Semua Bab Hadiah Pahit dari Suamiku: Bab 11 - Bab 20

59 Bab

11. Tuduhan Busuk

Jadi itu yang membuat Mama marah? Ah, andai Mama tahu apa alasannya aku begitu. Namun, belum saatnya untuk memberitahu Mama sekarang. biarlah nanti akan aku ungkap di saat yang tepat saja. Saat ini Mama hanya termakan dengan asumsinya sendiri.Orang tua di mana pun pasti akan membela anaknya. Aku sangat paham akan hal itu. Apalagi Mas Andra adalah anak tunggal Mama. Pastilah ia akan dibela sedemikian rupa, tanpa tahu masalah yang sebenarnya. Harus bagaimana aku menjawab Mama sekarang? Aku mengusap pelan pelipis yang sedikit berkedut. Kepalaku agak pusing, mungkin karena pengaruh menangis tadi.“Maaf, Ma. Naira gak ada maksud seperti itu. Naira masih melayani dan merawat Mas Andra dengan sebaiknya, kok,” jawabku pelan, menekan emosi yang membuncah.“Merawat dan melayani sebaiknya, katamu? Cih! Kamu pikir Mama percaya? Mama lihat sendiri bagaimana kamu acuh tak acuh sama Andra. Apalagi semenjak kalian pulang dari rumah sakit! Jangan-jangan tahu suami sakit, kamu mulai mau membangkang!”
Baca selengkapnya

12. Mas Andra Mengamuk

Entah sudah berapa jam aku tertidur di kamar Fadil. Sampai jam 11 tadi, Mas Andra belum juga pulang. Saat makan malam, Mama terus-terusan menunjukkan wajah sinis ke arahku. Kalau bukan menyabarkan diri, mungkin aku tak perlu masak untuknya. Namun, aku masih menahan diri untuk tidak memancing keributan karena ada Fadil yang melihat.Telingaku menangkap suara samar dari luar, entah dari mana asalnya. Perlahan aku bangkit, lalu keluar dari kamar. Suara itu makin jelas terdengar. Kukira berasal dari kamarku dan Mas Andra. Siapa di dalam sana? Apa Mas Andra sudah pulang? Atau Mama? Kulirik sekilas jam yang menunjukkan pukul 4 pagi.Sedikit berjingkat aku mendekati ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Terlihat Mas Andra berjalan mondar-mandir di dalam sana. Sesekali ia mengacak rambut, dan berdecak kesal. Kapan ia pulang? Mungkinkah Mama yang membukakan pintu?Terlihat Mas Andra membuka pintu lemari pakaian. Tangannya dengan cekatan mengangkat tumpukan-tumpukan baju. Laci-laci pun diperik
Baca selengkapnya

13. Membawa Fadil Pergi

“Jangan main-main, Naira! Kembalikan tas itu, sekarang juga!” bentak Mas Andra tepat di depan wajahku.“Begitu caramu meminta baik-baik, Mas? Begitu? Kamu pikir aku akan sudi mengembalikan benda itu? Jangan harap!” Aku mendorong dadanya kuat.Badan Mas Andra hampir terjengkang. Ada kilatan aneh di matanya yang berubah menjadi beku. Aku merasa sangat ketakutan dan terancam sekarang. Ya Tuhan, tolong aku!“Sejak kapan kamu berubah menjadi melawan, Naira? Kualat kamu! Cepat kembalikan tasnya! Kalau tidak—“ Ucapan Mas Andra terpotong.“Kalau tidak, apa, Mas?” tantangku.“Jangan sampai aku harus berbuat kasar, Naira!” Dadanya kembang kempis. Bukan, ini bukanlah sosok Mas Andra yang aku kenal.Mas Andra yang dulu dengan romantis melamarku di pinggir pantai dan selalu bertutur kata baik, tidak pernah mengancam seperti itu. Siapa kamu? Siapa? Badanku mulai gemetar.“Tak akan pernah aku kembalikan! Barang-barang dalam tas itu akan menjadi bukti kuat dari kebusukanmu selama ini!” teriakku tegas
Baca selengkapnya

14. Di Rumah Abah dan Umi

Abah sudah pulang dari mesjid, sedang bermain dengan Fadil seperti biasa saja. Fadil yang sudah rindu dengan kakung dan utinya, tampak ceria dan gembira. Sekali-kali Abah melirik ke arahku. Sementara aku, diam sambil terus menyiapkan sarapan di meja makan.Perasaanku mulai tak karuan. Dalam kepala sedang menyusun kalimat-kalimat yang harus aku sampaikan pada Umi dan Abah nanti. Aku tahu, hal ini tak akan mudah. Lima belas menit kemudian, sajian sudah siap di meja. Aku segera memanggil Abah dan Fadil untuk bergabung makan bersama.“Makan dulu, Bah. Fadil juga, yuk!” ajakku, ketika semua makanan sudah siap di atas meja.Soto ayam kampung kesukaan Abah sudah tersaji. Wajah Abah tampak berseri memandangi meja makan. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memasak untuk Umi dan Abah. Ah, aku benar-benar rindu suasana seperti ini.Tanpa basa-basi, kami segera menikmati hidangan. Sesekali Abah memuji cita rasa masakan. Tentu saja aku merasa senang. Setelah dua mangkok soto tandas, akhirnya
Baca selengkapnya

15. Kalang Kabut

(PoV Andra)Sial, benar-benar sial. Bagaimana mungkin Naira sampai bisa menemukan tas itu? Bukankan aku sudah menyimpannya sedemikian rupa? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tas itu berisi benda-benda “penting” yang selama ini aku kumpulkan dan simpan sedemikian rupa.Ah, belum lagi tablet yang isinya bermacam-macam. Semoga saja Naira tidak bisa mengutak-atik benda keramat itu. Memikirkannya saja sudah membuatku merinding setengah mati.Saat ini aku terkunci di dalam kamar. Entah kapan Naira merencanakan semuanya. Jangan-jangan saat aku pergi? Pantas saja dia cuek dan tidak menghubungi sama sekali. Dia benar-benar sudah berubah.Aku sungguh kalah cepat dengannya. Tanganku terus-terusan memutar handel pintu, berharap Naira akan membukakan kuncinya. Andai saja jendela tidak dipasangi teralis, sudah pasti aku sudah keluar lewat sana.“Nai! Naira! Buka pintunya, Nai! Tolonglah, Nai!” teriakku sekuat tenaga. Tak ada jawaban sama sekali. Hanya terdengar suara teriakan mama dan samar sahu
Baca selengkapnya

16. Kalang Kabut (2)

Aku mulai mencari-cari sendiri wanita untuk diajak kencan melalui aplikasi tanpa bantuan Robi. Jika di luaran aku bisa melakukan hal-hal liar dan menggairahkan, maka saat pulang aku bertemu dengan Naira yang teduh dan menenangkan. Rasa bersalah itu, perlahan-lahan hilang. Semuanya akan baik-baik saja selama Naira tak tahu.Empat bulan yang lalu, aku akhirnya ditugaskan untuk menyelesaikan proyek di luar pulau. Ada rasa sedih dan senang sekaligus saat itu. Sedih karena harus meninggalkan Naira, Fadil, dan Mama tapi senang karena aku mendapatkan kebebasan untuk bersenang-senang.Tingkahku menjadi semakin liar saja. Tak ada yang mengawasi atau pun mengingatkan masalah dosa. Aku bahkan memiliki seorang wanita yang selalu bersedia dikencani kapanpun aku mau. Meski bayarannya sedikit mahal, aku puas karena ia sungguh luar biasa.Tak ada rasa cinta ataupun tanggung jawab, hanya transaksi kenikmatan semata yang kami jalani. Rasa sepi karena berjauhan dengan keluarga, sedikit terobati dengan k
Baca selengkapnya

17. Kacau

Tak ada lagi pesan balasan darinya. Aku bisa bernapas sedikit lega sekarang. Rasa lelah dan kantuk kembali menyerang karena aku tak tidur semalam. Belum lagi rasa kalut, membuatku tak bisa berpikir jernih. Akhirnya aku putuskan untuk meringkuk lagi di bawah selimut. Namun baru saja mata hendak terpejam, suara ketukan di pintu kamar membuatku harus membuka mata lagi.“Ndra! Andra!” Suara Mama memanggil. Suara ketukan masih terus terdengar tak sabaran.“Ya!” sahutku, lantas mengerang tanpa beranjak dari kasur.“Andra! Buka pintu!” Teriakan Mama makin kencang.Berdecak kesal, aku bangkit lalu turun dari ranjang. Ada apa sih, pagi-pagi gini? Padahal aku berencana tidur lagi sampai siang nanti, mumpung masih cuti kerja.“Ada apa, Ma?” tanyaku sebal usai membuka pintu.Wajah Mama terlihat ditekuk sedemikian rupa. Matanya menatap tajam. Entah apa yang membuatnya tak senang pagi-pagi begini.“Kamu ngapain? Mama laper, Ndra!” ketusnya sembari memegang perut.“Lho, kan Mama bisa masak, Ma?” Ali
Baca selengkapnya

18. Tak Dianggap Serius

Bagian 14. Tak Dianggap Serius “Jadi, kapan Andra ke sini, Nai?” tanya Abah saat kami baru saja menyelesaikan makan malam. Gerakan tanganku yang hendak membereskan piring-piring kotor terhenti. Mata Abah awas menatap, membuat aku sedikit salah tingkah. Aku berdehem sebelum akhirnya menjawab. “Kata Mas Andra pasti datang, Bah. Tapi belum tahu kapan.” Abah mendesah, sedangkan jemarinya mengetuk pelan meja makan yang terbuat dari kayu jati. Aku bisa menangkap kegelisahan dalam tindakannya itu. “Abah tidak suka membiarkan masalah berlarut-larut. Suruh dia datang secepatnya. Kalau dia tidak datang, kamu tahu harus bagaimana,” tukas Abah. Usai mengucapkan itu, Abah segera bangkit. Sosoknya yang masih tegap di usia 60 tahun menghilang dari pandangan mata. Sementara Umi, hanya diam melihat interaksiku dengan Abah. Aku seketika menjadi tak bersemangat. Kupinggirkan piring, lantas duduk lagi di kursi. “Memangnya Andra bilang apa, Nai?” Suara Umi lembut memecah keheningan. Kulirik sekilas
Baca selengkapnya

19. Keputusan Abah

Ponsel itu sudah tak berdering lagi saat aku masuk ke kamar. Segera aku raih untuk mengeceknya. Tertera di sana 2 panggilan tak terjawab yang semuanya berasal dari Mas Andra. Mau apa dia menelepon? Kalau mau datang, harusnya ia tak perlu memberitahu dulu. Beberapa menit aku tunggu, kalau-kalau ia menelepon lagi. Namun, ponselku tak juga kunjung berdering lagi. Sedikit kesal, aku segera memencet nomornya. Dalam hitungan detik, panggilanku diangkat. “Halo, Nai. Kamu tadi ke mana? Mas telepon berkali-kali, kok kamu gak angkat?” sapa Mas Andra. “Mau apa menelepon?” Aku tak menggubris ucapannya sedikit pun. “Ehm, itu … kalau seminggu lagi aja Mas ke sana, gimana?” tanya Mas Andra ragu. Aku mendesah. Padahal semalam aku sudah menegaskan kalau dia harus secepatnya datang ke sini. Kalau tidak, akan lain lagi ceritanya. Mas Andra ternyata tak menganggap ucapanku dan Abah serius. Mungkin ia pikir aku hanya sekadar menggertak saja. “Apa lagi alasanmu sekarang, Mas?” tanyaku geram. “Kamu jan
Baca selengkapnya

20. Keadaan Rumah

“Hati-hati, Nai. Jangan ngelamun,” tegur Abah saat aku hampir menerobos lampu merah. “Ah, maaf, Bah.” Aku terhenyak. “Berhenti di depan sana. Biar Abah yang nyetir, tangan kamu gemetar.” Akhirnya mau tak mau aku menuruti perintah Abah. Di umurnya yang sudah lanjut, Abah masih sangat tenang dan fokus saat menyetir. Aku menyandarkan badan pada bangku mobil. Semakin dekat jarak ke rumah, semakin tak karuan pula debaran jantungku. Sepuluh menit kemudian, mobil sudah terparkir di depan rumah. Kutemui pintu pagar dalam keadaan tertutup. Halaman dipenuhi dengan sampah daun, tentu saja sejak aku pergi tak pernah disapu. Lantai teras penuh dengan debu. Bahkan, gorden jendela pun belum ada yang dibuka. Aku hanya bisa menggeleng saat melihat kondisi rumah yang seperti tak berpenghuni. Tanpa ragu aku membuka pintu dan mengucap salam. Bau pengap menyeruak, membuat hidungku mengkerut. “Naira!” sahut Mama. Matanya melebar melihatku. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut dan juga marah. “Wah,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status