“Suntik mati.”Setelah mengatakan itu, perawat pamit. Inggit dan Bu Rohaya masih saling menatap lalu menoleh ke arah Arya dan Anya. “Aku gak mau mati,” rengek Anya. “Mas juga gak mau mati. Inggit sayang, tolongin Mas. Ini bukan seperti yang sayang liat. Coba ingat-ingat Mas kan sering berikan kamu kejutan, apa gak kangen dengan kejutan Mas selanjutnya.” Arya memelas. “Kejutan? Iihhh, Mas Arya, kamu bikin aku semakin muak! Gak usah merayu, sudah gak mempan sekarang! Itu hukuman buat kamu Mas, siapa suruh aneh-aneh.” Bukannya ditenangkan, Inggit malah membalas dengan sewot. Sayangnya, Mas Arya masih saja mengelak, merasa tidak bersalah, malah meyakinkan bahwa semua ini bukan seperti yang dilihat. Kurang bukti apa lagi? Apa perlu di saat seperti ini Inggit melihatkan bukti-bukti lain? Istri mana yang tidak naik pitam, ingin rasanya Inggit langsung membolehkan dokter suntik mati suaminya. Keterlaluan sekali, lelaki ini! Ma
Tepat saat itu, perawat keluar. Tak memberi tanggapan. Tak lama kemudian, tubuh Arya dan Anya lagi-lagi jatuh. Mereka menjerit kesakitan karena jatuh ke lantai. Inggit yang bingung diam tak melakukan apa pun. Bu Rohaya yang berlari menuju Arya dan Anya. Lalu, segera memanggil perawat. Tubuh Arya dan Anya diangkat kembali ke atas brankar oleh beberapa orang perawat. Selanjutnya, melakukan pemeriksaan. Hasilnya tidak terlalu buruk. Setelah setengah jam berselang, Anya yang masih dalam pengaruh obat penenang, membuat Arya berteriak karena takutnya Anya sudah tidak bernyawa. “Tolong ....” Teriak Arya dari ruangan. Seorang perawat segera lari menuju teriakan. Inggit dan Bu Rohaya hanya bisa menunggu tanpa berani masuk. Lima menit kemudian perawat keluar dengan raut wajah yang menahan tawa. Membuat Inggit tergerak untuk bertanya. “Bagaimana, Dok?” tanya Inggit. “Pasien teriak-trriak ketakutan. Dikira pasien wani
‘Apa ini namanya tisu kiriman gaib yang menjadi sumber masalah di rumah ini, membuat Arya dan Anya gancet?’ batin Inggit. Sang dukun lantas menggenggam tisu tersebut di tangan kirinya, setelah Inggit memberikan tisu tersebut. Lalu, menaruh tisu itu ke atas piring kecil, lalu membaca mantra dan meludahi tisu tersebut.Tidak berselang lama, tisu tersebut terbakar. Asapnya membumbung memenuhi kamar. Melihat Anya dan Arya dibentak karena berteriak, dan terbatuk-batuk. Inggit mencoba menahan napas, begitu juga Bu Rohaya. “Maaf nih Om Dukun, diminta tolong siapa? Kok datang kemari?” tanya Inggit setelah kamar sudah tidak lagi dipenuhi asap. Dukun itu hanya diam, mangut-mangut. Mengelus jenggot dan kumisnya yang panjang. “Ambilkan air satu gelas.”Tak banyak kata lagi, Inggit mau tidak mau menyiapkan minuman seperti perintah Mbah Dukun.Saat Inggit masuk, Mbah Dukun itu sedang mengentakkan telapak tangan ke la
“Lah itu, dukunnya malah kesurupan.”Inggit hanya terdiam melihat apa yang terjadi di atas ranjang. “Tadi, waktu kamu tidur, Mbah Dukun itu datang lagi, katanya disuruh teman kamu. Dia baca-baca mantra. Terus malah kesurupan kayak gitu.”“Haduw, ada-ada aja.”“Terus, itu nasib mereka gimana?”“Ibuk, juga gak tau.”Tepat saat itu juga Arya berteriak, “Ampun Mbah ... AMPUN!”“Gimana nih, Bu?” tanya Inggit semakin panik. Bu Rohaya hanya menggidikkan bahunya. “Gak tau. Sudahlah, Ibu juga gak berani masuk ke dalam. Biarkan siksaan mereka berjalan.”“Aku takut, Bu.”“Dah, santai aja, kita tungguin aja, Nggit. Mudah-mudahan Dukunnya sadar sendiri.”Bu Rohaya lalu mengajak Inggit duduk di sofa ruang keluarga yang terletak persis di depan kamar. “Kok yang lain pada ke mana Bu?” tanya Inggit setelah mengintip di luar rumah. “Mungkin Pak RT, dan Bu
“Ini, yang hanya Yai kasih. Suruh minum dan siram ubun-ubun.”Pak RT lantas melakukan apa yang dikatakan oleh orang itu. Seketika itu, Mbah Dukun berteriak, pada akhirnya berhenti. Beliau lalu, terkulai lemah tak sadarkan diri. Tak lama kemudian, Mbah Dukun sadar setelah diberi balsem di hidungnya sama Pak RT. “Alhamdulillah ... Mbah Dukun sadar.” Pak RT melihat Mbah Dukun. “Mbah, kenapa?” tanya Mbah Dukun. “Mbah kesurupan dari semalem.”“Masa sih! Jangan, bo'ong. Mbah ini Dukun, masa ia kesurupan ... setan mana yang berani Sa Mbah.”“Ini beneran Mbah, orang Mbah itu sampe ngamuk-ngamuk. Terus pintu Mbah Dukun rusakin. Suamiku saja, Mbah iket.”“Astaga.”“Sudah, gak apa kok Mbah. Yang penting Mbah sudah sadar,” sela Pak RT. “Maaf, ya. Mungkin tadi Mbah salah mantra.”“Iya, sudah Mbah gak apa. Makasih loh pertolongannya.” Inggit tersenyum. Kasihan
“Kok banyak banget ya. Rugilah lah aku nanti.”Bu Rohaya mendelik ke arah Arya sambil berkata, “Milih uangmu, apa gancet seperti ini terus?”Arya menelan ludahnya kelu, mengiakan walau sedikit terpaksa. “Tapi, Mas ... jangan lupa sisain buat Anya, ya,” sahut Anya. Bu Rohaya hanya menggeleng kepala. Lalu berkata, “Nak, Inggit. Coba telepon temanmu, siapa tahu ada yang bisa membantu, mereka.”Tak perlu waktu lama, Inggit langsung melakukan perintah Bu Rohaya. Inggit mencoba menghubungi temannya. Siapa lagi kalau bukan, Agam. Inggit bercerita perihal yang terjadi secara mendetail. Malam menjelang, pintu rumah baru ada yang mengetuk. Inggit segera keluar untuk memeriksa. Sudah lebih dari berjam-jam Inggit menunggu kedatangan tamunya. “Masuk, Gam,” ajak Inggit. Agam mengekor masuk dan duduk di ruang tamu. “Mau minum apa? Aku siapain dulu ya.”“Gak usah repot-repot.” Agam menolak
Bu Rohaya mengangkat wajah Inggit dengan kedua tangannya. “Sudahlah, Ibu ikhlas membantu kamu.”Hening tercipta beberapa saat di antara mereka. Inggit terenyuh, bagaimana tidak. Keluarganya saja bukan angkat tangan untuk membantu dirinya bahkan tidak tahu apa yang sedang menimpa dirinya. Mungkin, karena ia jarang berkunjung ke tempat keluarganya. Bukan karena sombong. Namun, pernah sewaktu dulu saat Inggit baru menikah dengan ekonomi kehidupannya susah, ia diabaikan dan malah dicaci sebagai ibu pemula yang tidak bisa apa-apa, selalu dipandang sebelah mata. Bukan dendam dengan keluarganya, tetapi Inggit lebih menghindar dengan berkumpul atau berkomunikasi dengan keluarga besarnya. Inggit mengangkat wajah. Tatapan mereka bertemu. Bu Rohaya mengangguk dan tersenyum penuh arti. Membuat Inggit teringat orang yang melahirkan dirinya. Jelas, Inggit tidak ingin orang tuanya tahu tentang apa yang menimpa dirinya. Ia tidak ingin malah menjadi beban pikiran s
Agam tak membalas. Melainkan segera menarik tangan Inggit, segera berangkat tepat jam empat subuh. Agam mempercepat laju motornya agar kami segera sampai. Sayangnya, suara azan tak mampu membuat mereka terus bergegas. Mau tak mau, mereka harus menepi sejenak untuk menunaikan kewajiban. Mereka singgah di masjid yang jaraknya kira-kira masih setengah perjalanan. Sebenarnya, Agam tak ingin menepi, tapi Inggit bersikukuh untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat beragama. Barulah setelah selesai menunaikan salat, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka sampai sebelum Mbah Dukun kepercayaan keluarga Mas Arya datang. Memang semua harus selesai sebelum Mbah Dukun itu ritual. “Jadi sudah kamu lakukan apa perintah Mbah Dukun?” tanya Bu Rohaya. “Udah, Bu.”“Sabar ya, Nak. Di posisi seperti ini saja, masih kamu juga yang disalahin.”“Ya, Bu, gak apa. Terus, kenapa Mas Arya ngamuk?”“Keluarganya memberi tau bah
Pisau yang ingin tertancap di dada Inggit semakin menekan. Untungnya, Agam terlebih dulu mendorong tubuh Inggit dan melepaskan pisau itu. PRANG!Agam segera menjauhkan pisau itu dengan bantuan kakinya. Agam memeluk erat tubuh Inggit yang rapuh. “Baiklah! Aku percaya. Aku akan membantumu. Aku mohon jangan seperti ini. Inggit yang aku kenal tidak mudah patah semangat.”Nafas Inggit tersengal. Walau dadanya terasa sakit, tapi usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membuat Agam percaya. Akting Inggit tak sampai di sini, dirinya langsung berpura-pura pingsan, dan menjatuhkan tubuhnya di dada Agam. Agam yang sigap, langsung menuntun tubuh Inggit ke ranjang. Lalu, berlari menuju pintu. Dia berteriak meminta tolong kepada dokter. Inggit tersenyum senang menatap punggung Agam. Semua sudah Inggit rencanakan dengan matang. Dia akan membalas setiap luka dari Arya. Ia tak bodoh seperti dulu, terlalu baik untuk melupakan
Tak jauh dari Inggit berdiri, mobil berhenti mendadak.“Dia pingsan.” Temannya ikut melihat wanita itu dari spion mobil. Mengerling jengah! Tentunya sangat malas mengikuti pola pikir Agam yang terlalu manusiawi. “Waktu....”Agam tetap setia menginjak pedal rem mobilnya. Sementara terlihat jelas lelaki yang ada di sebelahnya, tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menolong wanita yang dianggap gila itu. “Emang Inggit itu siapa? Apa kamu mengenal nama itu?”“Hah, sudah tidak usah mengulik masa lalu seseorang, di sana ada luka yang cukup dalam. Sangat kentara menyakitkan.”Teman Agam tersenyum remeh, “Malah, puitis.”Mau tidak mau, Agam melaju dengan kecepatan pelan. “Waktu, Gam! Rapat tentang membuka cabang kedai akan segera di mulai, apa kamu mau membuang kesempatan ini!”Agam masih terpikir bila itu benar Inggit. Meskipun bukan Inggit, hatinya sangat berat bila tak menolong, meni
“Bu Sari, nyuruh aku sembunyi.”“Kenapa?”“Itu Pak masalahnya, aku gak tau pasti,” ucapku lirih. “Ibu Sari ada bilang apa lagi?” Inggit hanya menggeleng. Pria itu mencoba menenangkan Inggit dengan mengelus pelan pundaknya. Ada sedikit rasa tertolong karenanya. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengabarkan bahwa keadaan Ibu Sari mulai membaik. Hanya, memang masih butuh perawatan, sehingga harus menginap untuk beberapa waktu ke depan. “Tenang, Bu... Ibu tidak boleh banyak gerak dulu,” ucap seorang dokter yang kemudian menyusul keluar. “Terima kasih, Dok,” seru Inggit yang baru saja tiba. Dokter hanya membalas anggukan dan pamit berlalu. Inggit dan pria paruh baya itu menghampiri keadaan Ibu Sari. Dan Ibu Sari sempat bercerita singkat tentang tragedi yang sedang menimpa ini adalah suruhan Arya. Arya yang sudah mengetahui bahwa Inggi
Dengan cepat Denny merebut bungkusan keresek. “Mas,” bentak Inggit. “Ini masih basah.” Inggit mendengus. Lalu, ia keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Perkataan tentang acara pernikahan itu membuat ia menyelidik. Ingin melihat dekorasi yang dikatakan Pak Djarot. Memang terlihat dekorasi itu terlihat sederhana membuat Inggit terenyuh, apabila semua rencana yang telah Pak Djarot persiapkan ini akan gagal. Inggit gelisah, bagaimana dengan dendamnya kepada sang suami, ia buru-buru meninggalkan rumah ini. Setelah sampainya di kebun tomat yang lumayan jauh dari rumah. Entah mengapa air mata Inggit menetes bila merasakan kekecewaan Pak Djarot bila mengetahui semua ini adalah setingan semata. Hampir dua jam lamanya, Inggit terjebak dalam pikiran kalutnya. Barulah setelah sedikit tenang Inggit mencoba bersabar menarik keinginannya. Namun, seketika Inggit kembali ke rumah itu tampak gelap. Padahal adzan maghrib sudah hampir satu jam lalu. Saat Inggit mende
“Maksud Mas, bukan ... iya benar, Mas salah. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat!” Inggit kembali maju mendekati Denny. Kini jarak mereka tak lebih dari satu meter. Inggit mendongak untuk melihat wajah Denny yang menyiratkan rasa penyesalannya. “Mas tau sebagai lelaki harus bertangungjawab, tapi Mas hanya mencari istri yang mau tinggal bersama ayah saya. Dengan segala sikap ayah saya.”“Banyak alasan, memang kenapa dengan wanita janda? Jangan mau nidurinnya aja?” Inggit menaikkan dagu tanpa mengalihkan tatapan. “Inggit....”“Jangan pernah meremehkan seorang janda, janda juga bukan hanya untuk sekadar tepat Mas memuaskan nafsu. Dan saya juga kelak akan menjadi janda, saya tahu perasaan wanita itu, Mas.”“Inggit, maksud Mas bu....”“Udah, ah. Aku beneran gak betah tinggal di sini, aku udah capek ikutin rencana ini.” Inggit berbalik menuju kamar mandi.
Inggit terdiam. Sendoknya yang sudah nyaris sampai ke mulut kembali turun. “Iya, Bu ... terima kasih sudah mengingatkan,” balas Inggit dengan raut muram. “Bagaimana dengan tujuanmu yang kemarin?”“Aku tidak akan berubah pikiran, aku akan tetap untuk ke kota kelak ... bila waktunya sudah tiba,” balas Inggit. “Nak, jangan sampai menceritakan masa lalu kamu dengan siapapun? Dan jangan bertindak ceroboh, kasihan Pak Djarot bila tau semua ini....”Suara deretan langkah di lantai, membuat Inggit dan Bu Sari langsung terdiam. “Pak Djarot,” bisik Bu Sari. Ia lalu berbalik dan melihat Pak Djarot baru menyibak tirai pintu. “Pak, rendangnya sudah masak. Sudah saya pisah buat Bapak.” Bu Sari berdiri menuju lemari mengambil piring yang sudah dipisah. Matanya melebar ketika Pak Djarot duduk di kursi dan melipat tangannya memandang Inggit. Inggit terdiam. Pak Djarot sekarang duduk berhadapan dengan tatapan yang resah. Inggit mel
Inggit mengernyit dahi. Ia mengenali mimik wajah Denny yang sudah mulai mesum. Lidahnya pun keluar membasahi setiap sudut bibirnya yang terasa kering. “Hallo, Bu ... aku lagi sibuk, maaf ... duh sinyal juga jelek ... gak kuat sinyalnya. Sebentar aku cari sinyal dulu.” Denny tetap meletakkan ponselnya di pipi dan melangkah menuju pintu. “Mas aku jadi makan di sini aja, deng! Tolong ambilin ya, aku masih lemas banget nih,” unar Inggit memelas. Seraya melemparkan tatapan memohon. Denny berhenti dengan tangan sudah berada di knop pintu. Satu tangan lagi melihat layar ponsel yang masih tersambung. “Tadi katanya—““Duh, aku lemes banget Mas.” Inggit menarik selimut dan meringkuk. “Sebentar, ya.” Denny menggeser ponselnya sedikit jauh, supaya Bu Patmi tidak terlalu jelas terdengar percakapannya. “Lapar Mas, dingin.” Inggit mengeluarkan nada seperti orang yang kedinginan. Bergetar. Inggit merasa D
Terdengar suara pintu terbuka. “Aku kira udah selesai,” kata Denny. “Cepet buat teh buat istri kamu,” perintah tukang urut. Inggit sibuk menarik sarung yang sudah melorot untuk menutup bagian dadanya. Tak lama kemudian, Inggit dikerok oleh mbah urut, dan Denny datang dengan segelas teh hangat. Inggit melirik Denny yang meletakkan teh di sebelahnya. Mata Denny berkedip nakal pada Inggit sesaat Mbah urut berkata, “Den, liat punggung istrimu merah semua.” “Iya, Mbah, biar nanti aku oles dengan minyak angin nanti malam.” Denny menatap pemandangan punggung Inggit. Denny lelaki biasa, melihat itu membuat darahnya berdesir, hangat. “Kalau gitu, aku keluar dulu ya, Mbah,” pamit Denny. Inggit hanya terdiam pasrah, sesaat tubuhnya menjadi pemandangan untuk Denny. Sepulang tukang urut, Denny menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Inggit, berharap wanita itu berselera makan. “Aku masuk, kamu udah pakai baju belum,” seru Denny di depan pint
“Apa iya, Den?” tanya Mbah urut memecahkan pikiran Denny yang termenung. Denny menggelengkan kepala seakan menolak keluar kamar. “Tuh, suami kamu katanya tidak sibuk.”“Kata Pak Djarot kamu di suruh belah kayu,” tegas Inggit sembari membenarkan sarung yang membalut tubuhnya. Wanita paruh baya itu menatap Denny yang tak lepas memandang tubuh Inggit, celananya juga terlihat mengembung. “Pengantin baru emang seperti itu, terkadang udah gak tau waktu, tuh istrimu sampai demam,” kata Mbah urut tersenyum kepada Inggit dan Denny. Denny membenarkan celananya. Dia menggelengkan kepala mengusir pikiran nakalnya. “Iya, Mbah ... Eh, iya aku ada kerja ... kalau begitu aku permisi dulu,” ucap Denny terburu-buru keluar kamar takut tersulut gairahnya yang mulai bergelut di dalam darahnya. Brutal.Setelah Denny keluar menutup pintu, Inggit duduk kasur yang sudah dibentang oleh Denny barusan. Tangan meraba pengait bra untuk melepas