“Sarapan dulu mas?” tawar Inggit berusaha biasa saja. Seolah tak perlu mengingat-ingat kejadian kemarin. ‘Jika nanti semua harus menjadi kenangan, jangan sampai merindukan semua ini, atau aku yang hanya seorang istri yang berharap lebih, hingga mengenal kata kecewa. Tertampar habis-habisan oleh pengihanatan,’ batin Inggit lirih, karena kenyataan tak seperti yang ia bayangkan. Sementara Arya memandangi penampilan istrinya, pagi ini Inggit sudah bersiap diri tampil sempurna dengan bous putih berenda dan rok slim skirt merah, blazzer hitam ia sampirkan di sofa.Setelah Arya sudah bersiap pergi kerja ia baru menyadari penampilan istrinya. “Eh, sayang mau ke mana sudah rapi gitu? Tumben.”“Aku mau kerja, bosan di rumah terus, Mas! Cuma berharap gaji suami.”Arya tak berhenti memandang Inggit tak percaya. Sapuan make up di wajah istrinya. Terlihat menggoda. “Kerja apa? Jangan aneh-aneh, sayang.”“Siapa yang aneh Mas?”“Kamu itu, sekarang benar-benar kelewatan ya!” bentak Arya. Mulai terp
“Sabar, Mas ... maksudnya membutuhkan dalam katagori tenaga kerja,” sangkal Agam tersenyum mengejek. Arya memalingkan wajahnya, lalu melirik arlojinya. “Kalau begitu aku pamit dulu.” Mata Inggit memerah mendengar kalimat suaminya. Ia berharap Arya tak membiarkan dirinya untuk bekerja. Jadi, apa maksudnya ia marah barusan, bila meninggalkan istrinya begitu saja. “Ngeselin Mas Arya, iiih.” Inggit mengentakkan kakinya. Usai kepergian Arya. Inggit memasang wajah kecut. Ia sudah berniat akan pergi dan tak menunjukkan wajah di hadapan pria ini, lagi pula ada urat malu untuk terus meminta pertolongan. “Apa yang bisa aku bantu? Kamu merencanakan apa buat lelaki bajingan itu!” suara berat Agam terdengar. “Emm—“ “Ayo masuk,” potong Agam mempersilahkan Inggit memasuki restoran. “Tidak usah,” tolak Inggit. “Aku mau pulang aja!” “Kenapa? Aku akan membantu kamu! Kamu kan juga bilang kalau aku tidak membantu setengah jalan. Dari pada kamu pulang hanya membuang air mata.” Inggit menelan sal
Inggit berdehem sejenak, memecahkan lamunan Agam, membuat lelaki itu tertunduk malu. Setelahnya Inggit persilahkan buat Agam duduk di ruang tamu. Ia mengangkat tangan mengurai rambut panjangnya yang masih basah. Mendadak Inggit dibuat terkejut tatkala melihat Agam yang mendadak menelan ludahnya saat melihat Inggit yang melangkah untuk menyelesaikan membersihkan diri. Yang mengherankan, lelaki itu menunjukkan wajah yang ingin dijamah oleh wanita.Inggit mengatur nafas. Nalurinya sudah mengajak untuk langsung menggarapnya. Bagaimana pun Inggit juga sudah lama tak dijamah oleh suaminya. Namun, Inggit harus ingat. Ia bukan wanita seburuk itu. “Gam, enggak apa-apa?” Inggit bertanya secara perlahan. Agam tidak menjawab. Dia hanya menyoroti tubuh Inggit dengan pandangan yang nakal. Yang anehnya, lelaki itu langsung berpamitan pulang. Inggit hanya geleng-geleng kepala. Melihat temannya itu, entah apa tujuannya barusan bertamu. Tak harus memikirkan lebih lanjut, Inggit bergegas melanjut
“Cukup Mas, tidak usah seperti otak dangkal, kamu bisa merusak reportase kamu sendiri bila kelakuanmu seperti ini!” Inggit angkat bicara. Arya mengatur napasnya. Tak lama kemudian melangkahkan kaki menjauh dari mereka berdua setelah membuang goloknya. Agam pun tak memedulikan Arya. Ia beralih menatap Inggit yang gemetar setelah kejadian yang dibuat oleh lelaki hidung belang. Yang tak tahu diri. “Enggak usah takut. Sekarang sudah aman.” Agam menghampiri Inggit. Mendekapnya. Merasakan bulatan ranum yang menempel ketat di dadanya. Agam terhenyak. Sekarang bukan saatnya berpikir yang kotor. Inggit sedang rapuh karena telah dikecewakan oleh suaminya sendiri. Tidak seharusnya Agam mengambil kesempatan dalam kesempitan. Inggit memandang ke arah Agam lekat-lekat. Pandangannya seorang wanita yang membutuhkan perlindungan. Sebagai laki-laki Agam harus memberikan rasa nyaman dan perlindungan. Namun, Inggit juga tengah menyelami mata lelaki itu. Mencari-cari apakah ada niat tersembunyi dari
Di rumah Desty, orang yang melahirkan Inggit. Bisnis Inggit tetap terus berjalan. Walau banyak pikiran kalut yang mendera dirinya. Bagaimana pun uang harus tetap terus mengalir. Setidaknya untuk tabungan membuktikan bahwa Inggit juga bisa hidup tanpa biaya bulanan dari suaminya. Bahkan malah melebihi Arya yang lupa diri itu. Inggit percaya diri karena sebulan berlalu kini penghasilannya sudah hampir mendekati jatah bulanan waktu masih sering diberi oleh Arya. Dari rumah ini, Inggit masih terus memantau gerak gerik mereka dari CCTV yang Inggit sambung ke layar ponselnya. Maka terlihatlah kegiatan mereka. Anya tidak sungkan bergerak layaknya tuan rumah. Bahkan sampai bercumbu di mana pun. “Dasar laknat! Mengotori rumahku saja, emang sudah gak punya otak mereka!” cicit Inggit. Amarahnya mencuat saat melihat banyak tentengan belanjaan di tangan perempuan itu. Rupanya mereka habis belanja bersama. Padahal dahulu Inggit top up di platform novel saja, Arya tiga hari marahnya. Sebelum Ary
“Joko Tingkir ngumbe dawet, ojo dipikir marai mumet,” ujar Agam, sambil bernyanyi.“Iiih, apaan sih, Gam!” Inggit memonyongkan bibirnya. “Gimana caranya?”“Itu urusanku. Kita harus mengambil langkah yang cepat, Inggit. Kalau tidak kamu akan dipermainkan terus dengan mereka.”Inggit terdiam. Jantungnya berhenti berdetak seketika mendengar ucapan Agam. Bukan karena tak tega dengan apa yang akan terjadi dengan suaminya. Namun, terharu dengan Agam yang selalu ada membantu dirinya. Bahkan menghiburnya. Perlahan air matanya jatuh. Lelaki tak terlalu tampan itu, selalu memberi Inggit dukungan. Masih Inggit ingat saat awal ia curhat. Lelaki itu benar ada untuknya, tak terbayang bila semua ini tanpa Agam. Mungkin Inggit hanya menjadi bulan-bulanan suami hidung Belang. “Terima kasih, selagi lagi, aku tidak bisa membalas kebaikanmu, Gam,” kata Inggit sembari menangis. Dengan lembut Agam mengusap air mata Inggit yang menetes di pipi.“Percayalah, aku ikhlas membantu kamu. Banyak berdoa untuk m
“Tolongin Mas rubah posisi. Mas gak kuat, capek gini terus.”Inggit menghela napas panjang. Bukankah itu posisi yang diimpikan mereka. Selalu bersentuh setiap saat! Karena Inggit masih memiliki hati nurani, ia merasa iba terhadap mereka. Tanpa harus menjawab, Inggit langsung berdiri di sisi ranjang. Lalu mendorong dengan sekuat tenaga hingga posisi mereka sudah berubah. Kali ini posisi wanitanya yang di atas. “Jangan gini, dong! Miring saja, sayang.”Inggit kembali menghela napas panjang. Ia mendorong tubuh mereka. Kali ini sengaja mendorongnya kuat hingga terguling hampir jatuh dari ranjang. Arya memanggil, begitu juga Anya. Inggit tak memedulikan mereka. Ia langsung lari keluar. “Mbak, tolong aku hampir jatuh,” teriak Anya. Inggit tidak menghiraukan teriakannya. Ia sempat menoleh, tubuh Anya setengah menggantung di tepi ranjang sebelah kanan. Namun, Inggit membiarkannya.Inggit langsung me
“Mbak, jangan bikin malu aku dong, nanti aku gimana nih. Duh, Mbak hapus aja dong.”“Halah, sudah terlanjur. Lagian ini suatu upaya untuk banyak orang yang tau apa yang terjadi. Siapa tau mereka bisa memberi solusi. Kalian mau lepas gak, sih? Apa kalian mau mati?”Mereka terdiam. Tidak ada protes. Tak lama dari itu, ponsel Inggit berdering. Begitu juga ponsel mereka yang ada di atas nakas. Panggilan demi panggilan masuk silih berganti. Suara riuh dari luar rumah juga mulai terdengar. Sebelum Inggit keluar kamar untuk memeriksa ia mengamankan ponsel Arya dan Anya.Inggit tak menyangka aksinya, barusan live. Ternyata mengundang beberapa orang di luar, yang ingin membantu atau sekadar ingin melihat secara langsung tontonan yang langkah. Terdengar juga ketukan pintu. Setelahnya salam yang diucapkan terdengar lantang. Membuat Inggit mendekat ke pintu. Suara Bu Rohaya. “Nggit? Ada apa lagi dengan suamimu?” Bu Rohaya langsung menyerobot masuk setelah pi
Pisau yang ingin tertancap di dada Inggit semakin menekan. Untungnya, Agam terlebih dulu mendorong tubuh Inggit dan melepaskan pisau itu. PRANG!Agam segera menjauhkan pisau itu dengan bantuan kakinya. Agam memeluk erat tubuh Inggit yang rapuh. “Baiklah! Aku percaya. Aku akan membantumu. Aku mohon jangan seperti ini. Inggit yang aku kenal tidak mudah patah semangat.”Nafas Inggit tersengal. Walau dadanya terasa sakit, tapi usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membuat Agam percaya. Akting Inggit tak sampai di sini, dirinya langsung berpura-pura pingsan, dan menjatuhkan tubuhnya di dada Agam. Agam yang sigap, langsung menuntun tubuh Inggit ke ranjang. Lalu, berlari menuju pintu. Dia berteriak meminta tolong kepada dokter. Inggit tersenyum senang menatap punggung Agam. Semua sudah Inggit rencanakan dengan matang. Dia akan membalas setiap luka dari Arya. Ia tak bodoh seperti dulu, terlalu baik untuk melupakan
Tak jauh dari Inggit berdiri, mobil berhenti mendadak.“Dia pingsan.” Temannya ikut melihat wanita itu dari spion mobil. Mengerling jengah! Tentunya sangat malas mengikuti pola pikir Agam yang terlalu manusiawi. “Waktu....”Agam tetap setia menginjak pedal rem mobilnya. Sementara terlihat jelas lelaki yang ada di sebelahnya, tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menolong wanita yang dianggap gila itu. “Emang Inggit itu siapa? Apa kamu mengenal nama itu?”“Hah, sudah tidak usah mengulik masa lalu seseorang, di sana ada luka yang cukup dalam. Sangat kentara menyakitkan.”Teman Agam tersenyum remeh, “Malah, puitis.”Mau tidak mau, Agam melaju dengan kecepatan pelan. “Waktu, Gam! Rapat tentang membuka cabang kedai akan segera di mulai, apa kamu mau membuang kesempatan ini!”Agam masih terpikir bila itu benar Inggit. Meskipun bukan Inggit, hatinya sangat berat bila tak menolong, meni
“Bu Sari, nyuruh aku sembunyi.”“Kenapa?”“Itu Pak masalahnya, aku gak tau pasti,” ucapku lirih. “Ibu Sari ada bilang apa lagi?” Inggit hanya menggeleng. Pria itu mencoba menenangkan Inggit dengan mengelus pelan pundaknya. Ada sedikit rasa tertolong karenanya. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengabarkan bahwa keadaan Ibu Sari mulai membaik. Hanya, memang masih butuh perawatan, sehingga harus menginap untuk beberapa waktu ke depan. “Tenang, Bu... Ibu tidak boleh banyak gerak dulu,” ucap seorang dokter yang kemudian menyusul keluar. “Terima kasih, Dok,” seru Inggit yang baru saja tiba. Dokter hanya membalas anggukan dan pamit berlalu. Inggit dan pria paruh baya itu menghampiri keadaan Ibu Sari. Dan Ibu Sari sempat bercerita singkat tentang tragedi yang sedang menimpa ini adalah suruhan Arya. Arya yang sudah mengetahui bahwa Inggi
Dengan cepat Denny merebut bungkusan keresek. “Mas,” bentak Inggit. “Ini masih basah.” Inggit mendengus. Lalu, ia keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Perkataan tentang acara pernikahan itu membuat ia menyelidik. Ingin melihat dekorasi yang dikatakan Pak Djarot. Memang terlihat dekorasi itu terlihat sederhana membuat Inggit terenyuh, apabila semua rencana yang telah Pak Djarot persiapkan ini akan gagal. Inggit gelisah, bagaimana dengan dendamnya kepada sang suami, ia buru-buru meninggalkan rumah ini. Setelah sampainya di kebun tomat yang lumayan jauh dari rumah. Entah mengapa air mata Inggit menetes bila merasakan kekecewaan Pak Djarot bila mengetahui semua ini adalah setingan semata. Hampir dua jam lamanya, Inggit terjebak dalam pikiran kalutnya. Barulah setelah sedikit tenang Inggit mencoba bersabar menarik keinginannya. Namun, seketika Inggit kembali ke rumah itu tampak gelap. Padahal adzan maghrib sudah hampir satu jam lalu. Saat Inggit mende
“Maksud Mas, bukan ... iya benar, Mas salah. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat!” Inggit kembali maju mendekati Denny. Kini jarak mereka tak lebih dari satu meter. Inggit mendongak untuk melihat wajah Denny yang menyiratkan rasa penyesalannya. “Mas tau sebagai lelaki harus bertangungjawab, tapi Mas hanya mencari istri yang mau tinggal bersama ayah saya. Dengan segala sikap ayah saya.”“Banyak alasan, memang kenapa dengan wanita janda? Jangan mau nidurinnya aja?” Inggit menaikkan dagu tanpa mengalihkan tatapan. “Inggit....”“Jangan pernah meremehkan seorang janda, janda juga bukan hanya untuk sekadar tepat Mas memuaskan nafsu. Dan saya juga kelak akan menjadi janda, saya tahu perasaan wanita itu, Mas.”“Inggit, maksud Mas bu....”“Udah, ah. Aku beneran gak betah tinggal di sini, aku udah capek ikutin rencana ini.” Inggit berbalik menuju kamar mandi.
Inggit terdiam. Sendoknya yang sudah nyaris sampai ke mulut kembali turun. “Iya, Bu ... terima kasih sudah mengingatkan,” balas Inggit dengan raut muram. “Bagaimana dengan tujuanmu yang kemarin?”“Aku tidak akan berubah pikiran, aku akan tetap untuk ke kota kelak ... bila waktunya sudah tiba,” balas Inggit. “Nak, jangan sampai menceritakan masa lalu kamu dengan siapapun? Dan jangan bertindak ceroboh, kasihan Pak Djarot bila tau semua ini....”Suara deretan langkah di lantai, membuat Inggit dan Bu Sari langsung terdiam. “Pak Djarot,” bisik Bu Sari. Ia lalu berbalik dan melihat Pak Djarot baru menyibak tirai pintu. “Pak, rendangnya sudah masak. Sudah saya pisah buat Bapak.” Bu Sari berdiri menuju lemari mengambil piring yang sudah dipisah. Matanya melebar ketika Pak Djarot duduk di kursi dan melipat tangannya memandang Inggit. Inggit terdiam. Pak Djarot sekarang duduk berhadapan dengan tatapan yang resah. Inggit mel
Inggit mengernyit dahi. Ia mengenali mimik wajah Denny yang sudah mulai mesum. Lidahnya pun keluar membasahi setiap sudut bibirnya yang terasa kering. “Hallo, Bu ... aku lagi sibuk, maaf ... duh sinyal juga jelek ... gak kuat sinyalnya. Sebentar aku cari sinyal dulu.” Denny tetap meletakkan ponselnya di pipi dan melangkah menuju pintu. “Mas aku jadi makan di sini aja, deng! Tolong ambilin ya, aku masih lemas banget nih,” unar Inggit memelas. Seraya melemparkan tatapan memohon. Denny berhenti dengan tangan sudah berada di knop pintu. Satu tangan lagi melihat layar ponsel yang masih tersambung. “Tadi katanya—““Duh, aku lemes banget Mas.” Inggit menarik selimut dan meringkuk. “Sebentar, ya.” Denny menggeser ponselnya sedikit jauh, supaya Bu Patmi tidak terlalu jelas terdengar percakapannya. “Lapar Mas, dingin.” Inggit mengeluarkan nada seperti orang yang kedinginan. Bergetar. Inggit merasa D
Terdengar suara pintu terbuka. “Aku kira udah selesai,” kata Denny. “Cepet buat teh buat istri kamu,” perintah tukang urut. Inggit sibuk menarik sarung yang sudah melorot untuk menutup bagian dadanya. Tak lama kemudian, Inggit dikerok oleh mbah urut, dan Denny datang dengan segelas teh hangat. Inggit melirik Denny yang meletakkan teh di sebelahnya. Mata Denny berkedip nakal pada Inggit sesaat Mbah urut berkata, “Den, liat punggung istrimu merah semua.” “Iya, Mbah, biar nanti aku oles dengan minyak angin nanti malam.” Denny menatap pemandangan punggung Inggit. Denny lelaki biasa, melihat itu membuat darahnya berdesir, hangat. “Kalau gitu, aku keluar dulu ya, Mbah,” pamit Denny. Inggit hanya terdiam pasrah, sesaat tubuhnya menjadi pemandangan untuk Denny. Sepulang tukang urut, Denny menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Inggit, berharap wanita itu berselera makan. “Aku masuk, kamu udah pakai baju belum,” seru Denny di depan pint
“Apa iya, Den?” tanya Mbah urut memecahkan pikiran Denny yang termenung. Denny menggelengkan kepala seakan menolak keluar kamar. “Tuh, suami kamu katanya tidak sibuk.”“Kata Pak Djarot kamu di suruh belah kayu,” tegas Inggit sembari membenarkan sarung yang membalut tubuhnya. Wanita paruh baya itu menatap Denny yang tak lepas memandang tubuh Inggit, celananya juga terlihat mengembung. “Pengantin baru emang seperti itu, terkadang udah gak tau waktu, tuh istrimu sampai demam,” kata Mbah urut tersenyum kepada Inggit dan Denny. Denny membenarkan celananya. Dia menggelengkan kepala mengusir pikiran nakalnya. “Iya, Mbah ... Eh, iya aku ada kerja ... kalau begitu aku permisi dulu,” ucap Denny terburu-buru keluar kamar takut tersulut gairahnya yang mulai bergelut di dalam darahnya. Brutal.Setelah Denny keluar menutup pintu, Inggit duduk kasur yang sudah dibentang oleh Denny barusan. Tangan meraba pengait bra untuk melepas