Inggit terkesiap saat merasakan jemari Arya yang mengoyak bagian intimnya dengan penuh nafsu dan buas. Detik itu juga Inggit merasakan rasa perih karena Arya menggerakkan itu tanpa rasa sayang. Arya menggerakkan jemari tengahnya dengan seenaknya. “Cukup, Mas,” pekik Inggit sembari mendorong tubuh Arya dengan sekuat tenaga. Namun, Arya hanya terdorong. Tangannya masih bergerak memberikan rasa sakit yang menyambar dari bagian intim yang dimainkan kasar oleh Arya. “Ingat tugas seorang istri, sayang?!” seru Arya yang terpicu rasa kesalnya karena mendapatkan penolakan dari Inggit. Arya dengan cepat menangkap tangan Inggit dan menahannya dengan tangannya di atas kepala Inggit, sedangkan tangan lainnya terus bergerak keluar masuk di bagian inti Inggit. Inggit menjerit keras saat merasakan gigitan di bagian puting yang masih terbalut piyama. Harapan Arya hal ini memicu Inggit terangsang akan tetapi yang Inggit rasakan hanya rasa sakit yang menghanta
“Kalau gak mau ke rumah sakit, Mas pergi dulu, ya!” potong Arya. Ia sudah rapi. Bersiap untuk keluar mengurus berkas dan menghubungi rekan kerjanya. Rekan yang bertugas membunuh Bu Rohaya. Kenapa wanita itu bisa lepas!Dan belum mati! Tak lama setelah mobil Arya pergi, Mbok Ratih bangkit dan mengambil P3K lalu melihat luka Bu Rohaya. Meski ada rasa pusing, tapi ini demi kemanusian Mbok Ratih dengan berani mencoba memeriksa. Setelah itu ia tidak bersuara. Barulah setelah lima belas menit, pamit untuk meletakkan kembali P3K. Saat Mbok Ratih berdiri, Inggit melihat wajah dan tubuh Bu Rohaya yang sudah diberi obat dan perban. “Pe-pembunuh.” Bu Rohaya mengutarakannya dengan terbata-bata. “Siapa, Bu?” Inggit bingung maksud dari ucapan tersebut. Bu Rohaya seperti ingin menyampaikan sesuatu, tetapi Inggit cegah. Sepertinya Bu Rohaya berbicara lantur. “Bu, Inggit mohon jangan banyak bi
Samar-samar terdengar percakapan dua orang wanita, membuat Inggit mengerjapkan mata. Kepalanya terasa sakit. “Syukurlah, dia sudah sadar.”“Apa bener, Bu?”“Iya, Den ... tadi Ibu lihat ia mulai membuka mata.”Inggit perlahan memandang orang yang berjalan ke arahnya. Lalu, ia rasakan sentuhan di dahi serta anggota tubuh yang lain.“Nduk sudah siuman?” tanya orang yang sangat asing menurut Inggit. Inggit belum menjawab karena ia terfokus dengan seorang lelaki gagah yang berjalan ke arahnya. Lelaki itu lantas duduk di pojok ranjang. “Ini di mana?”“Ini di rumah, Ibu,” balas Ibu paruh baya. “Mbak ditemukan saat Ibu Sari mencuci baju di sungai,” sambung si lelaki muda. Inggit tercengang. “Astaghfirullah.”“Untung bisa selamat, Mbak udah dua hari pingsan.”“Apa benar selama itu, Bu?”Ibu itu hanya tersenyum. “Iya, Nak, yang terpenting sekarang kamu harus sehat ya.”Inggit mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Ia hanya
Inggit tersentak kaget. Melihat pantulan wajahnya. Baru Inggit sadari ternyata cermin disembunyikan karena Ibu dan Denny sungguh menjaga hatinya. Wajah Inggit sudah rusak hampir lima puluh persen. “Sabar, kamu sudah bisa hidup ... alhamdulillah,” ujar Denny. Inggit tak bisa berkata, hanya anggukan kepala menjawabnya dan air matanya menetes sebagai perwakilan. Bulir bening itu luruh, tak dapat terbendung. Ibu Sari memeluk tubuh Inggit yang rapuh. Ia tahu bila Hal itu sedikit mengurangi sedih karena selain diberi kehidupan. Inggit sedikit tenang oleh pelukan itu, ia merasa diberi kasih sayang, dan harus bersyukur karena masih ada yang peduli dengan dirinya. Padahal Ibu dan Denny bukan keluarga. Hari-hari yang berlalu, membuat Inggit merobek semua kejadian yang menimpa pada dirinya. Ibu dan Denny turut mengerti dengan apa yang dialami Inggit. “Tinggal di sini aja, gak apa kok, Nak,” Ibu itu menawarkan. Inggit tersenyum menanggapinya. Ap
Ibu itu mencubit tangan Denny tak harus menyelesaikan bicaranya. Sementara Inggit tak mampu menahan air matanya. Ia kecewa karena mereka memberi kasih sayang, perhatian palsu. Bila tahu seperti ini, lebih baik ia tak diselamatkan karena merasa sebatang kara. “Gi-gini, Nak,” kata Ibu Dari gelagapan, ia tak kuasa sebenarnya karena Inggit pasti salah nerka dan tak kuat menahan keinginan Inggit, akan tetapi bagaimana perasaan Denny. Inggit mencoba menghapus air matanya. “Maksudnya gimana, Bu?” tanya Inggit sengau.Ia merasa hidupnya sudah tak berarti. Berharap hidup dengan adanya keluarga baru itu hanya bualan belaka. “Begini, Nak ... semua yang kami lakukan sebenarnya tidak ada kaitannya dengan pertolongan yang kami berikan ... Ibu sudah menganggap, Nak Inggit seperti keluarga.""T-tapi, Bu ... bagaimana dengan yang dikatakan Mas Denny.""Maka dari itu, Nak Inggit tenang dulu. Masalah ini juga berketepatan dengan masal
Ruang tamu ini sangat sederhana, dan hanya ada sedikit hiasan seperti guci yang diisi dengan beberapa bunga kertas dan memiliki gorden yang berwarna merah jambu bergambar angsa. Ruang ini juga berdampingan dengan kamar yang ditempati oleh orang tua Denny. Inggit duduk tegang dengan kedua tangan mengusap ke paha. Suasana ini seperti saat dirinya dibawa ke ruang BK sewaktu sekolah. “Coba kamu duduk di sebelah dia!” seru Bapak Denny. Denny menekuk wajah dan mengikuti perintah. Ibu Sari ikut duduk di kursi tunggal. “Begini, Pak ... Nak, Denny menemukan jodohnya lewat media sosial, jadi, tak heran bila Nak Denny bertemu jodohnya orang kota, dan sebenarnya mereka sudah lama saling kenal. Hanya saja saya pribadi tak berani menyampaikan bahwa anak bapak sudah memiliki kekasih sebelum dijodohkan. Jadi....”“Bagaimana bisa! Ibu tidak menjelaskan ini!” Bapak Denny duduk memotong penjelasan Ibu Sari. “Jadi, Nak Denny takut tidak d
Di saat itu juga, muncul Bapak Denny di ambang pintu. “Kenapa belum tidur? Gak bisa berpisah dengan istri? Kalian boleh tidur berdua. Lagian pasangan baru menikahkan lagi....”“Ayo kita tidur,” kata Denny, meraih tangan Inggit dan membawanya masuk ke kamarnya. Karena yang ditakutkan akan ada perbincangan lanjutan. Sebegitu pintu kamar tertutup, Inggit langsung menghempaskan tangan Denny yang menggandengnya dan menaruh kopernya. “Jangan mengambil kesempatan dalam ke sempitan!” sergah Inggit. Denny membuka jaketnya. “Aku mau ke kamar mandi dulu ... kalau mau ikut sekalian gak apa ... soalnya kamar mandi berada di luar. Atau di sini dulu, jangan keluar karena takutnya bapak akan menginterogasi kamu?”“Iiiih, jadi sampai kapan aku di sini? Kalau begini semakin jauh aku dari rencanaku ... malah ruwet jadinya.”“Sabar! Yang penting kamu jangan bertindak yang aneh-aneh,” pesan Denny, membuka lemari pakaian dan menga
Inggit menarik tangan Denny sampai membungkuk di depannya. Saat wajah Denny tak lebih dari lima senti di depannya. Entah kenapa berdekatan dengan Denny tidak membuatnya bergidik seperti sebelumnya. Namun, Inggit tak ingin terperosok jauh pada Denny. “Jangan punya pikiran macam-macam kalau liat tubuhku.” Denny melepaskan sentuhan tangannya, lalu ia meloloskan kaus yang dikenakannya dan berdiri telanjang dada depan Inggit. “Iiih, kamu! Aku belum selesai loh,” ucap Inggit. Entah mengapa nyalinya mulai menciut melihat tatapan Denny seperti menelanjanginya. “Baiklah, tapi jangan lama-lama.”Tak sampai sepuluh menit berselang, Inggit sudah keluar kamar mandi dan berganti dengan pakaian piyama dan celana panjang. “Kalau kamu mau duluan gak apa,” kata Denny dari dalam kamar mandi. Inggit berdiri membelakangi pintu kamar mandi. Perhatiannya kini berpindah apada bagian sekitar kamar mandi yang mengerikan. Apa lagi di
Pisau yang ingin tertancap di dada Inggit semakin menekan. Untungnya, Agam terlebih dulu mendorong tubuh Inggit dan melepaskan pisau itu. PRANG!Agam segera menjauhkan pisau itu dengan bantuan kakinya. Agam memeluk erat tubuh Inggit yang rapuh. “Baiklah! Aku percaya. Aku akan membantumu. Aku mohon jangan seperti ini. Inggit yang aku kenal tidak mudah patah semangat.”Nafas Inggit tersengal. Walau dadanya terasa sakit, tapi usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membuat Agam percaya. Akting Inggit tak sampai di sini, dirinya langsung berpura-pura pingsan, dan menjatuhkan tubuhnya di dada Agam. Agam yang sigap, langsung menuntun tubuh Inggit ke ranjang. Lalu, berlari menuju pintu. Dia berteriak meminta tolong kepada dokter. Inggit tersenyum senang menatap punggung Agam. Semua sudah Inggit rencanakan dengan matang. Dia akan membalas setiap luka dari Arya. Ia tak bodoh seperti dulu, terlalu baik untuk melupakan
Tak jauh dari Inggit berdiri, mobil berhenti mendadak.“Dia pingsan.” Temannya ikut melihat wanita itu dari spion mobil. Mengerling jengah! Tentunya sangat malas mengikuti pola pikir Agam yang terlalu manusiawi. “Waktu....”Agam tetap setia menginjak pedal rem mobilnya. Sementara terlihat jelas lelaki yang ada di sebelahnya, tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menolong wanita yang dianggap gila itu. “Emang Inggit itu siapa? Apa kamu mengenal nama itu?”“Hah, sudah tidak usah mengulik masa lalu seseorang, di sana ada luka yang cukup dalam. Sangat kentara menyakitkan.”Teman Agam tersenyum remeh, “Malah, puitis.”Mau tidak mau, Agam melaju dengan kecepatan pelan. “Waktu, Gam! Rapat tentang membuka cabang kedai akan segera di mulai, apa kamu mau membuang kesempatan ini!”Agam masih terpikir bila itu benar Inggit. Meskipun bukan Inggit, hatinya sangat berat bila tak menolong, meni
“Bu Sari, nyuruh aku sembunyi.”“Kenapa?”“Itu Pak masalahnya, aku gak tau pasti,” ucapku lirih. “Ibu Sari ada bilang apa lagi?” Inggit hanya menggeleng. Pria itu mencoba menenangkan Inggit dengan mengelus pelan pundaknya. Ada sedikit rasa tertolong karenanya. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengabarkan bahwa keadaan Ibu Sari mulai membaik. Hanya, memang masih butuh perawatan, sehingga harus menginap untuk beberapa waktu ke depan. “Tenang, Bu... Ibu tidak boleh banyak gerak dulu,” ucap seorang dokter yang kemudian menyusul keluar. “Terima kasih, Dok,” seru Inggit yang baru saja tiba. Dokter hanya membalas anggukan dan pamit berlalu. Inggit dan pria paruh baya itu menghampiri keadaan Ibu Sari. Dan Ibu Sari sempat bercerita singkat tentang tragedi yang sedang menimpa ini adalah suruhan Arya. Arya yang sudah mengetahui bahwa Inggi
Dengan cepat Denny merebut bungkusan keresek. “Mas,” bentak Inggit. “Ini masih basah.” Inggit mendengus. Lalu, ia keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Perkataan tentang acara pernikahan itu membuat ia menyelidik. Ingin melihat dekorasi yang dikatakan Pak Djarot. Memang terlihat dekorasi itu terlihat sederhana membuat Inggit terenyuh, apabila semua rencana yang telah Pak Djarot persiapkan ini akan gagal. Inggit gelisah, bagaimana dengan dendamnya kepada sang suami, ia buru-buru meninggalkan rumah ini. Setelah sampainya di kebun tomat yang lumayan jauh dari rumah. Entah mengapa air mata Inggit menetes bila merasakan kekecewaan Pak Djarot bila mengetahui semua ini adalah setingan semata. Hampir dua jam lamanya, Inggit terjebak dalam pikiran kalutnya. Barulah setelah sedikit tenang Inggit mencoba bersabar menarik keinginannya. Namun, seketika Inggit kembali ke rumah itu tampak gelap. Padahal adzan maghrib sudah hampir satu jam lalu. Saat Inggit mende
“Maksud Mas, bukan ... iya benar, Mas salah. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat!” Inggit kembali maju mendekati Denny. Kini jarak mereka tak lebih dari satu meter. Inggit mendongak untuk melihat wajah Denny yang menyiratkan rasa penyesalannya. “Mas tau sebagai lelaki harus bertangungjawab, tapi Mas hanya mencari istri yang mau tinggal bersama ayah saya. Dengan segala sikap ayah saya.”“Banyak alasan, memang kenapa dengan wanita janda? Jangan mau nidurinnya aja?” Inggit menaikkan dagu tanpa mengalihkan tatapan. “Inggit....”“Jangan pernah meremehkan seorang janda, janda juga bukan hanya untuk sekadar tepat Mas memuaskan nafsu. Dan saya juga kelak akan menjadi janda, saya tahu perasaan wanita itu, Mas.”“Inggit, maksud Mas bu....”“Udah, ah. Aku beneran gak betah tinggal di sini, aku udah capek ikutin rencana ini.” Inggit berbalik menuju kamar mandi.
Inggit terdiam. Sendoknya yang sudah nyaris sampai ke mulut kembali turun. “Iya, Bu ... terima kasih sudah mengingatkan,” balas Inggit dengan raut muram. “Bagaimana dengan tujuanmu yang kemarin?”“Aku tidak akan berubah pikiran, aku akan tetap untuk ke kota kelak ... bila waktunya sudah tiba,” balas Inggit. “Nak, jangan sampai menceritakan masa lalu kamu dengan siapapun? Dan jangan bertindak ceroboh, kasihan Pak Djarot bila tau semua ini....”Suara deretan langkah di lantai, membuat Inggit dan Bu Sari langsung terdiam. “Pak Djarot,” bisik Bu Sari. Ia lalu berbalik dan melihat Pak Djarot baru menyibak tirai pintu. “Pak, rendangnya sudah masak. Sudah saya pisah buat Bapak.” Bu Sari berdiri menuju lemari mengambil piring yang sudah dipisah. Matanya melebar ketika Pak Djarot duduk di kursi dan melipat tangannya memandang Inggit. Inggit terdiam. Pak Djarot sekarang duduk berhadapan dengan tatapan yang resah. Inggit mel
Inggit mengernyit dahi. Ia mengenali mimik wajah Denny yang sudah mulai mesum. Lidahnya pun keluar membasahi setiap sudut bibirnya yang terasa kering. “Hallo, Bu ... aku lagi sibuk, maaf ... duh sinyal juga jelek ... gak kuat sinyalnya. Sebentar aku cari sinyal dulu.” Denny tetap meletakkan ponselnya di pipi dan melangkah menuju pintu. “Mas aku jadi makan di sini aja, deng! Tolong ambilin ya, aku masih lemas banget nih,” unar Inggit memelas. Seraya melemparkan tatapan memohon. Denny berhenti dengan tangan sudah berada di knop pintu. Satu tangan lagi melihat layar ponsel yang masih tersambung. “Tadi katanya—““Duh, aku lemes banget Mas.” Inggit menarik selimut dan meringkuk. “Sebentar, ya.” Denny menggeser ponselnya sedikit jauh, supaya Bu Patmi tidak terlalu jelas terdengar percakapannya. “Lapar Mas, dingin.” Inggit mengeluarkan nada seperti orang yang kedinginan. Bergetar. Inggit merasa D
Terdengar suara pintu terbuka. “Aku kira udah selesai,” kata Denny. “Cepet buat teh buat istri kamu,” perintah tukang urut. Inggit sibuk menarik sarung yang sudah melorot untuk menutup bagian dadanya. Tak lama kemudian, Inggit dikerok oleh mbah urut, dan Denny datang dengan segelas teh hangat. Inggit melirik Denny yang meletakkan teh di sebelahnya. Mata Denny berkedip nakal pada Inggit sesaat Mbah urut berkata, “Den, liat punggung istrimu merah semua.” “Iya, Mbah, biar nanti aku oles dengan minyak angin nanti malam.” Denny menatap pemandangan punggung Inggit. Denny lelaki biasa, melihat itu membuat darahnya berdesir, hangat. “Kalau gitu, aku keluar dulu ya, Mbah,” pamit Denny. Inggit hanya terdiam pasrah, sesaat tubuhnya menjadi pemandangan untuk Denny. Sepulang tukang urut, Denny menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk Inggit, berharap wanita itu berselera makan. “Aku masuk, kamu udah pakai baju belum,” seru Denny di depan pint
“Apa iya, Den?” tanya Mbah urut memecahkan pikiran Denny yang termenung. Denny menggelengkan kepala seakan menolak keluar kamar. “Tuh, suami kamu katanya tidak sibuk.”“Kata Pak Djarot kamu di suruh belah kayu,” tegas Inggit sembari membenarkan sarung yang membalut tubuhnya. Wanita paruh baya itu menatap Denny yang tak lepas memandang tubuh Inggit, celananya juga terlihat mengembung. “Pengantin baru emang seperti itu, terkadang udah gak tau waktu, tuh istrimu sampai demam,” kata Mbah urut tersenyum kepada Inggit dan Denny. Denny membenarkan celananya. Dia menggelengkan kepala mengusir pikiran nakalnya. “Iya, Mbah ... Eh, iya aku ada kerja ... kalau begitu aku permisi dulu,” ucap Denny terburu-buru keluar kamar takut tersulut gairahnya yang mulai bergelut di dalam darahnya. Brutal.Setelah Denny keluar menutup pintu, Inggit duduk kasur yang sudah dibentang oleh Denny barusan. Tangan meraba pengait bra untuk melepas