Semua Bab Balasan untuk Suami Hidung Belang: Bab 21 - Bab 30

70 Bab

Dukun sakti

Tepat saat itu, perawat keluar. Tak memberi tanggapan. Tak lama kemudian, tubuh Arya dan Anya lagi-lagi jatuh. Mereka menjerit kesakitan karena jatuh ke lantai. Inggit yang bingung diam tak melakukan apa pun. Bu Rohaya yang berlari menuju Arya dan Anya. Lalu, segera memanggil perawat. Tubuh Arya dan Anya diangkat kembali ke atas brankar oleh beberapa orang perawat. Selanjutnya, melakukan pemeriksaan. Hasilnya tidak terlalu buruk. Setelah setengah jam berselang, Anya yang masih dalam pengaruh obat penenang, membuat Arya berteriak karena takutnya Anya sudah tidak bernyawa. “Tolong ....” Teriak Arya dari ruangan. Seorang perawat segera lari menuju teriakan. Inggit dan Bu Rohaya hanya bisa menunggu tanpa berani masuk. Lima menit kemudian perawat keluar dengan raut wajah yang menahan tawa. Membuat Inggit tergerak untuk bertanya. “Bagaimana, Dok?” tanya Inggit. “Pasien teriak-trriak ketakutan. Dikira pasien wani
Baca selengkapnya

Dukunnya kalah sakti

‘Apa ini namanya tisu kiriman gaib yang menjadi sumber masalah di rumah ini, membuat Arya dan Anya gancet?’ batin Inggit. Sang dukun lantas menggenggam tisu tersebut di tangan kirinya, setelah Inggit memberikan tisu tersebut. Lalu, menaruh tisu itu ke atas piring kecil, lalu membaca mantra dan meludahi tisu tersebut.Tidak berselang lama, tisu tersebut terbakar. Asapnya membumbung memenuhi kamar. Melihat Anya dan Arya dibentak karena berteriak, dan terbatuk-batuk. Inggit mencoba menahan napas, begitu juga Bu Rohaya. “Maaf nih Om Dukun, diminta tolong siapa? Kok datang kemari?” tanya Inggit setelah kamar sudah tidak lagi dipenuhi asap. Dukun itu hanya diam, mangut-mangut. Mengelus jenggot dan kumisnya yang panjang. “Ambilkan air satu gelas.”Tak banyak kata lagi, Inggit mau tidak mau menyiapkan minuman seperti perintah Mbah Dukun.Saat Inggit masuk, Mbah Dukun itu sedang mengentakkan telapak tangan ke la
Baca selengkapnya

Berbeda pandangan

“Lah itu, dukunnya malah kesurupan.”Inggit hanya terdiam melihat apa yang terjadi di atas ranjang. “Tadi, waktu kamu tidur, Mbah Dukun itu datang lagi, katanya disuruh teman kamu. Dia baca-baca mantra. Terus malah kesurupan kayak gitu.”“Haduw, ada-ada aja.”“Terus, itu nasib mereka gimana?”“Ibuk, juga gak tau.”Tepat saat itu juga Arya berteriak, “Ampun Mbah ... AMPUN!”“Gimana nih, Bu?” tanya Inggit semakin panik. Bu Rohaya hanya menggidikkan bahunya. “Gak tau. Sudahlah, Ibu juga gak berani masuk ke dalam. Biarkan siksaan mereka berjalan.”“Aku takut, Bu.”“Dah, santai aja, kita tungguin aja, Nggit. Mudah-mudahan Dukunnya sadar sendiri.”Bu Rohaya lalu mengajak Inggit duduk di sofa ruang keluarga yang terletak persis di depan kamar. “Kok yang lain pada ke mana Bu?” tanya Inggit setelah mengintip di luar rumah. “Mungkin Pak RT, dan Bu
Baca selengkapnya

salah mantra

“Ini, yang hanya Yai kasih. Suruh minum dan siram ubun-ubun.”Pak RT lantas melakukan apa yang dikatakan oleh orang itu. Seketika itu, Mbah Dukun berteriak, pada akhirnya berhenti. Beliau lalu, terkulai lemah tak sadarkan diri. Tak lama kemudian, Mbah Dukun sadar setelah diberi balsem di hidungnya sama Pak RT. “Alhamdulillah ... Mbah Dukun sadar.” Pak RT melihat Mbah Dukun. “Mbah, kenapa?” tanya Mbah Dukun. “Mbah kesurupan dari semalem.”“Masa sih! Jangan, bo'ong. Mbah ini Dukun, masa ia kesurupan ... setan mana yang berani Sa Mbah.”“Ini beneran Mbah, orang Mbah itu sampe ngamuk-ngamuk. Terus pintu Mbah Dukun rusakin. Suamiku saja, Mbah iket.”“Astaga.”“Sudah, gak apa kok Mbah. Yang penting Mbah sudah sadar,” sela Pak RT. “Maaf, ya. Mungkin tadi Mbah salah mantra.”“Iya, sudah Mbah gak apa. Makasih loh pertolongannya.” Inggit tersenyum. Kasihan
Baca selengkapnya

lepas tangan

“Kok banyak banget ya. Rugilah lah aku nanti.”Bu Rohaya mendelik ke arah Arya sambil berkata, “Milih uangmu, apa gancet seperti ini terus?”Arya menelan ludahnya kelu, mengiakan walau sedikit terpaksa. “Tapi, Mas ... jangan lupa sisain buat Anya, ya,” sahut Anya. Bu Rohaya hanya menggeleng kepala. Lalu berkata, “Nak, Inggit. Coba telepon temanmu, siapa tahu ada yang bisa membantu, mereka.”Tak perlu waktu lama, Inggit langsung melakukan perintah Bu Rohaya. Inggit mencoba menghubungi temannya. Siapa lagi kalau bukan, Agam. Inggit bercerita perihal yang terjadi secara mendetail. Malam menjelang, pintu rumah baru ada yang mengetuk. Inggit segera keluar untuk memeriksa. Sudah lebih dari berjam-jam Inggit menunggu kedatangan tamunya. “Masuk, Gam,” ajak Inggit. Agam mengekor masuk dan duduk di ruang tamu. “Mau minum apa? Aku siapain dulu ya.”“Gak usah repot-repot.” Agam menolak
Baca selengkapnya

kebimbangan

Bu Rohaya mengangkat wajah Inggit dengan kedua tangannya. “Sudahlah, Ibu ikhlas membantu kamu.”Hening tercipta beberapa saat di antara mereka. Inggit terenyuh, bagaimana tidak. Keluarganya saja bukan angkat tangan untuk membantu dirinya bahkan tidak tahu apa yang sedang menimpa dirinya. Mungkin, karena ia jarang berkunjung ke tempat keluarganya. Bukan karena sombong. Namun, pernah sewaktu dulu saat Inggit baru menikah dengan ekonomi kehidupannya susah, ia diabaikan dan malah dicaci sebagai ibu pemula yang tidak bisa apa-apa, selalu dipandang sebelah mata. Bukan dendam dengan keluarganya, tetapi Inggit lebih menghindar dengan berkumpul atau berkomunikasi dengan keluarga besarnya. Inggit mengangkat wajah. Tatapan mereka bertemu. Bu Rohaya mengangguk dan tersenyum penuh arti. Membuat Inggit teringat orang yang melahirkan dirinya. Jelas, Inggit tidak ingin orang tuanya tahu tentang apa yang menimpa dirinya. Ia tidak ingin malah menjadi beban pikiran s
Baca selengkapnya

ketukan pintu kamar

Agam tak membalas. Melainkan segera menarik tangan Inggit, segera berangkat tepat jam empat subuh. Agam mempercepat laju motornya agar kami segera sampai. Sayangnya, suara azan tak mampu membuat mereka terus bergegas. Mau tak mau, mereka harus menepi sejenak untuk menunaikan kewajiban. Mereka singgah di masjid yang jaraknya kira-kira masih setengah perjalanan. Sebenarnya, Agam tak ingin menepi, tapi Inggit bersikukuh untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat beragama. Barulah setelah selesai menunaikan salat, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka sampai sebelum Mbah Dukun kepercayaan keluarga Mas Arya datang. Memang semua harus selesai sebelum Mbah Dukun itu ritual. “Jadi sudah kamu lakukan apa perintah Mbah Dukun?” tanya Bu Rohaya. “Udah, Bu.”“Sabar ya, Nak. Di posisi seperti ini saja, masih kamu juga yang disalahin.”“Ya, Bu, gak apa. Terus, kenapa Mas Arya ngamuk?”“Keluarganya memberi tau bah
Baca selengkapnya

pusaka palsu

Tak ada jawaban. Namun, ketukan itu terus terdengar. Jelas, ini membuat Inggit terpaksa bangun dari ranjang, kemudian berjalan menuju pintu. Segera saja memutar gagang pintu untuk mengetahui siapa yang mengetuk. Ternyata saat pintu terbuka, tidak ada siapa pun. Agam juga sudah tidak ada lagi di sofa tepatnya berbaring tadi. Inggit penasaran, lantas berjalan menuju kamar Arya. “Mas Arya?” pekik Inggit. Agam memberi isyarat dengan matanya untuk mengizinkan Inggit cepat masuk dan membantunya. Arya dan Anya malah seperti terkena epilepsi. Dari mulut keduanya juga keluar bisa. Mata keduanya juga melihat ke atas. “Apa yang harus kita lakukan!”“Longgarkan semua selimut yang ada di tubuh mereka.”Inggit menuruti apa yang diperintah Agam. Lalu, Agam melihat reaksinya masih sama, hingga menggulingkannya ke samping. Tak lama dari itu, akhirnya Arya dan Anya kembali memejamkan mata. Entah mereka
Baca selengkapnya

gejala ODGJ

“Aku pusing, Gam. Mas Arya kejang-kejang lagi.”“Kejang-kejang?”Inggit lantas menutup telepon. Ia kembali berbaring. Ia hanya berharap Agam segera datang tepat waktu. Ia butuh seseorang untuk menolong. Sekelebat pikiran Inggit terbayang perkataan Ibu penjual sarapan pagi. Ia butuh orang lain untuk membantu mengurusi Arya dan Anya. Terlebih, sudah hampir empat hari mereka dalam keadaan gancet. Hari kemarin ada Bu Rohaya. Jadi, Inggit tak terlalu merasa terbebani. Kalau sendirian seperti ini, ia rasanya tak sanggup. Baiklah, setelah kuat nanti, Inggit akan pergi ke rumah Ibu penjual sarapan pagi untuk meminta bantuan mencarikan tenaga kerja. Semoga saja bisa segera menemukan orang yang cocok untuk mengurusi rumah serta Arya dan Anya. Inggit juga masih punya kesibukan lainnya. Belum lagi mencari tahu siapa pelaku sebenarnya? Siapa yang mau dituduh tanpa berlandaskan alasan, dan bukti yang jelas. Ingin Inggit rasanya melaporkan ini, karena masuk ke dalam pencemaran nama baik, menudu
Baca selengkapnya

bukti yang tidak senonoh

“Kamu kalau ngomong!” Agam hanya terkikik.Dokter temannya Agam menjelaskan kondisi kesehatan Arya dan Anya. Meski begitu, mereka dalam kondisi yang cukup baik-baik saja. Dokter juga sedikit memuji penanganan cepat seorang istri.Setelah itu, Arya dan Anya harus dipindahkan ke ruangan rawat inap agar dapat terus dipantau perkembangannya. Sebenarnya Arya sempat meminta untuk pulang, tapi tak dibolehkan oleh dokter. Inggit dan Agam segera keluar setelah memastikan kondisi Arya dan Anya mendapatkan pelayanan terbaik. Kemudian, Inggit dan Agam ke kantin rumah sakit. Agam memilih tempat yang berada di pojokan. Bukan hanya alasan kenyamanan, tapi sedikit menghindari perhatian. Lagi pula mencari tempat yang sedikit leluasa berbincang. Ia memesan makanan dan minuman, sedangkan Inggit hanya memesan minuman. Sementara menunggu pesanan dihidangkan, Agam mencoba menghibur Inggit, tapi seketika mengarah ke Arya dan Anya.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status