Share

46. Pemaksaan

Penulis: Puspa Pebrianti
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Belum mau pulang? Maksud kamu apa, Nai? Bukannya kemarin kamu sendiri yang bilang kalau mau pulang selesai acara di rumah Abah? Kenapa sekarang berubah pikiran lagi?” protes Mas Andra.

Merasa tak enak berdebat di depan Abah dan Umi, aku pun berinisiatif mengajak Mas Andra berbicara di kamar.

“Kita ngomong berdua aja, Mas. Ayo,” ajakku kemudian.

Tanpa berbicara, Mas Andra yang masih menggendong Fadil bangkit dan mengikutiku. Segera kututup pintu kamar agar tak ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.

“Fadil gak kamu biarin di luar dulu, Mas?”

“Gak usah. Biar dia sama aku. Aku kangen!” tolak Mas Andra, semakin mengeratkan dekapannya pada Fadil.

Aku menghembuskan napas berat. “Aku belum mau pulang hari ini, Mas. Mungkin besok atau lusa,” jelasku tanpa basa-basi.

“Kenapa lagi sih, Nai? Kamu terus aja mengulur waktu! Kamu sengaja mau bikin Mas marah?” Wajah Mas Andra mulai tak enak dilihat.

Fadil berkali-kali melihat ke arahku dan Mas Andra bergantian. “Jaga nada bicaramu, Mas. Ada
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   47. Akhirnya Pulang

    “Nai, tadi siang ada apa? Umi dengar Fadil nangis. Kamu bertengkar lagi sama Andra?” tanya Umi saat kami baru saja selesai salat Magrib berjamaah. Sementara Abah dan Fadil, salat berjamaah ke mesjid. Aku mengusap wajah sejenak, lalu meneruskan melipat sajadah. Bagaimana harus mengatakannya? Aku selalu saja membuat Abah dan Umi khawatir. “Iya, Mi. Naira sama Mas Andra bertengkar. Dia maksa mau bawa Fadil pulang walaupun Nai gak ikut,” timpalku, terus menunduk. Dada terasa sedikit sesak. “Astaghfirulah. Kenapa kalian sampai bertengkar di depan Fadil? Kasihan cucu Umi.” “Ya maaf, Mi. Naira juga menyesal udah bikin Fadil ketakutan. Tapi, semua itu Mas Andra yang mulai, Mi!” rututkku tak terima. Kalau teringat kejadian tadi siang, tengkukku merinding. Tak terbayangkan rasanya kalau Mas Andra sampai nekat memaksa membawa Fadil pergi. Sudah pasti akan ada trauma yang membekas pada anakku. Tangan Umi terulur, memegang pundakku. Matanya yang teduh menatap lembut. “Nai, kamu harus mengala

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   48. Merasa Aneh

    Kudekati perlahan ranjang. Sosok itu bergeming, tak menyadari kedatanganku sama sekali. Mbak Della? Kenapa dia tidur di atas ranjangku dan Mas Andra? Sejak kapan dia tidur di sana? Alisku bertaut karena keheranan.“Mbak, Mbak! Mbak Della, bangun!” panggilku sambil menggoyang kakinya.Wanita itu menggeliat. “Mmm, bentar, Mas. Aku ngantuk,” gumamnya pelan.Hah? ‘Mas’? Apa aku tak salah dengar? Apa-apaan dia? Tiba-tiba saja aku merasa kesal melihat wajah Mbak Della.“Mbak Della! Bangun!” teriakku sedikit membentak.Perempuan itu akhirnya membuka mata. Wajahnya seketika pucat saat melihatku. Ia yang tadinya berbaring, langsung duduk dan salah tingkah.“Eh, I-ibu Naira? Kapan Ibu pulang?” tanyanya dengan gugup.“Gak penting kapan saya pulang. Justru saya yang harus nanya, kamu ngapain tidur di kamar saya?” cecarku dongkol setengah mati.“Eh? Oh, i-itu, tadi saya lagi beres-beres di sini, terus tiba-tiba saya ngantuk!” jawabnya dengan senyum malu-malu.“Jangan dibiasain ya, Mbak Della! Untu

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   49. Suasana yang Ganjil

    “Ya enak dong, Ma. Kan emang itu gunanya ada asisten di rumah,” balasku di sela-sela kunyahan. Sekali-kali aku menyuapi Fadil.Mama berdecak kesal. “Meskipun ada Della, kamu jangan cuma berpangku tangan, ya! Tetap harus bantu-bantu kerjaan di rumah!” omel Mama.“Kalau Mama bantu-bantu, aku juga ikutan. Kalau Mama gak bantu, aku juga berhak gak bantuin. Kan kita sama-sama penghuni di sini,” jawabku berani.Pandangan mataku dan mama beradu. Mama bungkam dengan wajah sedikit memerah, mungkin karena kesal mendengar jawabanku. Mulai saat ini, aku tak akan lagi menjadi budak di rumah ini. Aku hanya akan fokus pada pemulihan dan kesembuhan Fadil.“Ehem! Bu Neti gak mau makan dulu, Bu?” tanya Mbak Della penuh perhatian, memecah ketegangan antara aku dan Mama.“Gak, Dell. Ibu jadi gak nafsu makan! Lagian tadi Ibu sudah makan enak di tempat arisan! Huh, mending Ibu tidur aja!” ujar Mama sambil menghentakkan kaki.Wanita itu pun lantas berlalu menuju ke kamarnya. Aku tak ambil pusing, yang penti

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   50. Pendosa

    Aku sebenarnya malas berbicara lama-lama dengan Mas Andra, tetapi untuk saat ini kuikuti saja kemauan laki-laki itu. Sesampainya di depan kamar Fadil, dia mencekal lenganku sedikit kuat. “Fadil kenapa jadi cuek gitu sama Mas, Nai? Kok, dia jadi berubah?” bisik Mas Andra dengan nada kesal. Aku melepaskan tangannya yang mencengkeram sedikit erat. Rasanya tak nyaman saat kulit kami bersentuhan begitu. Aku pun merasa aneh, padahal kami adalah suami istri. “Kok kamu nanya gitu, Mas? Mungkin Fadil lagi gak nyaman aja, kan? Kamu sabar sedikit! Gak usah main tuduh gitu!” sentakku. Mas Andra melengos, sepertinya tak terima dengan ucapanku barusan. Entah apa yang ada dalam pikirannya itu sampai menduga kalau aku mempengaruhi Fadil. “Kemarin-kemarin, pas ketemu dia lengket sama Mas, Nai! Coba lihat sekarang, bahkan melihat ke arah Mas aja dia ogah-ogahan!” Mas Andra mengacak rambutnya kasar. “Ya mana aku tahu, Mas. Mungkin dia masih ingat kejadian pas kamu maksa mau bawa dia pulang. Ingat y

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   51. Di Bawah Ranjang Mbak Della

    Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   52. Coba Bertanya

    Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   53. Mengintai

    Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   54. Mengantur Rencana

    Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.

Bab terbaru

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   59. Tak Mau Disalahkan

    Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   58. Tepat di Depan Mata

    Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   57. Berduaan dengan Della

    (PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   56. Rekaman Menjijikkan

    Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   55. Berpamitan

    “Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   54. Mengantur Rencana

    Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   53. Mengintai

    Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   52. Coba Bertanya

    Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   51. Di Bawah Ranjang Mbak Della

    Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di

DMCA.com Protection Status