“Kok banyak banget ya. Rugilah lah aku nanti.”
Bu Rohaya mendelik ke arah Arya sambil berkata, “Milih uangmu, apa gancet seperti ini terus?”Arya menelan ludahnya kelu, mengiakan walau sedikit terpaksa.“Tapi, Mas ... jangan lupa sisain buat Anya, ya,” sahut Anya.Bu Rohaya hanya menggeleng kepala. Lalu berkata, “Nak, Inggit. Coba telepon temanmu, siapa tahu ada yang bisa membantu, mereka.”Tak perlu waktu lama, Inggit langsung melakukan perintah Bu Rohaya. Inggit mencoba menghubungi temannya. Siapa lagi kalau bukan, Agam. Inggit bercerita perihal yang terjadi secara mendetail.Malam menjelang, pintu rumah baru ada yang mengetuk. Inggit segera keluar untuk memeriksa. Sudah lebih dari berjam-jam Inggit menunggu kedatangan tamunya.“Masuk, Gam,” ajak Inggit.Agam mengekor masuk dan duduk di ruang tamu.“Mau minum apa? Aku siapain dulu ya.”“Gak usah repot-repot.” Agam menolakBu Rohaya mengangkat wajah Inggit dengan kedua tangannya. “Sudahlah, Ibu ikhlas membantu kamu.”Hening tercipta beberapa saat di antara mereka. Inggit terenyuh, bagaimana tidak. Keluarganya saja bukan angkat tangan untuk membantu dirinya bahkan tidak tahu apa yang sedang menimpa dirinya. Mungkin, karena ia jarang berkunjung ke tempat keluarganya. Bukan karena sombong. Namun, pernah sewaktu dulu saat Inggit baru menikah dengan ekonomi kehidupannya susah, ia diabaikan dan malah dicaci sebagai ibu pemula yang tidak bisa apa-apa, selalu dipandang sebelah mata. Bukan dendam dengan keluarganya, tetapi Inggit lebih menghindar dengan berkumpul atau berkomunikasi dengan keluarga besarnya. Inggit mengangkat wajah. Tatapan mereka bertemu. Bu Rohaya mengangguk dan tersenyum penuh arti. Membuat Inggit teringat orang yang melahirkan dirinya. Jelas, Inggit tidak ingin orang tuanya tahu tentang apa yang menimpa dirinya. Ia tidak ingin malah menjadi beban pikiran s
Agam tak membalas. Melainkan segera menarik tangan Inggit, segera berangkat tepat jam empat subuh. Agam mempercepat laju motornya agar kami segera sampai. Sayangnya, suara azan tak mampu membuat mereka terus bergegas. Mau tak mau, mereka harus menepi sejenak untuk menunaikan kewajiban. Mereka singgah di masjid yang jaraknya kira-kira masih setengah perjalanan. Sebenarnya, Agam tak ingin menepi, tapi Inggit bersikukuh untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat beragama. Barulah setelah selesai menunaikan salat, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka sampai sebelum Mbah Dukun kepercayaan keluarga Mas Arya datang. Memang semua harus selesai sebelum Mbah Dukun itu ritual. “Jadi sudah kamu lakukan apa perintah Mbah Dukun?” tanya Bu Rohaya. “Udah, Bu.”“Sabar ya, Nak. Di posisi seperti ini saja, masih kamu juga yang disalahin.”“Ya, Bu, gak apa. Terus, kenapa Mas Arya ngamuk?”“Keluarganya memberi tau bah
Tak ada jawaban. Namun, ketukan itu terus terdengar. Jelas, ini membuat Inggit terpaksa bangun dari ranjang, kemudian berjalan menuju pintu. Segera saja memutar gagang pintu untuk mengetahui siapa yang mengetuk. Ternyata saat pintu terbuka, tidak ada siapa pun. Agam juga sudah tidak ada lagi di sofa tepatnya berbaring tadi. Inggit penasaran, lantas berjalan menuju kamar Arya. “Mas Arya?” pekik Inggit. Agam memberi isyarat dengan matanya untuk mengizinkan Inggit cepat masuk dan membantunya. Arya dan Anya malah seperti terkena epilepsi. Dari mulut keduanya juga keluar bisa. Mata keduanya juga melihat ke atas. “Apa yang harus kita lakukan!”“Longgarkan semua selimut yang ada di tubuh mereka.”Inggit menuruti apa yang diperintah Agam. Lalu, Agam melihat reaksinya masih sama, hingga menggulingkannya ke samping. Tak lama dari itu, akhirnya Arya dan Anya kembali memejamkan mata. Entah mereka
“Aku pusing, Gam. Mas Arya kejang-kejang lagi.”“Kejang-kejang?”Inggit lantas menutup telepon. Ia kembali berbaring. Ia hanya berharap Agam segera datang tepat waktu. Ia butuh seseorang untuk menolong. Sekelebat pikiran Inggit terbayang perkataan Ibu penjual sarapan pagi. Ia butuh orang lain untuk membantu mengurusi Arya dan Anya. Terlebih, sudah hampir empat hari mereka dalam keadaan gancet. Hari kemarin ada Bu Rohaya. Jadi, Inggit tak terlalu merasa terbebani. Kalau sendirian seperti ini, ia rasanya tak sanggup. Baiklah, setelah kuat nanti, Inggit akan pergi ke rumah Ibu penjual sarapan pagi untuk meminta bantuan mencarikan tenaga kerja. Semoga saja bisa segera menemukan orang yang cocok untuk mengurusi rumah serta Arya dan Anya. Inggit juga masih punya kesibukan lainnya. Belum lagi mencari tahu siapa pelaku sebenarnya? Siapa yang mau dituduh tanpa berlandaskan alasan, dan bukti yang jelas. Ingin Inggit rasanya melaporkan ini, karena masuk ke dalam pencemaran nama baik, menudu
“Kamu kalau ngomong!” Agam hanya terkikik.Dokter temannya Agam menjelaskan kondisi kesehatan Arya dan Anya. Meski begitu, mereka dalam kondisi yang cukup baik-baik saja. Dokter juga sedikit memuji penanganan cepat seorang istri.Setelah itu, Arya dan Anya harus dipindahkan ke ruangan rawat inap agar dapat terus dipantau perkembangannya. Sebenarnya Arya sempat meminta untuk pulang, tapi tak dibolehkan oleh dokter. Inggit dan Agam segera keluar setelah memastikan kondisi Arya dan Anya mendapatkan pelayanan terbaik. Kemudian, Inggit dan Agam ke kantin rumah sakit. Agam memilih tempat yang berada di pojokan. Bukan hanya alasan kenyamanan, tapi sedikit menghindari perhatian. Lagi pula mencari tempat yang sedikit leluasa berbincang. Ia memesan makanan dan minuman, sedangkan Inggit hanya memesan minuman. Sementara menunggu pesanan dihidangkan, Agam mencoba menghibur Inggit, tapi seketika mengarah ke Arya dan Anya.
“Bisa ikut ke bagian administrasi,” ajak perawat dengan sopan. Agam hanya melirik sekilas, ia masih terlalu lapar.“Aku, Sus.”“Ya, Mbak ... Mari ikut saya, Mbak. Nanti dijelaskan oleh dokter yang ada di sana.”“Baik, Sus.”Inggit kemudian menghabiskan minumannya terlebih dulu. “Gam, aku ke bagian administrasi dulu.”Agam hanya menunjukkan jempolnya, karena mulutnya masih penuh dengan makanan, ia makan dengan terburu-buru karena masih ada tugas untuk memeriksa ponsel Anya. Inggit kemudian berdiri dan berjalan mengikuti langkah perawat. Anehnya, Inggit tak menuju ruang administrasi, tapi malah dibawa entah ke mana. “Kenapa kita ke sini, Sus ... gak salah, seharusnya ....” Belum sempat selesai bertanya, perawat itu sudah mendorong Inggit ke dalam ruang. Ruangan itu juga dikunci rapat. Ruangan ini juga terasa pengap dan tidak dapat menjangkau sinyal. Inggit tak bisa mengakses panggila
"Iya, Mbak.""Apa bisa Mbok bekerja sekarang!"Mbok Ratih menyetujui, ia langsung pindah ke rumah Inggit saat ini juga. Kebetulan, masih ada ruang kosong yang masih bisa untuk dijadikan sebuah kamar kecil. Mbok Ratih juga tidak keberatan menempati ruangan itu. Menjelang Magrib, Agam barulah pulang. Sebelumnya, ia membantu menjelaskan tugas Mbok Ratih. Termasuk mengurusi Arya dan Anya. Arya juga menjanjikan dia kali lipat untuk itu. Sejak awal melihat Mbok Ratih, Inggit sudah yakin bahwa beliau bisa dipercaya dan diandalkan.Mbok Ratih juga sudah mulai melakukan tugasnya menyuapi Arya dan Anya makan malam. Makan malam yang sudah dipesan lewat aplikasi online oleh Agam sebelum pulang. Ia memesan empat porsi. “Mbok, sudah makan, Bu.” Mbok Ratih sempat menolak dengan sungkan. “Itu, sudah kepalang dipesan loh, Mbok.” Inggit mengingatkan. Entah, menolak karena sudah makan atau sungkan karena mene
Ternyata, ada sebuah rahasia lain tentang Arya di sini. Inggit tidak ingin mengetahui lebih jauh. Tentang apa yang sedang disembunyikan. Ada baiknya menemukan siapa penyebab Arya gancet itu. “Sudah, ya Mbak, saya pergi dulu. Ada kerjaan soalnya.” Udin mengusir secara halus. Inggit sadar diri. Tak baik juga menginterogasi orang lain dengan paksaan. “Baiklah. Aku tidak akan memaksa, ternyata ada yang kalian tutupi, di luar kejadian gancet.” Setelah mengatakan itu, Inggit membuka pintu mobil dan keluar dari sana. Ia lantas berjalan menuju mobil Agam. “Malah, ruwet urusannya, Gam.” Inggit berkata setelah duduk di kursi mobil. Agam mengangkat tangannya yang memegang sebuah ponsel. Inggit mengernyitkan dahi tak mengenali ponsel tersebut. “Ponsel Udin?”Agam hanya membalas dengan senyuman tipis. Sejak kapan? Lelaki ini bisa melakukan teleportasi, bisa memindahkan benda tanpa di sadari korbannya.
Pisau yang ingin tertancap di dada Inggit semakin menekan. Untungnya, Agam terlebih dulu mendorong tubuh Inggit dan melepaskan pisau itu. PRANG!Agam segera menjauhkan pisau itu dengan bantuan kakinya. Agam memeluk erat tubuh Inggit yang rapuh. “Baiklah! Aku percaya. Aku akan membantumu. Aku mohon jangan seperti ini. Inggit yang aku kenal tidak mudah patah semangat.”Nafas Inggit tersengal. Walau dadanya terasa sakit, tapi usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membuat Agam percaya. Akting Inggit tak sampai di sini, dirinya langsung berpura-pura pingsan, dan menjatuhkan tubuhnya di dada Agam. Agam yang sigap, langsung menuntun tubuh Inggit ke ranjang. Lalu, berlari menuju pintu. Dia berteriak meminta tolong kepada dokter. Inggit tersenyum senang menatap punggung Agam. Semua sudah Inggit rencanakan dengan matang. Dia akan membalas setiap luka dari Arya. Ia tak bodoh seperti dulu, terlalu baik untuk melupakan
Tak jauh dari Inggit berdiri, mobil berhenti mendadak.“Dia pingsan.” Temannya ikut melihat wanita itu dari spion mobil. Mengerling jengah! Tentunya sangat malas mengikuti pola pikir Agam yang terlalu manusiawi. “Waktu....”Agam tetap setia menginjak pedal rem mobilnya. Sementara terlihat jelas lelaki yang ada di sebelahnya, tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menolong wanita yang dianggap gila itu. “Emang Inggit itu siapa? Apa kamu mengenal nama itu?”“Hah, sudah tidak usah mengulik masa lalu seseorang, di sana ada luka yang cukup dalam. Sangat kentara menyakitkan.”Teman Agam tersenyum remeh, “Malah, puitis.”Mau tidak mau, Agam melaju dengan kecepatan pelan. “Waktu, Gam! Rapat tentang membuka cabang kedai akan segera di mulai, apa kamu mau membuang kesempatan ini!”Agam masih terpikir bila itu benar Inggit. Meskipun bukan Inggit, hatinya sangat berat bila tak menolong, meni
“Bu Sari, nyuruh aku sembunyi.”“Kenapa?”“Itu Pak masalahnya, aku gak tau pasti,” ucapku lirih. “Ibu Sari ada bilang apa lagi?” Inggit hanya menggeleng. Pria itu mencoba menenangkan Inggit dengan mengelus pelan pundaknya. Ada sedikit rasa tertolong karenanya. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengabarkan bahwa keadaan Ibu Sari mulai membaik. Hanya, memang masih butuh perawatan, sehingga harus menginap untuk beberapa waktu ke depan. “Tenang, Bu... Ibu tidak boleh banyak gerak dulu,” ucap seorang dokter yang kemudian menyusul keluar. “Terima kasih, Dok,” seru Inggit yang baru saja tiba. Dokter hanya membalas anggukan dan pamit berlalu. Inggit dan pria paruh baya itu menghampiri keadaan Ibu Sari. Dan Ibu Sari sempat bercerita singkat tentang tragedi yang sedang menimpa ini adalah suruhan Arya. Arya yang sudah mengetahui bahwa Inggi
Dengan cepat Denny merebut bungkusan keresek. “Mas,” bentak Inggit. “Ini masih basah.” Inggit mendengus. Lalu, ia keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Perkataan tentang acara pernikahan itu membuat ia menyelidik. Ingin melihat dekorasi yang dikatakan Pak Djarot. Memang terlihat dekorasi itu terlihat sederhana membuat Inggit terenyuh, apabila semua rencana yang telah Pak Djarot persiapkan ini akan gagal. Inggit gelisah, bagaimana dengan dendamnya kepada sang suami, ia buru-buru meninggalkan rumah ini. Setelah sampainya di kebun tomat yang lumayan jauh dari rumah. Entah mengapa air mata Inggit menetes bila merasakan kekecewaan Pak Djarot bila mengetahui semua ini adalah setingan semata. Hampir dua jam lamanya, Inggit terjebak dalam pikiran kalutnya. Barulah setelah sedikit tenang Inggit mencoba bersabar menarik keinginannya. Namun, seketika Inggit kembali ke rumah itu tampak gelap. Padahal adzan maghrib sudah hampir satu jam lalu. Saat Inggit mende
“Maksud Mas, bukan ... iya benar, Mas salah. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat!” Inggit kembali maju mendekati Denny. Kini jarak mereka tak lebih dari satu meter. Inggit mendongak untuk melihat wajah Denny yang menyiratkan rasa penyesalannya. “Mas tau sebagai lelaki harus bertangungjawab, tapi Mas hanya mencari istri yang mau tinggal bersama ayah saya. Dengan segala sikap ayah saya.”“Banyak alasan, memang kenapa dengan wanita janda? Jangan mau nidurinnya aja?” Inggit menaikkan dagu tanpa mengalihkan tatapan. “Inggit....”“Jangan pernah meremehkan seorang janda, janda juga bukan hanya untuk sekadar tepat Mas memuaskan nafsu. Dan saya juga kelak akan menjadi janda, saya tahu perasaan wanita itu, Mas.”“Inggit, maksud Mas bu....”“Udah, ah. Aku beneran gak betah tinggal di sini, aku udah capek ikutin rencana ini.” Inggit berbalik menuju kamar mandi.
Inggit terdiam. Sendoknya yang sudah nyaris sampai ke mulut kembali turun. “Iya, Bu ... terima kasih sudah mengingatkan,” balas Inggit dengan raut muram. “Bagaimana dengan tujuanmu yang kemarin?”“Aku tidak akan berubah pikiran, aku akan tetap untuk ke kota kelak ... bila waktunya sudah tiba,” balas Inggit. “Nak, jangan sampai menceritakan masa lalu kamu dengan siapapun? Dan jangan bertindak ceroboh, kasihan Pak Djarot bila tau semua ini....”Suara deretan langkah di lantai, membuat Inggit dan Bu Sari langsung terdiam. “Pak Djarot,” bisik Bu Sari. Ia lalu berbalik dan melihat Pak Djarot baru menyibak tirai pintu. “Pak, rendangnya sudah masak. Sudah saya pisah buat Bapak.” Bu Sari berdiri menuju lemari mengambil piring yang sudah dipisah. Matanya melebar ketika Pak Djarot duduk di kursi dan melipat tangannya memandang Inggit. Inggit terdiam. Pak Djarot sekarang duduk berhadapan dengan tatapan yang resah. Inggit mel
Inggit mengernyit dahi. Ia mengenali mimik wajah Denny yang sudah mulai mesum. Lidahnya pun keluar membasahi setiap sudut bibirnya yang terasa kering. “Hallo, Bu ... aku lagi sibuk, maaf ... duh sinyal juga jelek ... gak kuat sinyalnya. Sebentar aku cari sinyal dulu.” Denny tetap meletakkan ponselnya di pipi dan melangkah menuju pintu. “Mas aku jadi makan di sini aja, deng! Tolong ambilin ya, aku masih lemas banget nih,” unar Inggit memelas. Seraya melemparkan tatapan memohon. Denny berhenti dengan tangan sudah berada di knop pintu. Satu tangan lagi melihat layar ponsel yang masih tersambung. “Tadi katanya—““Duh, aku lemes banget Mas.” Inggit menarik selimut dan meringkuk. “Sebentar, ya.” Denny menggeser ponselnya sedikit jauh, supaya Bu Patmi tidak terlalu jelas terdengar percakapannya. “Lapar Mas, dingin.” Inggit mengeluarkan nada seperti orang yang kedinginan. Bergetar. Inggit merasa D
Terdengar suara pintu terbuka. “Aku kira udah selesai,” kata Denny. “Cepet buat teh buat istri kamu,” perintah tukang urut. Inggit sibuk menarik sarung yang sudah melorot untuk menutup bagian dadanya. Tak lama kemudian, Inggit dikerok oleh mbah urut, dan Denny datang dengan segelas teh hangat. Inggit melirik Denny yang meletakkan teh di sebelahnya. Mata Denny berkedip nakal pada Inggit sesaat Mbah urut berkata, “Den, liat punggung istrimu merah semua.” “Iya, Mbah, biar nanti aku oles dengan minyak angin nanti malam.” Denny menatap pemandangan punggung Inggit. Denny lelaki biasa, melihat itu membuat darahnya berdesir, hangat. “Kalau gitu, aku keluar dulu ya, Mbah,” pamit Denny. Inggit hanya terdiam pasrah, sesaat tubuhnya menjadi pemandangan untuk Denny. Sepulang tukang urut, Denny menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Inggit, berharap wanita itu berselera makan. “Aku masuk, kamu udah pakai baju belum,” seru Denny di depan pint
“Apa iya, Den?” tanya Mbah urut memecahkan pikiran Denny yang termenung. Denny menggelengkan kepala seakan menolak keluar kamar. “Tuh, suami kamu katanya tidak sibuk.”“Kata Pak Djarot kamu di suruh belah kayu,” tegas Inggit sembari membenarkan sarung yang membalut tubuhnya. Wanita paruh baya itu menatap Denny yang tak lepas memandang tubuh Inggit, celananya juga terlihat mengembung. “Pengantin baru emang seperti itu, terkadang udah gak tau waktu, tuh istrimu sampai demam,” kata Mbah urut tersenyum kepada Inggit dan Denny. Denny membenarkan celananya. Dia menggelengkan kepala mengusir pikiran nakalnya. “Iya, Mbah ... Eh, iya aku ada kerja ... kalau begitu aku permisi dulu,” ucap Denny terburu-buru keluar kamar takut tersulut gairahnya yang mulai bergelut di dalam darahnya. Brutal.Setelah Denny keluar menutup pintu, Inggit duduk kasur yang sudah dibentang oleh Denny barusan. Tangan meraba pengait bra untuk melepas