“Hati-hati, Nai. Jangan ngelamun,” tegur Abah saat aku hampir menerobos lampu merah. “Ah, maaf, Bah.” Aku terhenyak. “Berhenti di depan sana. Biar Abah yang nyetir, tangan kamu gemetar.” Akhirnya mau tak mau aku menuruti perintah Abah. Di umurnya yang sudah lanjut, Abah masih sangat tenang dan fokus saat menyetir. Aku menyandarkan badan pada bangku mobil. Semakin dekat jarak ke rumah, semakin tak karuan pula debaran jantungku. Sepuluh menit kemudian, mobil sudah terparkir di depan rumah. Kutemui pintu pagar dalam keadaan tertutup. Halaman dipenuhi dengan sampah daun, tentu saja sejak aku pergi tak pernah disapu. Lantai teras penuh dengan debu. Bahkan, gorden jendela pun belum ada yang dibuka. Aku hanya bisa menggeleng saat melihat kondisi rumah yang seperti tak berpenghuni. Tanpa ragu aku membuka pintu dan mengucap salam. Bau pengap menyeruak, membuat hidungku mengkerut. “Naira!” sahut Mama. Matanya melebar melihatku. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut dan juga marah. “Wah,
Baca selengkapnya