Semua Bab Hadiah Pahit dari Suamiku: Bab 41 - Bab 50

59 Bab

41. Pikiran Kotor Andra

(PoV Andra)Perempuan itu tersenyum ke arahku. Seketika aku semakin terpesona. Wajahnya yang bening dan berlesung pipi terasa seperti menyihir. Bibirnya merekah walaupun tanpa olesan lipstik yang menor. Kami saling bertatapan untuk beberapa saat.“Ndra, ini Della, yang Mama ceritakan tadi pagi! Hari ini dia mulai kerja di rumah!” ucap Mama.Aku dan Della sama-sama terkejut. Kalau tidak mendengar ucapan Mama, entah sampai kapan kami akan terus saling berpandangan.“E-eh, i-iya, Ma! Salam kenal Mbak Della. Saya Andra!” ujarku sembari menganggukkan kepala ke arah perempuan yang aku taksir berumur belum sampai 30 tahun itu.“Salam kenal juga Pak Andra, makasih udah dikasih kerjaan di sini,” balasnya sopan.Aku tersipu dibuatnya, sementara pipi Della yang putih tampak sedikit memerah. Mataku terus-terusan melirik ke arahnya, seperti ada magnet yang menarik.“Makasihnya sama mama saya, soalnya dia yang ngasih tau kamu,” tegasku.Mama dan Della pun kemudian saling bertukar senyum. Tampaknya
Baca selengkapnya

42. Pengakuan Abah

Aku menghela napas panjang. Jadi di rumah sudah ada pembantu? Entah kenapa aku rasanya tak rela kalau harus kembali ke rumah itu. Berkumpul dengan Mas Andra dan juga Mama, sudah tak lagi menjadi prioritasku saat ini.Kira-kira seperti apa pembantu yang ada di rumah sekarang? Apakah rajin dan telaten? Apakah bisa dipercaya dan jujur? Huft. Kupandangi wajah Fadil yang sudah tertidur pulas. Dadanya naik turun dengan teratur. Untungnya dia tak lagi merasakan nyeri dada. Beberapa hari ke depan ia harus kontrol ulang serta melepas jahitan di kepala.Aku beranjak turun dari ranjang. Meskipun merasa lelah, mata tak ingin diajak kerjasama untuk terpejam. Terdengar suara Abah dan Umi masih mengobrol di ruang keluarga. Aku mendekat, lantas membaringkan kepala di pangkuan Umi.“Umi sama Abah ngomongin apa?” tanyaku sambil melihat ke arah TV.“Abah besok mau lihat-lihat sapi di tempat Juragan Toyib, Nai,” ujar Abah mantap.“Gak usah beli yang terlalu mahal, Bah. Soalnya Naira belum bisa bantu uang
Baca selengkapnya

43. Terpaksa Mengobrol dengan Mama

Seekor sapi gemuk sudah tertambang di belakang rumah. Hewan itu dengan lahap memakan rumput yang tadi di sediakan Abah. Sekali-kali Fadil, ditemani Abah, menyodorkan dedaunan ke arahnya.Entah berapa uang yang sudah dihabiskan Abah untuk membeli sapi gemuk itu. Saat aku bertanya, Abah mengelak tak mau menjawab sama sekali. Aku yakin, harga hewan itu tak kurang dari 15 juta.Kadang ada rasa tak enak di hati. Di usianya yang sudah lanjut, Abah masih saja mengeluarkan uang untukku dan juga Fadil. Bukannya berbakti dan gantian memberi mereka, aku malah terus saja merepotkan.“Abah dapat harga berapa ya Mi, sama Juragan Toyib?” bisikku pada Umi.Umi mengangkat bahunya. “Umi juga gak tau, Nai. Sudah, kamu gak usah pikirin,” elak Umi.Aku mengamati mimik wajah Umi. “Hmm. Kayaknya gak mungkin sih, kalau Abah gak ngasih tau Umi,” sahutku santai.Umi terkekeh. “Memangnya kenapa kalau Umi tau? Kamu mau protes? Udah, sana. Kamu cepat catat bumbu sama bahan-bahan apa saja yang mau dibeli di pasar
Baca selengkapnya

44. Bertemu Orang Menyebalkan

Bersama Umi aku sudah berada di pasar tradisional. Sementara Umi mencari bahan-bahan makanan segar, aku mencari bahan di toko manisan. Entah kenapa rasanya kesialan selalu mengikutiku. Saat sedang mengambil beberapa kilo gula, tiba-tiba saja seseorang menepuk pundakku.“Ealah Mbak Naira beneran, to? Budhe kira tadi siapa!”Sosok Budhe Sri yang tambun berdiri di belakangku. Sejak kapan ia berada di sana? Kalau tahu dia akan datang ke sini, sudah pasti aku juga akan menghindar.“Eh, Budhe. Iya, ini aku, Budhe,” ucapku canggung, mengulurkan tangan padanya untuk bersalaman.Ia menyambut uluran tanganku. Mata Budhe Sri lalu menatap dari atas sampai bawah. Kemudian senyum sinisnya terlihat.“Cari apa kamu, Nai? Kok ada di sini? Lagi pulang ke rumahnya Sanusi?” tanyanya sambil mengambil beberapa bungkus tepung.“Iya, Budhe, aku sama Fadil lagi pulang ke rumah Abah.”“Hm, gitu toh. Kemarin Budhe denger Fadil ketabrak mobil? Gimana kabar anakmu, ndak cacat, kan?”Astaghfirullah. Aku langsung m
Baca selengkapnya

45. Tingkah Ajaib Mama

“Assalaku’alaikum semuanya!” seru Mama begitu sampai di depan pintu.Semua orang sontak menoleh ke arah tiga orang yang baru datang. Mama tersenyum sambil berjalan membusungkan dada. Beberapa orang menjawab salamnya, sementara yang lain berbisik-bisik.“Itu siapa? Mertuanya Mbak Naira, ya?” bisik tetanggaku yang duduk di sudut ruangan.“Iya. Wah, dateng telat gayanya kayak artis,” sahut tetangga yang satu lagi.“Lah, terus itu perempuan muda yang dateng sama mereka siapa,ya?”“Ga tau tuh, siapa. Mungkin saudaranya.”Aku berdehem sedikit kencang. Mulut-mulut yang tadi berbicara, seketika terdiam. Mama dan perempuan itu lantas menyalami para tamu wanita satu persatu, kemudian mendekat ke arahku. Tanpa ragu, Mama duduk di sampingku dan mengulurkan tangan. Sedikit kikuk aku menyambut dan mencium tangannya. Sementara perempuan yang sedari tadi mengekori Mama, melihatku dari atas sampai bawah, lalu melengos seperti tak suka.Di tempat duduk para tau laki-laki, kulihat Mas Andra duduk di sa
Baca selengkapnya

46. Pemaksaan

“Belum mau pulang? Maksud kamu apa, Nai? Bukannya kemarin kamu sendiri yang bilang kalau mau pulang selesai acara di rumah Abah? Kenapa sekarang berubah pikiran lagi?” protes Mas Andra.Merasa tak enak berdebat di depan Abah dan Umi, aku pun berinisiatif mengajak Mas Andra berbicara di kamar.“Kita ngomong berdua aja, Mas. Ayo,” ajakku kemudian.Tanpa berbicara, Mas Andra yang masih menggendong Fadil bangkit dan mengikutiku. Segera kututup pintu kamar agar tak ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.“Fadil gak kamu biarin di luar dulu, Mas?”“Gak usah. Biar dia sama aku. Aku kangen!” tolak Mas Andra, semakin mengeratkan dekapannya pada Fadil.Aku menghembuskan napas berat. “Aku belum mau pulang hari ini, Mas. Mungkin besok atau lusa,” jelasku tanpa basa-basi.“Kenapa lagi sih, Nai? Kamu terus aja mengulur waktu! Kamu sengaja mau bikin Mas marah?” Wajah Mas Andra mulai tak enak dilihat.Fadil berkali-kali melihat ke arahku dan Mas Andra bergantian. “Jaga nada bicaramu, Mas. Ada
Baca selengkapnya

47. Akhirnya Pulang

“Nai, tadi siang ada apa? Umi dengar Fadil nangis. Kamu bertengkar lagi sama Andra?” tanya Umi saat kami baru saja selesai salat Magrib berjamaah. Sementara Abah dan Fadil, salat berjamaah ke mesjid. Aku mengusap wajah sejenak, lalu meneruskan melipat sajadah. Bagaimana harus mengatakannya? Aku selalu saja membuat Abah dan Umi khawatir. “Iya, Mi. Naira sama Mas Andra bertengkar. Dia maksa mau bawa Fadil pulang walaupun Nai gak ikut,” timpalku, terus menunduk. Dada terasa sedikit sesak. “Astaghfirulah. Kenapa kalian sampai bertengkar di depan Fadil? Kasihan cucu Umi.” “Ya maaf, Mi. Naira juga menyesal udah bikin Fadil ketakutan. Tapi, semua itu Mas Andra yang mulai, Mi!” rututkku tak terima. Kalau teringat kejadian tadi siang, tengkukku merinding. Tak terbayangkan rasanya kalau Mas Andra sampai nekat memaksa membawa Fadil pergi. Sudah pasti akan ada trauma yang membekas pada anakku. Tangan Umi terulur, memegang pundakku. Matanya yang teduh menatap lembut. “Nai, kamu harus mengala
Baca selengkapnya

48. Merasa Aneh

Kudekati perlahan ranjang. Sosok itu bergeming, tak menyadari kedatanganku sama sekali. Mbak Della? Kenapa dia tidur di atas ranjangku dan Mas Andra? Sejak kapan dia tidur di sana? Alisku bertaut karena keheranan.“Mbak, Mbak! Mbak Della, bangun!” panggilku sambil menggoyang kakinya.Wanita itu menggeliat. “Mmm, bentar, Mas. Aku ngantuk,” gumamnya pelan.Hah? ‘Mas’? Apa aku tak salah dengar? Apa-apaan dia? Tiba-tiba saja aku merasa kesal melihat wajah Mbak Della.“Mbak Della! Bangun!” teriakku sedikit membentak.Perempuan itu akhirnya membuka mata. Wajahnya seketika pucat saat melihatku. Ia yang tadinya berbaring, langsung duduk dan salah tingkah.“Eh, I-ibu Naira? Kapan Ibu pulang?” tanyanya dengan gugup.“Gak penting kapan saya pulang. Justru saya yang harus nanya, kamu ngapain tidur di kamar saya?” cecarku dongkol setengah mati.“Eh? Oh, i-itu, tadi saya lagi beres-beres di sini, terus tiba-tiba saya ngantuk!” jawabnya dengan senyum malu-malu.“Jangan dibiasain ya, Mbak Della! Untu
Baca selengkapnya

49. Suasana yang Ganjil

“Ya enak dong, Ma. Kan emang itu gunanya ada asisten di rumah,” balasku di sela-sela kunyahan. Sekali-kali aku menyuapi Fadil.Mama berdecak kesal. “Meskipun ada Della, kamu jangan cuma berpangku tangan, ya! Tetap harus bantu-bantu kerjaan di rumah!” omel Mama.“Kalau Mama bantu-bantu, aku juga ikutan. Kalau Mama gak bantu, aku juga berhak gak bantuin. Kan kita sama-sama penghuni di sini,” jawabku berani.Pandangan mataku dan mama beradu. Mama bungkam dengan wajah sedikit memerah, mungkin karena kesal mendengar jawabanku. Mulai saat ini, aku tak akan lagi menjadi budak di rumah ini. Aku hanya akan fokus pada pemulihan dan kesembuhan Fadil.“Ehem! Bu Neti gak mau makan dulu, Bu?” tanya Mbak Della penuh perhatian, memecah ketegangan antara aku dan Mama.“Gak, Dell. Ibu jadi gak nafsu makan! Lagian tadi Ibu sudah makan enak di tempat arisan! Huh, mending Ibu tidur aja!” ujar Mama sambil menghentakkan kaki.Wanita itu pun lantas berlalu menuju ke kamarnya. Aku tak ambil pusing, yang penti
Baca selengkapnya

50. Pendosa

Aku sebenarnya malas berbicara lama-lama dengan Mas Andra, tetapi untuk saat ini kuikuti saja kemauan laki-laki itu. Sesampainya di depan kamar Fadil, dia mencekal lenganku sedikit kuat. “Fadil kenapa jadi cuek gitu sama Mas, Nai? Kok, dia jadi berubah?” bisik Mas Andra dengan nada kesal. Aku melepaskan tangannya yang mencengkeram sedikit erat. Rasanya tak nyaman saat kulit kami bersentuhan begitu. Aku pun merasa aneh, padahal kami adalah suami istri. “Kok kamu nanya gitu, Mas? Mungkin Fadil lagi gak nyaman aja, kan? Kamu sabar sedikit! Gak usah main tuduh gitu!” sentakku. Mas Andra melengos, sepertinya tak terima dengan ucapanku barusan. Entah apa yang ada dalam pikirannya itu sampai menduga kalau aku mempengaruhi Fadil. “Kemarin-kemarin, pas ketemu dia lengket sama Mas, Nai! Coba lihat sekarang, bahkan melihat ke arah Mas aja dia ogah-ogahan!” Mas Andra mengacak rambutnya kasar. “Ya mana aku tahu, Mas. Mungkin dia masih ingat kejadian pas kamu maksa mau bawa dia pulang. Ingat y
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status