Semua Bab Balasan untuk Suami Hidung Belang: Bab 41 - Bab 50

70 Bab

kumat belangnya

“Celaka apa? Kenapa?” sahut Inggit. Agam bag mikir, lalu berkata, “Begini, aku baru ingat....” “Keluarganya Arya dan Anya?” dokter itu celingak-celinguk. Memotong ucapan Agam. Lalu, Inggit mendekat, dan dokter menjelaskan setelah penanganannya. Ternyata mereka hanya pingsan biasa dan tubuh mereka kekurangan tenaga. Dokter menyarankan untuk dirawat secara intensif dulu di rumah sakit sampai kondisi sedikit pulih. Karena badan mereka juga lemas akibat masalah psikis dan badan lemas. Sekarang juga Inggit untuk memberitahukan keluarga Anya agar kiranya mereka datang untuk menjenguk. Tanpa terasa hari berlalu. Esok harinya keluarga Anya datang untuk menjenguk. Yang ditakutkan Inggit terjadi. Yaps, kekacauan antara keluarga Anya dan Anya. Kemudian, Arya sempat menanyakan keberadaan ponselnya. Inggit jelas bingung menjawabnya, karena ponsel itu masih berada di tangan Agam. Untung saja, Inggit berdalih bahwa ponsel Arya hilang, di saat kejadian gancet itu pertama kali. “Haduw, aku panik
Baca selengkapnya

kepalang basah

Arya menelan ludahnya saat Bu Rohaya duduk tepat di sampingnya sehingga membuatnya semakin terpancing dengan aura Ibu montok ini. Terlebih ketika melihat dua buah dadanya yang lumayan besar, dan jelas sangat kenyal karena suaminya juga jarang pulang. Kulitnya juga tampak bersih, sungguh Arya ingin menggerakkan jeli itu dengan kedua tangannya. “Nak, kamu baik-baik saja kan?” “Iy-iya, Bu.” Arya membenarkan posisi duduknya. “Kenapa Nak?” Bu Rohaya melihat celana Arya yang mengembung. Nalurinya berbicara ada yang tidak beres dengan Arya. “Dah malam, apa nak Inggit gak mencari kamu?” “Enggak kok, Bu. Kan sudah aku bilang, Inggit sekarang di sentuh aja sudah gak mau.” “Duh, kasian juga kamu, Nak ... duh, Ibu bingung juga dengan masalah kamu.” “Ibu bisa bantu aku, Bu ... pliss.” “Bantu apa, Nak?” “Tapi janji jangan bilang kepada siapa pun, Bu?” “Iya, bantu apa?” “Bantu aku menyalurkan hasrat ini, Bu ... aku mohon.” Bu Rohaya langsung melotot ketika mendengar ucapan Arya. Kumat bel
Baca selengkapnya

pertengkaran

“Tidak, Nak.” “Atau Ibu mau aku bunuh! Seperti yang akan Inggit alami.” Arya mulai kasar, karena diliputi rasa gairahnya. Arya dengan paksa meloloskan pakaian yang dikenakan Bu Rohaya, sehingga payudaranya terpampang jelas. “Jangan munafik, Bu. Hmm, payudara Ibu ternyata masih kencang, ini efek jarang disentuh, bodoh banget suami Ibu.” Bu Rohaya memberontak. Arya tak memedulikan, ia meremet, dan memainkan kedua buah dada itu secara bersamaan sehingga membuat pemiliknya mendesah. “Ah, Nak.” “Nyusu boleh, kan. Iya boleh lah, masa enggak!” “Jangan, Nak.” Arya pun langsung menghisap puting payudara milik Bu Rohaya. Sambil meremas. “Sudah, Nak! Nanti Ibu laporkan kamu!” “Lapor saja! Setelah ini aku akan membunuh Ibu, lalu Inggit, seperti rencanaku sebelumnya!” Setelah itu, Arya yang sudah tak kuat menahan hasrat gilanya. Menghisap kuat pucuk buah dada itu secara bergantian. Bahkan sempat menggigit karena gemes, membuat Bu R
Baca selengkapnya

paksaan

Inggit terkesiap saat merasakan jemari Arya yang mengoyak bagian intimnya dengan penuh nafsu dan buas. Detik itu juga Inggit merasakan rasa perih karena Arya menggerakkan itu tanpa rasa sayang. Arya menggerakkan jemari tengahnya dengan seenaknya. “Cukup, Mas,” pekik Inggit sembari mendorong tubuh Arya dengan sekuat tenaga. Namun, Arya hanya terdorong. Tangannya masih bergerak memberikan rasa sakit yang menyambar dari bagian intim yang dimainkan kasar oleh Arya. “Ingat tugas seorang istri, sayang?!” seru Arya yang terpicu rasa kesalnya karena mendapatkan penolakan dari Inggit. Arya dengan cepat menangkap tangan Inggit dan menahannya dengan tangannya di atas kepala Inggit, sedangkan tangan lainnya terus bergerak keluar masuk di bagian inti Inggit. Inggit menjerit keras saat merasakan gigitan di bagian puting yang masih terbalut piyama. Harapan Arya hal ini memicu Inggit terangsang akan tetapi yang Inggit rasakan hanya rasa sakit yang menghanta
Baca selengkapnya

pembunuh

“Kalau gak mau ke rumah sakit, Mas pergi dulu, ya!” potong Arya. Ia sudah rapi. Bersiap untuk keluar mengurus berkas dan menghubungi rekan kerjanya. Rekan yang bertugas membunuh Bu Rohaya. Kenapa wanita itu bisa lepas!Dan belum mati! Tak lama setelah mobil Arya pergi, Mbok Ratih bangkit dan mengambil P3K lalu melihat luka Bu Rohaya. Meski ada rasa pusing, tapi ini demi kemanusian Mbok Ratih dengan berani mencoba memeriksa. Setelah itu ia tidak bersuara. Barulah setelah lima belas menit, pamit untuk meletakkan kembali P3K. Saat Mbok Ratih berdiri, Inggit melihat wajah dan tubuh Bu Rohaya yang sudah diberi obat dan perban. “Pe-pembunuh.” Bu Rohaya mengutarakannya dengan terbata-bata. “Siapa, Bu?” Inggit bingung maksud dari ucapan tersebut. Bu Rohaya seperti ingin menyampaikan sesuatu, tetapi Inggit cegah. Sepertinya Bu Rohaya berbicara lantur. “Bu, Inggit mohon jangan banyak bi
Baca selengkapnya

pertolongan keluarga kecil

Samar-samar terdengar percakapan dua orang wanita, membuat Inggit mengerjapkan mata. Kepalanya terasa sakit. “Syukurlah, dia sudah sadar.”“Apa bener, Bu?”“Iya, Den ... tadi Ibu lihat ia mulai membuka mata.”Inggit perlahan memandang orang yang berjalan ke arahnya. Lalu, ia rasakan sentuhan di dahi serta anggota tubuh yang lain.“Nduk sudah siuman?” tanya orang yang sangat asing menurut Inggit. Inggit belum menjawab karena ia terfokus dengan seorang lelaki gagah yang berjalan ke arahnya. Lelaki itu lantas duduk di pojok ranjang. “Ini di mana?”“Ini di rumah, Ibu,” balas Ibu paruh baya. “Mbak ditemukan saat Ibu Sari mencuci baju di sungai,” sambung si lelaki muda. Inggit tercengang. “Astaghfirullah.”“Untung bisa selamat, Mbak udah dua hari pingsan.”“Apa benar selama itu, Bu?”Ibu itu hanya tersenyum. “Iya, Nak, yang terpenting sekarang kamu harus sehat ya.”Inggit mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Ia hanya
Baca selengkapnya

Kebaikan yang beralasan

Inggit tersentak kaget. Melihat pantulan wajahnya. Baru Inggit sadari ternyata cermin disembunyikan karena Ibu dan Denny sungguh menjaga hatinya. Wajah Inggit sudah rusak hampir lima puluh persen. “Sabar, kamu sudah bisa hidup ... alhamdulillah,” ujar Denny. Inggit tak bisa berkata, hanya anggukan kepala menjawabnya dan air matanya menetes sebagai perwakilan. Bulir bening itu luruh, tak dapat terbendung. Ibu Sari memeluk tubuh Inggit yang rapuh. Ia tahu bila Hal itu sedikit mengurangi sedih karena selain diberi kehidupan. Inggit sedikit tenang oleh pelukan itu, ia merasa diberi kasih sayang, dan harus bersyukur karena masih ada yang peduli dengan dirinya. Padahal Ibu dan Denny bukan keluarga. Hari-hari yang berlalu, membuat Inggit merobek semua kejadian yang menimpa pada dirinya. Ibu dan Denny turut mengerti dengan apa yang dialami Inggit. “Tinggal di sini aja, gak apa kok, Nak,” Ibu itu menawarkan. Inggit tersenyum menanggapinya. Ap
Baca selengkapnya

rencana gila

Ibu itu mencubit tangan Denny tak harus menyelesaikan bicaranya. Sementara Inggit tak mampu menahan air matanya. Ia kecewa karena mereka memberi kasih sayang, perhatian palsu. Bila tahu seperti ini, lebih baik ia tak diselamatkan karena merasa sebatang kara. “Gi-gini, Nak,” kata Ibu Dari gelagapan, ia tak kuasa sebenarnya karena Inggit pasti salah nerka dan tak kuat menahan keinginan Inggit, akan tetapi bagaimana perasaan Denny. Inggit mencoba menghapus air matanya. “Maksudnya gimana, Bu?” tanya Inggit sengau.Ia merasa hidupnya sudah tak berarti. Berharap hidup dengan adanya keluarga baru itu hanya bualan belaka. “Begini, Nak ... semua yang kami lakukan sebenarnya tidak ada kaitannya dengan pertolongan yang kami berikan ... Ibu sudah menganggap, Nak Inggit seperti keluarga.""T-tapi, Bu ... bagaimana dengan yang dikatakan Mas Denny.""Maka dari itu, Nak Inggit tenang dulu. Masalah ini juga berketepatan dengan masal
Baca selengkapnya

si tua ngeselin

Ruang tamu ini sangat sederhana, dan hanya ada sedikit hiasan seperti guci yang diisi dengan beberapa bunga kertas dan memiliki gorden yang berwarna merah jambu bergambar angsa. Ruang ini juga berdampingan dengan kamar yang ditempati oleh orang tua Denny. Inggit duduk tegang dengan kedua tangan mengusap ke paha. Suasana ini seperti saat dirinya dibawa ke ruang BK sewaktu sekolah. “Coba kamu duduk di sebelah dia!” seru Bapak Denny. Denny menekuk wajah dan mengikuti perintah. Ibu Sari ikut duduk di kursi tunggal. “Begini, Pak ... Nak, Denny menemukan jodohnya lewat media sosial, jadi, tak heran bila Nak Denny bertemu jodohnya orang kota, dan sebenarnya mereka sudah lama saling kenal. Hanya saja saya pribadi tak berani menyampaikan bahwa anak bapak sudah memiliki kekasih sebelum dijodohkan. Jadi....”“Bagaimana bisa! Ibu tidak menjelaskan ini!” Bapak Denny duduk memotong penjelasan Ibu Sari. “Jadi, Nak Denny takut tidak d
Baca selengkapnya

nyamuk nakal

Di saat itu juga, muncul Bapak Denny di ambang pintu. “Kenapa belum tidur? Gak bisa berpisah dengan istri? Kalian boleh tidur berdua. Lagian pasangan baru menikahkan lagi....”“Ayo kita tidur,” kata Denny, meraih tangan Inggit dan membawanya masuk ke kamarnya. Karena yang ditakutkan akan ada perbincangan lanjutan. Sebegitu pintu kamar tertutup, Inggit langsung menghempaskan tangan Denny yang menggandengnya dan menaruh kopernya. “Jangan mengambil kesempatan dalam ke sempitan!” sergah Inggit. Denny membuka jaketnya. “Aku mau ke kamar mandi dulu ... kalau mau ikut sekalian gak apa ... soalnya kamar mandi berada di luar. Atau di sini dulu, jangan keluar karena takutnya bapak akan menginterogasi kamu?”“Iiiih, jadi sampai kapan aku di sini? Kalau begini semakin jauh aku dari rencanaku ... malah ruwet jadinya.”“Sabar! Yang penting kamu jangan bertindak yang aneh-aneh,” pesan Denny, membuka lemari pakaian dan menga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status