu keadaan papanya karena yang teringat olehnya adalah saat Ardan berdiri di podium dan bidik. "Dok! Dokter! Dokter!" panggil Adina yang bergegas keluar untuk memberitahu jika kakaknya sudah sadar. Akram memandang punggung adiknya menjauh sampai terdengar suara benda bergeser. Otaknya masih bisa menerka itu pintu. Namun ia belum bisa memahami di mana dirinya saat ini sampai ia menoleh ke kiri melihat elektrokardiograf dan infus di
Read more

Part 85 Rencana Licik Riswan

Akram mengangguk dan mengatur posisi hospital bed sedikit tegak dari sebelumnya. Kemudian ia duduk di tepi dan menarik Arum dalam dekapannya. Meski susah payah dan harus menahan rasa sakit serta ngilu di dadanya, Akram tetap berusaha terlihat baik-baik saja. Dalam isak tangisnya Arum terus saja meminta maaf. Akram sendiri hanya diam membiarkan Arum mengungkapkan apa saja yang ingin disampaikannya. Gadis yang telah menderita karenanya itu meminta maaf karena tidak bisa menjaga putra mereka dengan baik. Arum menceritakan betapa ketakutannya dirinya saat memikirkan kondisi kandungannya. Menceritakan bahwa dengan sangat terpaksa Riswan menjauh dan menggantikan dirinya terkena suntikan. Arum merasa begitu bersalah karena ketidakberdayaannya. Akram sudah mendengar jika ada yang mencoba menyakiti Arum tapi berhasil digagalkan Riswan dan Rian. Meski begitu, keluarganya tidak menceritakan detail kejadiannya. "Sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Kita semua sudah aman Arum. Putra kita juga
Read more

Part 86 Dijenguk Calon Adik Ipar

Pintu ruang rawat inap Akram dan Arum baru saja terbuka. Adina datang dengan menenteng kantong kresek berisi belanjaan dari minimarket lobi rumah sakit. Di belakangnya ada seorang pemuda bertubuh tinggi. Saking tingginya, Adina hanya sebatas bahunya saja. "Assalamualaikum," ucap keduanya. Salam pun dibalas oleh seluruh orang yang saat ini juga datang membesuk Akram dan Arum. Setelahnya tidak ada suara lain yang terdengar selain suara kantong kresek yang diletakkan Adina. Semua orang fokus menatap pemuda yang mengulas senyum sembari mengulurkan paper bag yang dibawanya pada Adina. "Saya tidak setampan aktor Tom Cruise. Jadi tolong, saya jangan ditatap terus," ucap pemuda itu santai. Tapi candaannya itu berhasil membuat mereka tersenyum menahan tawa. "Loh? Kamu bukannya atlet basket yang kembar itu ya? Hari itu kalian makan siang bersama di restonya tante kan, Ram?" tanya Farah teringat foto yang ditunjukkan karyawan restonya yang memang suka bergosip dan menoleh pada keponakannya ya
Read more

Part 87 Ancaman Keluarga dan Atasan

Novita tetap kekeuh pada pendiriannya sehingga membuat Akram tidak berkutik. Arum hanya bisa terdiam karena sejak awal ia sudah menyerahkan segala keputusan pada suaminya. Siang ini mereka sudah bisa pulang, begitu juga dengan bayi mereka yang sudah tiga hari ini dipindahkan dari inkubator. Hampir dua pekan berada di rumah sakit membuat Akram rindu rumah kontrakannya. Nara saja sampai bertanya kapan dirinya akan pulang. Mengedarkan pandangan, Akram tersenyum masam tanpa seorang pun yang mau mendukungnya. "Ma, masa Akram masih harus num-" Lirikan tajam Novita pada putranya kembali membuat Akram diam. Inginnya, Akram ulang ke rumah kontrakannya. Dengan percaya diri ia mengatakan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, apalagi ada Danu dan Wina serta Nara di rumahnya. "Papa setuju sama mama kamu," sahut Ardan ketika putranya itu menatap penuh permohonan. Tadinya begitu bersemangat ingin segera pulang setelah hampir dua pekan dirawat, tapi kini Akram memelas. "Berharap pada tali rapuh," k
Read more

Part 88 Tidak Bisa Menunggu Malam

"Sayang, Aruuuuum. Aku kenapa kamu cuekin begini Arum? Sayang!" panggilnya lagi saat melihat istrinya malah beranjak. Sudah dua hari lalu istrinya tidak mengajaknya bicara. Selalu saja adik atau mamanya yang jadi perantara. Sejak malam gala premiere itu, Arum seakan menganggapnya robot. Makan dan pakaiannya disiapkan, tapi selalu dihindari. Malam itu bahkan Arum, Adina dan Aidan bermalam di rumah Latief dengan alasan ingin mencoba menu sarapan baru buatan Ardito. Sementara dirinya sudah sampai di rumah lebih dulu karena ia mengantar Haslan, Hastuti dan Alyana pulang. Sementara setahunya, istri dan anaknya ikut pulang bersama papanya. Arum berbalik dan langsung membalas, "Aku kenapa kamu bohongi begini Akram?" Akram tersenyum masam mendengar tawa keluarganya. Bukan tawa bahagia seperti tawa putranya yang sudah bisa telungkup sambil memukul-mukulkan tangannya di atas kasur lipatnya. Mungkin minta ayahnya untuk segera meraihnya. Keluarganya malah tertawa jahat karena seharian ini Ar
Read more

Part 89 Jadi Rebutan

"A-aku cuma tidak mau kamu kaget. Lagian masa siang-siang begi-" "Apa kita perlu ganti model plafonnya?" tanya Akram menunjuk ke atas. Arum mendongak dan memindai langit-langit kamar. Menurutnya tidak perlu diganti karena sudah sangat bagus. Sengatan kecil di lehernya membuatnya seketika membeku. Sang suami sudah beraksi tanpa sanggup dicegah lagi. Rosleting dress yang dikenakannya juga sudah ditarik turun. Usapan halus seringan bulu di punggungnya membuat sekujur tubuhnya gemetar. Bibir itu mengeksplorasi leher mulus hingga ke ujung bahunya. Arum membuka matanya kala sang suami menarik diri. Permainan suaminya membuat Arum yang tadinya menolak, hanya bisa pasrah terseret arus gairah. "Tidak ada aturan waktu, Sayang. Setiap kali… saat kita saling menginginkan," bisik Akram mengecup dagu istrinya dan kembali memagut bibir candunya. Tangannya tidak diam saja sehingga mampu membuai sang istri sampai terdengar desahan yang membuatnya menginginkan lebih. Dert… dert…. Suara ponsel mil
Read more

Part 90 Kejutan

Beberapa bulan kemudian. Akram pulang dan wajahnya tersenyum lebar kala melihat putranya masih tertidur pulas di kasur lipat di ruang bersantai. Begitu pulas dibelai angin sepoi dari pintu taman samping rumah yang terbuka lebar. Boneka menyerupai robot itu masih setia dipeluk Aidan. Setelah mencium kening putranya, Akram beranjak ke kamar. Tentu saja dengan mengendap-endap agar Aidan tidak terusik. Begitu pintu kamarnya tertutup, telinganya mendengar suara percikan air di kamar mandi. Senyumnya merekah karena menduga Arum sedang mandi. Melirik jam tangannya, belum begitu sore, masih pukul 15.12 WITA. Diletakkannya sekotak perhiasan berwarna biru beludru di atas tempat tidur lalu menutup tirai jendela. Seikat bunga arum lili turut ia letakkan berdampingan dengan kotak itu. Setelah menyalakan lampu tidur di nakas, ia turut menyalakan beberapa lilin aroma terapi. Dengan tergesa Akram menabur mahkota bunga mawar merah di lantai. Berharap agar sang istri berlama-lama di dalam sana sampa
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status