Share

lelaki penuh tipu daya

Author: Hangga rezka
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Inggit mengusap wajahnya kasar prustasi. “Hah, sudahlah ... aku gak ada waktu.”

“Oke, aku pergi! Tapi, setelah ini kamu akan melihat bahwa suamimu sedang bercumbu dengan wanita lain, dan kamu akan menangis, dan akhirnya menelepon aku kembali. Salam celana dalam. Bye!”

Agam memasang kembali helmnya dan menyalakan mesin motornya, meninggalkan Inggit yang terdiam terpaku.

Lagi-lagi Inggit mengusap wajahnya secara kasar. “Kayak peramal aja dia! Apa dia sekarang sudah menjadi peramal? Hah, kenapa juga harus memikirkan dia lebih, lupakan itu,” gumam Inggit melangkahkan kakinya.

Inggit mulai mengendap-endap mencari tempat duduk yang aman, ia melihat salah satu sofa, dan duduk di sana. Sambil terus mengamati suaminya. Ia seakan enggan untuk membuntuti suaminya, karena ia enggan menerima kenyataan.

Namun, rasa penasaran mendorong dirinya untuk tetap bersikukuh untuk menjadi mata-mata dadakan.

“Maaf, bisa saya tahu di mana kamar Pak Arya dan calon istrinya? Kebetulan kami sudah janjian untuk membahas pernikahan, saya dari pihak pelaminan.”

“Oh, Pak Arya barusan sudah naik ke kamar nomor 212.”

‘Kayaknya angka ini cukup familiar deh?’ batinnya.

Inggit tersenyum lebar, bukan tentang angka 212. Namun, sandiwaranya bisa mengelabui, tidak sulit untuk membuntuti suaminya.

Tubuh yang tak berhenti bergetar, kuat tak kuat ia harus menerima apa yang akan dilihatnya nanti. Sebuah jawaban yang menentukan masa depan rumah tangganya. Meski ia dengan berat hati akan menjadi seorang janda. Lagi pula menjadi janda lebih menggoda kata – kata itu sedikit mendongkrak keberaniannya. Meski dalam langkahnya Inggit masih berharap tuduhannya tak berdasar sama sekali.

“Siapa tahu Arya bersama dengan teman meeting!” kata yang terus membuat hati Inggit kuat sementara ini.

Tubuhnya berdiri tegap, pandangan lurus ke depan hampir tak berkedip. Inggit melihat sepasang manusia saling mesra di kamar penginapan. Suasana koridor juga yang sepi membuat mereka leluasa.

Jleb,

Hati Inggit seperti tak berbentuk lagi, remuk. Ia tak percaya dengan apa yang pandangannya tangkap, seorang pria dengan rakus melahap bibir wanita itu dengan penuh gairah. Tubuh keduanya menempel erat dengan tangan menjamah bagian lainnya.

“Mas Aryaaaa,” lirinya. Air mata yang luruh, tak percaya. Air berharga yang sudah penuh di pelupuk mata, dengan kaki yang lemas tak kuat menopang tubuhnya sendiri. Inggit berbalik badan, memilih bungkam membiarkan suaminya bergulat panas dengan wanita lain. Cukup sudah, perbuatan suaminya selama ini ternyata ada sesuatu yang di sembunyikan. Sejak kapan? Sungguh Inggit tak menyangka. Berharap bahwa semua yang terjadi di hidupnya ini hanya mimpi.

Tanpa sadar bulir bening itu lolos, membasahi pipi. Inggit melangkah gontai tak sanggup melihat pangeran hatinya mendua. Detik itu juga dengan perasaan hancur. Inggit meruntuhkan cintanya untuk Arya.

**

Setelah Inggit menangkap basah suaminya sore itu. Inggit terus saja menangis, sampai saat ini. Membuat tetangga sebelah rumahnya Bu Rohaya yang sedang menonton televisi di rumah. Merasa terganggu.

“Nggit, bisa pelan sedikit gak volume nangisnya!” Bu Rohaya berteriak sekeras mungkin melangkah keluar dari rumahnya.

Inggit terkejut, mendengar suara Bu Rohaya terdengar melengking. Ia mencoba menenangkan dirinya, menyeka air matanya. “Maaf Bu.”

“Emang kamu nangis kenapa lagi sih! Nangis terus!” Bu Rohaya berkecak pinggang di hadapan Inggit yang masih duduk di pojokkan teras rumahnya.

“Mas Arya selingkuh, Bu! Hiks.”

“Wajarlah! Ibu yang rajin gini aja masih di duain, apa lagi kamu, sudah malas, pengangguran, bisanya minta uang untuk bayar CODan.”

Jleb,

Inggit tersentak, lagi sedih seperti ini bukan mendapat sport malah mendapat semburan naga betina yang sedang murka. Ia merasa tak sanggup lagi untuk melanjutkan hidup ini.

“Ibuuu! Hiks.” Inggit menangis tergugu.

“Waduhh, kamu ... Ibu ini tetanggamu bukan Ibumu, udah-udah jangan nangis lagi.” Bu Rohaya kebingungan melihat Inggit yang terus merengek layaknya anak kecil. Memeluk erat tubuhnya.

Hingga akhirnya Bu Rohaya iba. Lalu, membawa Inggit ke dalam rumahnya, untuk menenangkan wanita yang baru saja menjalin hubungan rumah tangga yang masih seumur jagung. Bu Rohaya juga bercerita bahwa menjadi seorang ibu muda bukan perkara gampang apalagi sekarang zaman pelakor.

Setelah Bu Rohaya pulang. Tak terasa bulir bening itu kembali jatuh. Padahal ia sudah mencoba melupakan semua yang ia lihat, dan mendapat motivasi dari Bu Rohaya supaya tegar menghadapi batu sandungan ini.

“Siapa wanita itu mas?”

Inggit merebahkan tubuhnya, menoleh kiri-kanan, sekelebat pikiran tentang Agam kembali terungkit. “Kenapa ramalan Agam benar? Siapakah Agam sebenarnya? Siapa?”

Inggit mengusap wajahnya dengan kasar. “Kenapa aku harus mikirkan Agam!”

Suara klakson mobil terdengar di liriknya jam yang menempel di dinding kamarnya.

“Astaga sudah jam sebelas?” Inggit bergegas beringsut turun dari berbaringnya menahan air matanya. Lalu membukakan pintu untuk suami hidung belangnya.

Dilihatnya Arya sudah keluar dari mobil, wajahnya lelah sangat kentara terlihat.

“Kenapa belum tidur sayang?” tanya Arya seakan tak terjadi apa-apa. Inggit hanya membalas dengan menggelengkan kepala.

Rahang Inggit mengeras karena teringat kejadian yang ia lihat di penginapan itu. Sakit hati Inggit seakan tak tertahan. Melihat Mas Arya berjalan ke kamar tanpa rasa bersalah. Ingin rasanya menghantamkan balok kayu tepat di tengkuk lelaki yang masih sah menjadi suaminya.

Hati istri mana yang tidak hancur? Apalagi di depan mata melihatnya? Tangan Inggit meremas piyamanya, rahangnya kembali mengeras, air mata yang ditahan sedari tadi turun deras.

‘Tidak aku sangka! Permainan yang kamu buat sungguh cantik, Mas ... atau aku yang tidak tahu diri, berharap lebih bahwa kamu adalah lelaki yang tidak neko-neko! Cinta tulus itu ternyata bulshit!’ Inggit menangis pilu.

Terdengar derap langkah menuju dapur, cepat-cepat Inggit mengusap air matanya kembali.

“Sayang ... sayang sedang apa? Masak nasi goreng ya?” tanya Arya yang baru saja selesai mandi dan berganti pakaian, siap-siap untuk tidur.

‘Hah, nasi goreng? Kamu yang aku goreng mas, mau?’ batin Inggit berapi-api.

“Iya, aku lagi mau masak nasi goreng, sayang.” Inggit tersenyum hambar.

“Tapi kok seperti habis nangis? Matamu juga sembab.” Arya menatap lekat-lekat istrinya.

“Eemm, aku ... i-ini tadi ngiris bawang.”

Arya mengedarkan pandangan, menyelidik sekitar dapur tidak menemukan barang bukti. “Kok udah pinter bohong?”

“Pinter bohong apa Mas?”

“Sudah, kamu ngaku aja? Kamu nangis kenapa? Sini-sini curhat sama Mas? Apa sayang, kangen teman lama, atau kangen ibu, atau teringat apa? Kok bisa sedih gitu.”

‘Enggak ke balik Mas? Yang pintar bohong itu kamu Mas? Kamu pintar bohongin aku!’ suara hati Inggit membara.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yung
jangan cuma hanua suara hati nggit,bilangin yg benar nanti kamu aja yg makin sakit dia mna tau
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lu yg cengeng mn perlu org diblg peramal
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   laporan mata-mata

    Arya menarik pinggang Inggit merapatkan tubuhnya. “Utututu ... masa sih ngiris bawang. Pekerjaan kantor mulai menumpuk, dan ada masalah yang sering membuat meeting dadakan. Jadi, maaf kalau akhir-akhir ini belum bisa mencintaimu sepenuhnya. Soalnya harus jaga stamina untuk menyelesaikan proyek lemburan dan meeting.” ‘Stamina untuk lemburan dan meeting atau buat memuaskan selingkuhanmu mas!’ batin Inggit. Inggit tersenyum kecut. Tentu saja batinnya benar. Suaminya sedang butuh stamina lebih, untuk menggarap selingkuhannya. Dasar lelaki! Hidung kelabang. Ehk, belang! “Iyaa, gak apa kok. Yang penting mas sehat aja udah alhamdulillah.” ‘Sial! Kenapa bisa aku menjadi wanita polos. Tidak bisa mengungkapkan bahwa dirinya sudah selingkuh! Dasar lelaki setan, yang penuh dengan tipu daya!’ ** Inggit membuka matanya, tangannya ingin bergerak meraba sebelahnya akan tetapi sudah tak ada. Dilirik jam yang ada di dinding, masih jam setengah enam pagi. “Apakah rajin dalam bekerjanya selama ini,

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   labrak, jambak!

    “Di mana, mana hatiku senang.”“Jangan bercanda deh, kamu!” Inggit membentak. “Iya udah aktifin kamera kalau kamu tidak percaya.”Inggit mengernyit. Seketika pikirannya curiga karena Agam orangnya sering nyeleneh. “Tapi jangan nunjukin yang macem-macem ya! Nanti kamu kayak oknum yang gak bertanggungjawab itu? Tiba-tiba VC, langsung nunjukin kemaluan.”Agam tertawa lepas. “Iya enggak lah, emang aku lelaki apaan. Aku jomblo gini masih punya harga diri kali. Tapi kalau kamu mau liat ya gak apa?” guraunya. “Iihh, kamu ....”“Mau liat enggak?” “Liat apa?”“Gimana sih kamu! Hah, dari dulu kamu itu memang rada bego.” Agam mengaktifkan kamera untuk beralih panggilan video. Terlihat di layar ponsel Inggit, lelaki yang ia sayang menggandeng wanita lain. Sangat wajar apabila Inggit kesulitan melihat sisi terang atau sisi positif dalam kepelikan atau persoalan yang sedang ia hadapi. Apalagi jika permasalahan yang ia hadapi tersebut sampai membuat hatinya ‘hancur’ berkeping-keping, menjadi par

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   pertunjukan panas

    “Ets, jangan gegabah dong! Santai!” cegah Agam. Mereka mengatur siasat, untuk tetap di belakang kerumunan mematai Arya. Pelaku tak akan memperhatikan orang di sekitar karena ia lebih fokus dengan wanita yang sedari tadi ia gandeng dengan mesra. Ia sedang dimabuk cinta. Seakan dunia miliknya sendiri orang lain hanya mengontrak. “Babi!” Mata Inggit berapi-api. Menyaksikan pertunjukan panas ini. “Guling!” celetuk Agam asal. “Apaan sih, kamu gam!” Inggit mencubit kesal Agam. Sementara Arya semakin asyik bercengkerama akrab, saling melempar senyum bahkan tak segan wanita itu mengusap wajah lelaki yang masih berstatus suami orang lain. Jelas saja ini tontonan yang membuat semakin panas rasa hati Inggit. Semakin kuat pulalah cubitan yang diterima Agam.“Lebih baik kita pulang, bukan hati kamu aja yang bakalan hancur lama-lama menonton pertunjukan ini. Tapi, kulitku juga!”“Aku masih ingin melihat pertunjukan ini,” jelas Inggit mencubit kembali Agam. “Awww! Sakit tauk.”Inggit tidak mem

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   Kena Batunya

    “Oh, makasih udah support Mas, ya sayang.” Pip. Sambungan langsung ditutup. Arya tersenyum bangga karena istrinya bisa dikibuli dengan mudah. Ia masuk ke dalam kamar hotel setelah mengunci pintu rapat. Hotel mewah yang dipesan hanya untuk menyalurkan hasrat liarnya yang berlimpah ruah. Mungkin kalau uang membayar hotel untuk beli sabun, bisa penuh sabun satu kamar. (Bisa stok untuk setahun) Tak butuh waktu lama Arya langsung menyerbu Anya, berawal dari pergerakan kecil, seperti pagutan yang di penuhi decapan-decapan.waktu yang bergulir keduanya terlihat semakin panas begitu pun Arya yang terlihat sangat perkasa tiada henti membubuhkan bercak hangat di leher jenjang milik lawannya. Ketika Arya menyesap sedikit kulit mulus leher jenjang Anya, wanita itu menggelinjang bag cacing kermi. Jemari Arya juga tidak lupa bergerak menekan Anya, terasa tubuh Arya yang semakin berkeringat, membuat Anya tak kuasa. Arya masih menikmati Anya dengan liar. Lalu, perlahan bangun penuh dengan kebin

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   penyadapan

    Seminggu berlalu, gelagat Arya semakin berubah. Inggit pun tetap seolah baik-baik saja, tidak mempertanyakan tentang kenakalan suaminya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23:00 malam. Sekarang Arya sibuk dengan ponselnya yang beralasan pekerjaan.Anehnya kalau pekerjaan, masa sih, malah senyum-senyum sendiri. Ketahuan bohongnya. Inggit geleng-geleng kepala melihat Arya yang semakin gamblang belangnya. Apakah rumah tangga ini sudah tidak bisa dipertahankan? ‘Kalau gak inget pesen Agam, sudah aku rebut Mas hape kamu,’ batin Inggit. Dadanya bergejolak, amarah seakan memuncak.“Tidur aja duluan sayang, Mas masih sibuk,” ujar Arya tanpa menoleh sibuk dengan layar ponselnya yang menyala.“Aku nunggu di peyuk kamu Mas, baru bisa tidur. Kerjaan besok lagi Mas, bukannya kamu besok harus interview karyawan baru?”“Tanggung ini dikit lagi, lagian ada kopi. Jadi, gak terlalu ngantuk,” kilah Arya. ‘Kopi? Kopi atau selingkuhan Mas. Jelas aja betah, orang kamu itu bukan mengerjakan lapora

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   bukan pecinta buaya

    Menjelang sore, Inggit mendapatkan telepon dari Agam. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Mereka mulai melakukan penyelidikan layaknya detektif. Memata-matai sebuah kafe yang didatangi oleh Arya. Sedikit info, Inggit mengetahui semua pergerakan Arya yang akan bertemu dengan Anya di kafe ini lewat penyadapan wh***app. Setelah menunggu beberapa lama dari kejauhan. Terlihat mobil Arya yang memasuki kawasan kafe. Inggit seperti waktu lalu, ia melakukan penyamaran dengan menggunakan kaca mata hitam, syal dan berjilbab. Karena Inggit tidak pernah berhijab. Sedangkan Agam mengenakan topi dan kaca mata hitam. Mereka mengambil posisi duduk berdekatan dengan target. Agam memesan kopi latte art untuk kami nikmati. Dengan posisi tepat membelakangi suaminya. Maka dengan jelas ia bisa menangkap apa saja pembicaraan target dengan jelas. “Mas sudah baikan itunya?” tanya Anya. “Sudah dong! Sudah bisa kok meluluhlantakkan dek Anya.”“Huh, Mas bisa aja ... Mas adek mau beli hape baru lagi. Masa kemarin

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   tukang palak dipalak

    Mobil meluncur menuju tujuan yang sudah Inggit share lokasi. Dalam perjalanan ia terngiang-ngiang dengan ucapan Agam. Membuatnya geleng-geleng kepala. Kalau dipikir-pikir Agam adalah lelaki yang tergolong unik! Walaupun ia sering ngaco tapi cerdas, baik, dan juga dewasa. Seketika senyumnya luntur saat kedua bola mata cantiknya, melihat wanita panu itu sudah duduk di kursi. Wajahnya bahagia seperti mendapatkan giveaway novel satu truk. Padahal siksaan akan segera dimulai.“Hallo, Mbak Anya? Maaf kalau menunggu lama.”“Ini Mbak yang nelepon saya itu?”Inggit menjabat tangan Anya. “Benar sekali! Perkenalkan ... saya ... Rohaya ... ia itu nama saya, Rohaya.”Anya mengernyitkan dahi, sedikit ada kecurigaan.‘Dih, sial! Kenapa aku gak brifing dulu tadi sama Agam tentang nama siapa yang pas untuk penyamaran ini. Untung saja aku ingat nama tetangga.’Setelah puas berbasa-basi dan berbincang ria. Inggit seharusnya segera to the point. Namun, ia masih ingin bermain-main dahulu. Mengulur waktu.

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   Niat terselubung

    Air mata berduyun-duyun hampir jatuh membasahi pipi. Ada rasa nyeri di hati, andai waktu bisa diputar kembali, Inggit ingin Arya masih seperti dulu. Tak pernah marah, dan sekasar ini. Semenjak perselingkuhan itu, Arya terlihat sudah berubah. Inggit memojokkan suaminya itu, suatu tanda kode keras. Tak lebih. “Aku tahu Mas, aku bukan istri yang baik ... aku ... aku—“ Inggit tak bisa lagi melanjutkan kata-kata. “Maaf, sayang,” ujar Arya memeluk istrinya. Inggit mendorong tubuh Arya. Ia berusaha menutup semua sesak di dada. Sungguh Inggit tak berniat untuk melawan kepala rumah tangga. Sekali lagi Inggit terpaksa. “Iya sudahlah Mas, lupakan itu.”“Maaf ya sayang, Mas beneran capek kerja, untuk memenuhi kebutuhan kita.”Inggit sesak dalam hati. Bagaimana tidak! Percuma kebutuhan terpenuhi tapi hati suami tak dimiliki lagi. Lagi pula, bukankah separuh uangnya untuk menyenangkan selingkuhannya. Inggit tidak sepolos, bodoh, dan mudah tertipu seperti dulu. “Ya Mas. Mas sudah makan?” tawa

Latest chapter

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   Suasana hangat

    Pisau yang ingin tertancap di dada Inggit semakin menekan. Untungnya, Agam terlebih dulu mendorong tubuh Inggit dan melepaskan pisau itu. PRANG!Agam segera menjauhkan pisau itu dengan bantuan kakinya. Agam memeluk erat tubuh Inggit yang rapuh. “Baiklah! Aku percaya. Aku akan membantumu. Aku mohon jangan seperti ini. Inggit yang aku kenal tidak mudah patah semangat.”Nafas Inggit tersengal. Walau dadanya terasa sakit, tapi usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membuat Agam percaya. Akting Inggit tak sampai di sini, dirinya langsung berpura-pura pingsan, dan menjatuhkan tubuhnya di dada Agam. Agam yang sigap, langsung menuntun tubuh Inggit ke ranjang. Lalu, berlari menuju pintu. Dia berteriak meminta tolong kepada dokter. Inggit tersenyum senang menatap punggung Agam. Semua sudah Inggit rencanakan dengan matang. Dia akan membalas setiap luka dari Arya. Ia tak bodoh seperti dulu, terlalu baik untuk melupakan

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   melukai dadanya

    Tak jauh dari Inggit berdiri, mobil berhenti mendadak.“Dia pingsan.” Temannya ikut melihat wanita itu dari spion mobil. Mengerling jengah! Tentunya sangat malas mengikuti pola pikir Agam yang terlalu manusiawi. “Waktu....”Agam tetap setia menginjak pedal rem mobilnya. Sementara terlihat jelas lelaki yang ada di sebelahnya, tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menolong wanita yang dianggap gila itu. “Emang Inggit itu siapa? Apa kamu mengenal nama itu?”“Hah, sudah tidak usah mengulik masa lalu seseorang, di sana ada luka yang cukup dalam. Sangat kentara menyakitkan.”Teman Agam tersenyum remeh, “Malah, puitis.”Mau tidak mau, Agam melaju dengan kecepatan pelan. “Waktu, Gam! Rapat tentang membuka cabang kedai akan segera di mulai, apa kamu mau membuang kesempatan ini!”Agam masih terpikir bila itu benar Inggit. Meskipun bukan Inggit, hatinya sangat berat bila tak menolong, meni

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   kembali ke kota

    “Bu Sari, nyuruh aku sembunyi.”“Kenapa?”“Itu Pak masalahnya, aku gak tau pasti,” ucapku lirih. “Ibu Sari ada bilang apa lagi?” Inggit hanya menggeleng. Pria itu mencoba menenangkan Inggit dengan mengelus pelan pundaknya. Ada sedikit rasa tertolong karenanya. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengabarkan bahwa keadaan Ibu Sari mulai membaik. Hanya, memang masih butuh perawatan, sehingga harus menginap untuk beberapa waktu ke depan. “Tenang, Bu... Ibu tidak boleh banyak gerak dulu,” ucap seorang dokter yang kemudian menyusul keluar. “Terima kasih, Dok,” seru Inggit yang baru saja tiba. Dokter hanya membalas anggukan dan pamit berlalu. Inggit dan pria paruh baya itu menghampiri keadaan Ibu Sari. Dan Ibu Sari sempat bercerita singkat tentang tragedi yang sedang menimpa ini adalah suruhan Arya. Arya yang sudah mengetahui bahwa Inggi

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   tak terduga

    Dengan cepat Denny merebut bungkusan keresek. “Mas,” bentak Inggit. “Ini masih basah.” Inggit mendengus. Lalu, ia keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Perkataan tentang acara pernikahan itu membuat ia menyelidik. Ingin melihat dekorasi yang dikatakan Pak Djarot. Memang terlihat dekorasi itu terlihat sederhana membuat Inggit terenyuh, apabila semua rencana yang telah Pak Djarot persiapkan ini akan gagal. Inggit gelisah, bagaimana dengan dendamnya kepada sang suami, ia buru-buru meninggalkan rumah ini. Setelah sampainya di kebun tomat yang lumayan jauh dari rumah. Entah mengapa air mata Inggit menetes bila merasakan kekecewaan Pak Djarot bila mengetahui semua ini adalah setingan semata. Hampir dua jam lamanya, Inggit terjebak dalam pikiran kalutnya. Barulah setelah sedikit tenang Inggit mencoba bersabar menarik keinginannya. Namun, seketika Inggit kembali ke rumah itu tampak gelap. Padahal adzan maghrib sudah hampir satu jam lalu. Saat Inggit mende

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   janda kota dan janda desa

    “Maksud Mas, bukan ... iya benar, Mas salah. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat!” Inggit kembali maju mendekati Denny. Kini jarak mereka tak lebih dari satu meter. Inggit mendongak untuk melihat wajah Denny yang menyiratkan rasa penyesalannya. “Mas tau sebagai lelaki harus bertangungjawab, tapi Mas hanya mencari istri yang mau tinggal bersama ayah saya. Dengan segala sikap ayah saya.”“Banyak alasan, memang kenapa dengan wanita janda? Jangan mau nidurinnya aja?” Inggit menaikkan dagu tanpa mengalihkan tatapan. “Inggit....”“Jangan pernah meremehkan seorang janda, janda juga bukan hanya untuk sekadar tepat Mas memuaskan nafsu. Dan saya juga kelak akan menjadi janda, saya tahu perasaan wanita itu, Mas.”“Inggit, maksud Mas bu....”“Udah, ah. Aku beneran gak betah tinggal di sini, aku udah capek ikutin rencana ini.” Inggit berbalik menuju kamar mandi.

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   jangan mau enaknya saja

    Inggit terdiam. Sendoknya yang sudah nyaris sampai ke mulut kembali turun. “Iya, Bu ... terima kasih sudah mengingatkan,” balas Inggit dengan raut muram. “Bagaimana dengan tujuanmu yang kemarin?”“Aku tidak akan berubah pikiran, aku akan tetap untuk ke kota kelak ... bila waktunya sudah tiba,” balas Inggit. “Nak, jangan sampai menceritakan masa lalu kamu dengan siapapun? Dan jangan bertindak ceroboh, kasihan Pak Djarot bila tau semua ini....”Suara deretan langkah di lantai, membuat Inggit dan Bu Sari langsung terdiam. “Pak Djarot,” bisik Bu Sari. Ia lalu berbalik dan melihat Pak Djarot baru menyibak tirai pintu. “Pak, rendangnya sudah masak. Sudah saya pisah buat Bapak.” Bu Sari berdiri menuju lemari mengambil piring yang sudah dipisah. Matanya melebar ketika Pak Djarot duduk di kursi dan melipat tangannya memandang Inggit. Inggit terdiam. Pak Djarot sekarang duduk berhadapan dengan tatapan yang resah. Inggit mel

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   kemanjaannya muncul

    Inggit mengernyit dahi. Ia mengenali mimik wajah Denny yang sudah mulai mesum. Lidahnya pun keluar membasahi setiap sudut bibirnya yang terasa kering. “Hallo, Bu ... aku lagi sibuk, maaf ... duh sinyal juga jelek ... gak kuat sinyalnya. Sebentar aku cari sinyal dulu.” Denny tetap meletakkan ponselnya di pipi dan melangkah menuju pintu. “Mas aku jadi makan di sini aja, deng! Tolong ambilin ya, aku masih lemas banget nih,” unar Inggit memelas. Seraya melemparkan tatapan memohon. Denny berhenti dengan tangan sudah berada di knop pintu. Satu tangan lagi melihat layar ponsel yang masih tersambung. “Tadi katanya—““Duh, aku lemes banget Mas.” Inggit menarik selimut dan meringkuk. “Sebentar, ya.” Denny menggeser ponselnya sedikit jauh, supaya Bu Patmi tidak terlalu jelas terdengar percakapannya. “Lapar Mas, dingin.” Inggit mengeluarkan nada seperti orang yang kedinginan. Bergetar. Inggit merasa D

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   menatap nakal

    Terdengar suara pintu terbuka. “Aku kira udah selesai,” kata Denny. “Cepet buat teh buat istri kamu,” perintah tukang urut. Inggit sibuk menarik sarung yang sudah melorot untuk menutup bagian dadanya. Tak lama kemudian, Inggit dikerok oleh mbah urut, dan Denny datang dengan segelas teh hangat. Inggit melirik Denny yang meletakkan teh di sebelahnya. Mata Denny berkedip nakal pada Inggit sesaat Mbah urut berkata, “Den, liat punggung istrimu merah semua.” “Iya, Mbah, biar nanti aku oles dengan minyak angin nanti malam.” Denny menatap pemandangan punggung Inggit. Denny lelaki biasa, melihat itu membuat darahnya berdesir, hangat. “Kalau gitu, aku keluar dulu ya, Mbah,” pamit Denny. Inggit hanya terdiam pasrah, sesaat tubuhnya menjadi pemandangan untuk Denny. Sepulang tukang urut, Denny menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Inggit, berharap wanita itu berselera makan. “Aku masuk, kamu udah pakai baju belum,” seru Denny di depan pint

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   setengah bugil

    “Apa iya, Den?” tanya Mbah urut memecahkan pikiran Denny yang termenung. Denny menggelengkan kepala seakan menolak keluar kamar. “Tuh, suami kamu katanya tidak sibuk.”“Kata Pak Djarot kamu di suruh belah kayu,” tegas Inggit sembari membenarkan sarung yang membalut tubuhnya. Wanita paruh baya itu menatap Denny yang tak lepas memandang tubuh Inggit, celananya juga terlihat mengembung. “Pengantin baru emang seperti itu, terkadang udah gak tau waktu, tuh istrimu sampai demam,” kata Mbah urut tersenyum kepada Inggit dan Denny. Denny membenarkan celananya. Dia menggelengkan kepala mengusir pikiran nakalnya. “Iya, Mbah ... Eh, iya aku ada kerja ... kalau begitu aku permisi dulu,” ucap Denny terburu-buru keluar kamar takut tersulut gairahnya yang mulai bergelut di dalam darahnya. Brutal.Setelah Denny keluar menutup pintu, Inggit duduk kasur yang sudah dibentang oleh Denny barusan. Tangan meraba pengait bra untuk melepas

DMCA.com Protection Status