Share

janda kota dan janda desa

Author: Hangga rezka
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Maksud Mas, bukan ... iya benar, Mas salah. Tapi....”

“Dalam soal apa lagi laki-laki harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat!” Inggit kembali maju mendekati Denny. Kini jarak mereka tak lebih dari satu meter. Inggit mendongak untuk melihat wajah Denny yang menyiratkan rasa penyesalannya.

“Mas tau sebagai lelaki harus bertangungjawab, tapi Mas hanya mencari istri yang mau tinggal bersama ayah saya. Dengan segala sikap ayah saya.”

“Banyak alasan, memang kenapa dengan wanita janda? Jangan mau nidurinnya aja?” Inggit menaikkan dagu tanpa mengalihkan tatapan.

“Inggit....”

“Jangan pernah meremehkan seorang janda, janda juga bukan hanya untuk sekadar tepat Mas memuaskan nafsu. Dan saya juga kelak akan menjadi janda, saya tahu perasaan wanita itu, Mas.”

“Inggit, maksud Mas bu....”

“Udah, ah. Aku beneran gak betah tinggal di sini, aku udah capek ikutin rencana ini.” Inggit berbalik menuju kamar mandi.
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   tak terduga

    Dengan cepat Denny merebut bungkusan keresek. “Mas,” bentak Inggit. “Ini masih basah.” Inggit mendengus. Lalu, ia keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Perkataan tentang acara pernikahan itu membuat ia menyelidik. Ingin melihat dekorasi yang dikatakan Pak Djarot. Memang terlihat dekorasi itu terlihat sederhana membuat Inggit terenyuh, apabila semua rencana yang telah Pak Djarot persiapkan ini akan gagal. Inggit gelisah, bagaimana dengan dendamnya kepada sang suami, ia buru-buru meninggalkan rumah ini. Setelah sampainya di kebun tomat yang lumayan jauh dari rumah. Entah mengapa air mata Inggit menetes bila merasakan kekecewaan Pak Djarot bila mengetahui semua ini adalah setingan semata. Hampir dua jam lamanya, Inggit terjebak dalam pikiran kalutnya. Barulah setelah sedikit tenang Inggit mencoba bersabar menarik keinginannya. Namun, seketika Inggit kembali ke rumah itu tampak gelap. Padahal adzan maghrib sudah hampir satu jam lalu. Saat Inggit mende

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   kembali ke kota

    “Bu Sari, nyuruh aku sembunyi.”“Kenapa?”“Itu Pak masalahnya, aku gak tau pasti,” ucapku lirih. “Ibu Sari ada bilang apa lagi?” Inggit hanya menggeleng. Pria itu mencoba menenangkan Inggit dengan mengelus pelan pundaknya. Ada sedikit rasa tertolong karenanya. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengabarkan bahwa keadaan Ibu Sari mulai membaik. Hanya, memang masih butuh perawatan, sehingga harus menginap untuk beberapa waktu ke depan. “Tenang, Bu... Ibu tidak boleh banyak gerak dulu,” ucap seorang dokter yang kemudian menyusul keluar. “Terima kasih, Dok,” seru Inggit yang baru saja tiba. Dokter hanya membalas anggukan dan pamit berlalu. Inggit dan pria paruh baya itu menghampiri keadaan Ibu Sari. Dan Ibu Sari sempat bercerita singkat tentang tragedi yang sedang menimpa ini adalah suruhan Arya. Arya yang sudah mengetahui bahwa Inggi

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   melukai dadanya

    Tak jauh dari Inggit berdiri, mobil berhenti mendadak.“Dia pingsan.” Temannya ikut melihat wanita itu dari spion mobil. Mengerling jengah! Tentunya sangat malas mengikuti pola pikir Agam yang terlalu manusiawi. “Waktu....”Agam tetap setia menginjak pedal rem mobilnya. Sementara terlihat jelas lelaki yang ada di sebelahnya, tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menolong wanita yang dianggap gila itu. “Emang Inggit itu siapa? Apa kamu mengenal nama itu?”“Hah, sudah tidak usah mengulik masa lalu seseorang, di sana ada luka yang cukup dalam. Sangat kentara menyakitkan.”Teman Agam tersenyum remeh, “Malah, puitis.”Mau tidak mau, Agam melaju dengan kecepatan pelan. “Waktu, Gam! Rapat tentang membuka cabang kedai akan segera di mulai, apa kamu mau membuang kesempatan ini!”Agam masih terpikir bila itu benar Inggit. Meskipun bukan Inggit, hatinya sangat berat bila tak menolong, meni

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   Suasana hangat

    Pisau yang ingin tertancap di dada Inggit semakin menekan. Untungnya, Agam terlebih dulu mendorong tubuh Inggit dan melepaskan pisau itu. PRANG!Agam segera menjauhkan pisau itu dengan bantuan kakinya. Agam memeluk erat tubuh Inggit yang rapuh. “Baiklah! Aku percaya. Aku akan membantumu. Aku mohon jangan seperti ini. Inggit yang aku kenal tidak mudah patah semangat.”Nafas Inggit tersengal. Walau dadanya terasa sakit, tapi usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membuat Agam percaya. Akting Inggit tak sampai di sini, dirinya langsung berpura-pura pingsan, dan menjatuhkan tubuhnya di dada Agam. Agam yang sigap, langsung menuntun tubuh Inggit ke ranjang. Lalu, berlari menuju pintu. Dia berteriak meminta tolong kepada dokter. Inggit tersenyum senang menatap punggung Agam. Semua sudah Inggit rencanakan dengan matang. Dia akan membalas setiap luka dari Arya. Ia tak bodoh seperti dulu, terlalu baik untuk melupakan

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   celana dalam

    Kamar hotel menjadi saksi bisu pertumpahan itu terjadi, teriakan demi teriakan semakin menguar di seluruh ruangan. Tanpa ingat istri Arya bergumul dengan seorang wanita. Mereka saling menyentuh, saling melenguh, merengkuh nikmat. Namun, saat akan mencapai puncak pelepasan impian, ponsel tiba-tiba berbunyi, mengganggu dua insan yang sedang mengadu asmara.Laki-laki itu terpaksa menerima panggilan tersebut, ia takut kalau ternyata penting. Apalagi ia baru saja diangkat menjadi HRD. “Sial!” gumam lelaki tersebut menatap layar ponsel tertera nama istrinya. “Mas Arya ke mana kok belum pulang sih!” Terdengar suara melengking dari ponsel Arya, membuat yang mendengar menutup telinga. "Siapa Mas?" bisik wanita yang berada di sampingnya bergerak tak ingin melepaskan tautan mereka, tak berniat untuk menyudahi melainkan wanita itu mencari kepuasan lain. "Inggit, istriku," bisik Arya yang tak lain seperti kucing nakal, bercinta sana sini sesuka hati!Bodohnya si Inggit selalu menolak kebenaran

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   kebodohan yang mutlak

    “Wah, Apa benar kamu pandai di ranjang?” selidik Agam, dengan isi kepala membayangkan wanita berambut panjang, yang memiliki lekuk tubuh berisi seperti payudara Kim Kardashian dan perut rata Michelle Keegan yang ada di hadapannya. Agam menatap Inggit. Di sisi lain ada perasaan senang dengan keadaan temannya ini. Inggit mendesah berat, bingung untuk mengutarakan kalimat dan apa yang harus ia lakukan setelah ini. “Aku percaya sih, kalau kamu hebat kikuk kikuknya.” Agam menatap Inggit dengan buas. “Udah, deh! Kok jadi bahas itu.” “Cerai aja sudah.” Agam kembali membumbui. Inggit semakin gelisah, sedikit membenarkan kata-kata temannya ini. “Tapi, lebih baik aku liat permainannya dulu sampai mana.” “Permainan apa? Permainan kikuk kikuknya?” “Iih, kamu kok jadi genit gituu, gak jelas!” Inggit mencubit pelan lengan Agam. “Duh, duh, duh, cubit aja gak apa-apa, gue ikhlas. Jangankan di cubit, diapain aja rela.” “Aku udah punya suami,” ujar Inggit memoncongkan bibir. Seketika Inggit

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   lelaki penuh tipu daya

    Inggit mengusap wajahnya kasar prustasi. “Hah, sudahlah ... aku gak ada waktu.” “Oke, aku pergi! Tapi, setelah ini kamu akan melihat bahwa suamimu sedang bercumbu dengan wanita lain, dan kamu akan menangis, dan akhirnya menelepon aku kembali. Salam celana dalam. Bye!” Agam memasang kembali helmnya dan menyalakan mesin motornya, meninggalkan Inggit yang terdiam terpaku. Lagi-lagi Inggit mengusap wajahnya secara kasar. “Kayak peramal aja dia! Apa dia sekarang sudah menjadi peramal? Hah, kenapa juga harus memikirkan dia lebih, lupakan itu,” gumam Inggit melangkahkan kakinya. Inggit mulai mengendap-endap mencari tempat duduk yang aman, ia melihat salah satu sofa, dan duduk di sana. Sambil terus mengamati suaminya. Ia seakan enggan untuk membuntuti suaminya, karena ia enggan menerima kenyataan. Namun, rasa penasaran mendorong dirinya untuk tetap bersikukuh untuk menjadi mata-mata dadakan. “Maaf, bisa saya tahu di mana kamar Pak Arya dan calon istrinya? Kebetulan kami sudah janjian unt

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   laporan mata-mata

    Arya menarik pinggang Inggit merapatkan tubuhnya. “Utututu ... masa sih ngiris bawang. Pekerjaan kantor mulai menumpuk, dan ada masalah yang sering membuat meeting dadakan. Jadi, maaf kalau akhir-akhir ini belum bisa mencintaimu sepenuhnya. Soalnya harus jaga stamina untuk menyelesaikan proyek lemburan dan meeting.” ‘Stamina untuk lemburan dan meeting atau buat memuaskan selingkuhanmu mas!’ batin Inggit. Inggit tersenyum kecut. Tentu saja batinnya benar. Suaminya sedang butuh stamina lebih, untuk menggarap selingkuhannya. Dasar lelaki! Hidung kelabang. Ehk, belang! “Iyaa, gak apa kok. Yang penting mas sehat aja udah alhamdulillah.” ‘Sial! Kenapa bisa aku menjadi wanita polos. Tidak bisa mengungkapkan bahwa dirinya sudah selingkuh! Dasar lelaki setan, yang penuh dengan tipu daya!’ ** Inggit membuka matanya, tangannya ingin bergerak meraba sebelahnya akan tetapi sudah tak ada. Dilirik jam yang ada di dinding, masih jam setengah enam pagi. “Apakah rajin dalam bekerjanya selama ini,

Latest chapter

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   Suasana hangat

    Pisau yang ingin tertancap di dada Inggit semakin menekan. Untungnya, Agam terlebih dulu mendorong tubuh Inggit dan melepaskan pisau itu. PRANG!Agam segera menjauhkan pisau itu dengan bantuan kakinya. Agam memeluk erat tubuh Inggit yang rapuh. “Baiklah! Aku percaya. Aku akan membantumu. Aku mohon jangan seperti ini. Inggit yang aku kenal tidak mudah patah semangat.”Nafas Inggit tersengal. Walau dadanya terasa sakit, tapi usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membuat Agam percaya. Akting Inggit tak sampai di sini, dirinya langsung berpura-pura pingsan, dan menjatuhkan tubuhnya di dada Agam. Agam yang sigap, langsung menuntun tubuh Inggit ke ranjang. Lalu, berlari menuju pintu. Dia berteriak meminta tolong kepada dokter. Inggit tersenyum senang menatap punggung Agam. Semua sudah Inggit rencanakan dengan matang. Dia akan membalas setiap luka dari Arya. Ia tak bodoh seperti dulu, terlalu baik untuk melupakan

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   melukai dadanya

    Tak jauh dari Inggit berdiri, mobil berhenti mendadak.“Dia pingsan.” Temannya ikut melihat wanita itu dari spion mobil. Mengerling jengah! Tentunya sangat malas mengikuti pola pikir Agam yang terlalu manusiawi. “Waktu....”Agam tetap setia menginjak pedal rem mobilnya. Sementara terlihat jelas lelaki yang ada di sebelahnya, tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menolong wanita yang dianggap gila itu. “Emang Inggit itu siapa? Apa kamu mengenal nama itu?”“Hah, sudah tidak usah mengulik masa lalu seseorang, di sana ada luka yang cukup dalam. Sangat kentara menyakitkan.”Teman Agam tersenyum remeh, “Malah, puitis.”Mau tidak mau, Agam melaju dengan kecepatan pelan. “Waktu, Gam! Rapat tentang membuka cabang kedai akan segera di mulai, apa kamu mau membuang kesempatan ini!”Agam masih terpikir bila itu benar Inggit. Meskipun bukan Inggit, hatinya sangat berat bila tak menolong, meni

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   kembali ke kota

    “Bu Sari, nyuruh aku sembunyi.”“Kenapa?”“Itu Pak masalahnya, aku gak tau pasti,” ucapku lirih. “Ibu Sari ada bilang apa lagi?” Inggit hanya menggeleng. Pria itu mencoba menenangkan Inggit dengan mengelus pelan pundaknya. Ada sedikit rasa tertolong karenanya. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengabarkan bahwa keadaan Ibu Sari mulai membaik. Hanya, memang masih butuh perawatan, sehingga harus menginap untuk beberapa waktu ke depan. “Tenang, Bu... Ibu tidak boleh banyak gerak dulu,” ucap seorang dokter yang kemudian menyusul keluar. “Terima kasih, Dok,” seru Inggit yang baru saja tiba. Dokter hanya membalas anggukan dan pamit berlalu. Inggit dan pria paruh baya itu menghampiri keadaan Ibu Sari. Dan Ibu Sari sempat bercerita singkat tentang tragedi yang sedang menimpa ini adalah suruhan Arya. Arya yang sudah mengetahui bahwa Inggi

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   tak terduga

    Dengan cepat Denny merebut bungkusan keresek. “Mas,” bentak Inggit. “Ini masih basah.” Inggit mendengus. Lalu, ia keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Perkataan tentang acara pernikahan itu membuat ia menyelidik. Ingin melihat dekorasi yang dikatakan Pak Djarot. Memang terlihat dekorasi itu terlihat sederhana membuat Inggit terenyuh, apabila semua rencana yang telah Pak Djarot persiapkan ini akan gagal. Inggit gelisah, bagaimana dengan dendamnya kepada sang suami, ia buru-buru meninggalkan rumah ini. Setelah sampainya di kebun tomat yang lumayan jauh dari rumah. Entah mengapa air mata Inggit menetes bila merasakan kekecewaan Pak Djarot bila mengetahui semua ini adalah setingan semata. Hampir dua jam lamanya, Inggit terjebak dalam pikiran kalutnya. Barulah setelah sedikit tenang Inggit mencoba bersabar menarik keinginannya. Namun, seketika Inggit kembali ke rumah itu tampak gelap. Padahal adzan maghrib sudah hampir satu jam lalu. Saat Inggit mende

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   janda kota dan janda desa

    “Maksud Mas, bukan ... iya benar, Mas salah. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat!” Inggit kembali maju mendekati Denny. Kini jarak mereka tak lebih dari satu meter. Inggit mendongak untuk melihat wajah Denny yang menyiratkan rasa penyesalannya. “Mas tau sebagai lelaki harus bertangungjawab, tapi Mas hanya mencari istri yang mau tinggal bersama ayah saya. Dengan segala sikap ayah saya.”“Banyak alasan, memang kenapa dengan wanita janda? Jangan mau nidurinnya aja?” Inggit menaikkan dagu tanpa mengalihkan tatapan. “Inggit....”“Jangan pernah meremehkan seorang janda, janda juga bukan hanya untuk sekadar tepat Mas memuaskan nafsu. Dan saya juga kelak akan menjadi janda, saya tahu perasaan wanita itu, Mas.”“Inggit, maksud Mas bu....”“Udah, ah. Aku beneran gak betah tinggal di sini, aku udah capek ikutin rencana ini.” Inggit berbalik menuju kamar mandi.

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   jangan mau enaknya saja

    Inggit terdiam. Sendoknya yang sudah nyaris sampai ke mulut kembali turun. “Iya, Bu ... terima kasih sudah mengingatkan,” balas Inggit dengan raut muram. “Bagaimana dengan tujuanmu yang kemarin?”“Aku tidak akan berubah pikiran, aku akan tetap untuk ke kota kelak ... bila waktunya sudah tiba,” balas Inggit. “Nak, jangan sampai menceritakan masa lalu kamu dengan siapapun? Dan jangan bertindak ceroboh, kasihan Pak Djarot bila tau semua ini....”Suara deretan langkah di lantai, membuat Inggit dan Bu Sari langsung terdiam. “Pak Djarot,” bisik Bu Sari. Ia lalu berbalik dan melihat Pak Djarot baru menyibak tirai pintu. “Pak, rendangnya sudah masak. Sudah saya pisah buat Bapak.” Bu Sari berdiri menuju lemari mengambil piring yang sudah dipisah. Matanya melebar ketika Pak Djarot duduk di kursi dan melipat tangannya memandang Inggit. Inggit terdiam. Pak Djarot sekarang duduk berhadapan dengan tatapan yang resah. Inggit mel

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   kemanjaannya muncul

    Inggit mengernyit dahi. Ia mengenali mimik wajah Denny yang sudah mulai mesum. Lidahnya pun keluar membasahi setiap sudut bibirnya yang terasa kering. “Hallo, Bu ... aku lagi sibuk, maaf ... duh sinyal juga jelek ... gak kuat sinyalnya. Sebentar aku cari sinyal dulu.” Denny tetap meletakkan ponselnya di pipi dan melangkah menuju pintu. “Mas aku jadi makan di sini aja, deng! Tolong ambilin ya, aku masih lemas banget nih,” unar Inggit memelas. Seraya melemparkan tatapan memohon. Denny berhenti dengan tangan sudah berada di knop pintu. Satu tangan lagi melihat layar ponsel yang masih tersambung. “Tadi katanya—““Duh, aku lemes banget Mas.” Inggit menarik selimut dan meringkuk. “Sebentar, ya.” Denny menggeser ponselnya sedikit jauh, supaya Bu Patmi tidak terlalu jelas terdengar percakapannya. “Lapar Mas, dingin.” Inggit mengeluarkan nada seperti orang yang kedinginan. Bergetar. Inggit merasa D

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   menatap nakal

    Terdengar suara pintu terbuka. “Aku kira udah selesai,” kata Denny. “Cepet buat teh buat istri kamu,” perintah tukang urut. Inggit sibuk menarik sarung yang sudah melorot untuk menutup bagian dadanya. Tak lama kemudian, Inggit dikerok oleh mbah urut, dan Denny datang dengan segelas teh hangat. Inggit melirik Denny yang meletakkan teh di sebelahnya. Mata Denny berkedip nakal pada Inggit sesaat Mbah urut berkata, “Den, liat punggung istrimu merah semua.” “Iya, Mbah, biar nanti aku oles dengan minyak angin nanti malam.” Denny menatap pemandangan punggung Inggit. Denny lelaki biasa, melihat itu membuat darahnya berdesir, hangat. “Kalau gitu, aku keluar dulu ya, Mbah,” pamit Denny. Inggit hanya terdiam pasrah, sesaat tubuhnya menjadi pemandangan untuk Denny. Sepulang tukang urut, Denny menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Inggit, berharap wanita itu berselera makan. “Aku masuk, kamu udah pakai baju belum,” seru Denny di depan pint

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   setengah bugil

    “Apa iya, Den?” tanya Mbah urut memecahkan pikiran Denny yang termenung. Denny menggelengkan kepala seakan menolak keluar kamar. “Tuh, suami kamu katanya tidak sibuk.”“Kata Pak Djarot kamu di suruh belah kayu,” tegas Inggit sembari membenarkan sarung yang membalut tubuhnya. Wanita paruh baya itu menatap Denny yang tak lepas memandang tubuh Inggit, celananya juga terlihat mengembung. “Pengantin baru emang seperti itu, terkadang udah gak tau waktu, tuh istrimu sampai demam,” kata Mbah urut tersenyum kepada Inggit dan Denny. Denny membenarkan celananya. Dia menggelengkan kepala mengusir pikiran nakalnya. “Iya, Mbah ... Eh, iya aku ada kerja ... kalau begitu aku permisi dulu,” ucap Denny terburu-buru keluar kamar takut tersulut gairahnya yang mulai bergelut di dalam darahnya. Brutal.Setelah Denny keluar menutup pintu, Inggit duduk kasur yang sudah dibentang oleh Denny barusan. Tangan meraba pengait bra untuk melepas

DMCA.com Protection Status