“Belum mau pulang? Maksud kamu apa, Nai? Bukannya kemarin kamu sendiri yang bilang kalau mau pulang selesai acara di rumah Abah? Kenapa sekarang berubah pikiran lagi?” protes Mas Andra.Merasa tak enak berdebat di depan Abah dan Umi, aku pun berinisiatif mengajak Mas Andra berbicara di kamar.“Kita ngomong berdua aja, Mas. Ayo,” ajakku kemudian.Tanpa berbicara, Mas Andra yang masih menggendong Fadil bangkit dan mengikutiku. Segera kututup pintu kamar agar tak ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.“Fadil gak kamu biarin di luar dulu, Mas?”“Gak usah. Biar dia sama aku. Aku kangen!” tolak Mas Andra, semakin mengeratkan dekapannya pada Fadil.Aku menghembuskan napas berat. “Aku belum mau pulang hari ini, Mas. Mungkin besok atau lusa,” jelasku tanpa basa-basi.“Kenapa lagi sih, Nai? Kamu terus aja mengulur waktu! Kamu sengaja mau bikin Mas marah?” Wajah Mas Andra mulai tak enak dilihat.Fadil berkali-kali melihat ke arahku dan Mas Andra bergantian. “Jaga nada bicaramu, Mas. Ada
“Nai, tadi siang ada apa? Umi dengar Fadil nangis. Kamu bertengkar lagi sama Andra?” tanya Umi saat kami baru saja selesai salat Magrib berjamaah. Sementara Abah dan Fadil, salat berjamaah ke mesjid. Aku mengusap wajah sejenak, lalu meneruskan melipat sajadah. Bagaimana harus mengatakannya? Aku selalu saja membuat Abah dan Umi khawatir. “Iya, Mi. Naira sama Mas Andra bertengkar. Dia maksa mau bawa Fadil pulang walaupun Nai gak ikut,” timpalku, terus menunduk. Dada terasa sedikit sesak. “Astaghfirulah. Kenapa kalian sampai bertengkar di depan Fadil? Kasihan cucu Umi.” “Ya maaf, Mi. Naira juga menyesal udah bikin Fadil ketakutan. Tapi, semua itu Mas Andra yang mulai, Mi!” rututkku tak terima. Kalau teringat kejadian tadi siang, tengkukku merinding. Tak terbayangkan rasanya kalau Mas Andra sampai nekat memaksa membawa Fadil pergi. Sudah pasti akan ada trauma yang membekas pada anakku. Tangan Umi terulur, memegang pundakku. Matanya yang teduh menatap lembut. “Nai, kamu harus mengala
Kudekati perlahan ranjang. Sosok itu bergeming, tak menyadari kedatanganku sama sekali. Mbak Della? Kenapa dia tidur di atas ranjangku dan Mas Andra? Sejak kapan dia tidur di sana? Alisku bertaut karena keheranan.“Mbak, Mbak! Mbak Della, bangun!” panggilku sambil menggoyang kakinya.Wanita itu menggeliat. “Mmm, bentar, Mas. Aku ngantuk,” gumamnya pelan.Hah? ‘Mas’? Apa aku tak salah dengar? Apa-apaan dia? Tiba-tiba saja aku merasa kesal melihat wajah Mbak Della.“Mbak Della! Bangun!” teriakku sedikit membentak.Perempuan itu akhirnya membuka mata. Wajahnya seketika pucat saat melihatku. Ia yang tadinya berbaring, langsung duduk dan salah tingkah.“Eh, I-ibu Naira? Kapan Ibu pulang?” tanyanya dengan gugup.“Gak penting kapan saya pulang. Justru saya yang harus nanya, kamu ngapain tidur di kamar saya?” cecarku dongkol setengah mati.“Eh? Oh, i-itu, tadi saya lagi beres-beres di sini, terus tiba-tiba saya ngantuk!” jawabnya dengan senyum malu-malu.“Jangan dibiasain ya, Mbak Della! Untu
“Ya enak dong, Ma. Kan emang itu gunanya ada asisten di rumah,” balasku di sela-sela kunyahan. Sekali-kali aku menyuapi Fadil.Mama berdecak kesal. “Meskipun ada Della, kamu jangan cuma berpangku tangan, ya! Tetap harus bantu-bantu kerjaan di rumah!” omel Mama.“Kalau Mama bantu-bantu, aku juga ikutan. Kalau Mama gak bantu, aku juga berhak gak bantuin. Kan kita sama-sama penghuni di sini,” jawabku berani.Pandangan mataku dan mama beradu. Mama bungkam dengan wajah sedikit memerah, mungkin karena kesal mendengar jawabanku. Mulai saat ini, aku tak akan lagi menjadi budak di rumah ini. Aku hanya akan fokus pada pemulihan dan kesembuhan Fadil.“Ehem! Bu Neti gak mau makan dulu, Bu?” tanya Mbak Della penuh perhatian, memecah ketegangan antara aku dan Mama.“Gak, Dell. Ibu jadi gak nafsu makan! Lagian tadi Ibu sudah makan enak di tempat arisan! Huh, mending Ibu tidur aja!” ujar Mama sambil menghentakkan kaki.Wanita itu pun lantas berlalu menuju ke kamarnya. Aku tak ambil pusing, yang penti
Aku sebenarnya malas berbicara lama-lama dengan Mas Andra, tetapi untuk saat ini kuikuti saja kemauan laki-laki itu. Sesampainya di depan kamar Fadil, dia mencekal lenganku sedikit kuat. “Fadil kenapa jadi cuek gitu sama Mas, Nai? Kok, dia jadi berubah?” bisik Mas Andra dengan nada kesal. Aku melepaskan tangannya yang mencengkeram sedikit erat. Rasanya tak nyaman saat kulit kami bersentuhan begitu. Aku pun merasa aneh, padahal kami adalah suami istri. “Kok kamu nanya gitu, Mas? Mungkin Fadil lagi gak nyaman aja, kan? Kamu sabar sedikit! Gak usah main tuduh gitu!” sentakku. Mas Andra melengos, sepertinya tak terima dengan ucapanku barusan. Entah apa yang ada dalam pikirannya itu sampai menduga kalau aku mempengaruhi Fadil. “Kemarin-kemarin, pas ketemu dia lengket sama Mas, Nai! Coba lihat sekarang, bahkan melihat ke arah Mas aja dia ogah-ogahan!” Mas Andra mengacak rambutnya kasar. “Ya mana aku tahu, Mas. Mungkin dia masih ingat kejadian pas kamu maksa mau bawa dia pulang. Ingat y
Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di
Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan
Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar