Home / Pernikahan / Hadiah Pahit dari Suamiku / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Hadiah Pahit dari Suamiku: Chapter 31 - Chapter 40

59 Chapters

31. Tak Punya Hati

Setelah perjalanan yang terasa sangat panjang, Fadil akhirnya sudah ditangani di ruang emergency. Kami hanya bisa menunggu di luar. Umi dan Abah terus-terusan memelukku sembari berzikir. Mas Andra terduduk di lantai, sementara Mama tak tampak batang hidungnya.“Mi, gimana kalau Fadil gak bangun, Mi? Nai gak sanggup, Mi,” tanyaku di sela isakan.“Astaghfirullah. Jangan ngomong gitu, Nai. Terus berdoa yang terbaik! Umi yakin pertolongan Allah itu dekat. Jangan berpikiran buruk, Nai,” ucap Umi kalut, menyadarkan aku.Ingin rasanya aku menghambur ke ruangan di mana Fadil berada. Memastikan kalau anakku masih berada di dunia ini. Tepat saat aku berdiri dari bangku tunggu, pintu ruangan IGD terbuka lebar.“Keluarga Fadil!” panggil sosok berjubah putih itu.Kami semua sontak berdiri. Setengah berlari aku mendekat, sampai hampir terjatuh. Tangan Mas Andra cekatan memegangi, tapi segera kutepis.“Maaf, orang tua Fadil yang mana?” tanya dokter tersebut.“Saya, Dok!” Aku dan Mas Andra menjawab b
Read more

32. Hampir Saja

Mas Andra terlihat sudah dalam posisi duduk bersandar rileks di kursi. Belum sempat petugas memasang peralatan pada lengannya, aku masuk ke ruangan. Alis Mas Andra bertaut melihat kehadiranku. Begitu juga dengan petugas yang perhatiannya tampak teralihkan.“Sus, tunggu!” sergahku cepat.“Ada apa, Bu?”“Mau apa kamu, Nai?” Mas Andra turut bertanya.“Suami saya ini tidak bisa mendonorkan darah!” ucapku tegas.Sekarang giliran si petugas yang memandangiku heran.“Maksudnya bagaimana, Bu?”“Iya, maksud kamu apa sih, Nai? buang-buang waktu aja!” Wajah Mas Andra tampak kesal.“Dia punya penyakit sifilis, Sus!”Tiga orang petugas yang berada di dalam ruangan sekarang mengarahkan pandangan ke arahku. Suster yang sedang menyiapkan selang dan jarum langsung terdiam di tempat.“Si-sifilis? Bapak ini menderita sifilis?” ulangnya.“Iya, kurang lebih dua minggu lalu suami saya diperiksa dan hasilnya positif sifilis. Tolong, Sus, saya akan cari pendonor lain!” Aku tergesa mengejar waktu.“Apa yang d
Read more

33. Titik Terang

“Ndra, Mama mau pulang! Mama naik Grab aja! Minta uang ongkos!” Suara Mama terdengar sampai ke telingaku.“Ma, masa kondisi Fadil lagi kayak gini Mama malah mau pulang sendiri?” protes Mas Andra.“Mama capek, Ndra. Lagian di sini kan, udah banyak yang jaga! Mama juga gak ngapa-ngapain!” Mama merengut tak terima.Tanganku mengepal kuat melihat tingkah Mama yang memuakkan. Lihat saja nanti. kalau ada apa-apa terjadi padanya, seujung kuku pun aku takkan peduli! Aku bersumpah demi Fadil dan hidupku sendiri.“Ck, ya sudah. Mama pulang, terus rumah diberesin sedikit, Ma. Nanti Andra nyusul pulang!” ucap Mas Andra.“Iya, iya. Mana duitnya!”Mas Andra tampak mengeluarkan selembar uang warna merah. Tak lama kemudian Mama sudah memasukkan uang tersebut di dalam tasnya. Tanpa basa-basi, ia lewat begitu saja di depanku, Umi, dan Abah.Jangankan pamit atau mengucapkan apapun, melirik ke arah kami pun ia tampak tak sudi. Rahang Abah mengeras. Sementara aku menahan diri dengan sisa kewarasan yang ma
Read more

34. Perjanjian Busuk

Setelah melapor pada petugas lab, akhirnya Mama sudah duduk untuk melakukan tes golongan darah. Aku dan Mas Andra menunggu di bangku luar. Perasaanku tak menentu. Doa tak henti-henti aku ucapkan dalam hati.Menit-menit berlalu, terasa begitu lambat. Aku sungguh tak sabar untuk tahu hasilnya. Kalau pun darah Mama tak cocok dengan Fadil, semoga ada kabar baik dari Widya atau siapa pun itu. Kulirik Mas Andra, ia memejamkan mata sembari bersandar pada bangku. Entah apa yang ia pikirkan.Sepuluh menit berlalu, akhirnya Mama keluar dari ruangan lab dengan membawa sebuah kartu kecil berbentuk persegi panjang. Senyuman bangga terukir di bibirnya. Harapanku membuncah. Jika Mama tersenyum, maka pastilah kabar baik yang ia bawa.“Bagaimana, Ma?” tanya Mas Andra yang langsung bangkit dan mendekat Mama.“Hmm. Nih, lihat. Darah Mama B-. Kata petugasnya Mama bisa langsung donor darah kalau tekanan darahnya bagus,” ucap Mama.“Alhamdulillah! Serius, Ma? Ya Allah, alhamdulillah. Kalau gitu, ayo, Ma. L
Read more

35. Hutang Jasa

Wajah Mas Andra menyiratkan rasa puas. Aku yakin saat ini ia merasa seolah-olah menang karena sudah berhasil membuat surat perjanjian itu. Surat itu ia lipat dan simpan di dalam tas kecil yang ia bawa. Abah masih tampak sedikit terpukul, sementara aku mencoba untuk terlihat tegar.“Bah, sudah, Bah. Gak apa-apa. Insya Allah Naira kuat,” ujarku sembari menepuk-nepuk punggung Abah.Mas Andra menjauh, mengambil posisi duduk di sebelah Mama yang lahap memasukkan makanan ke mulutnya. Sesekali ia tertawa dan tersenyum sambil berbisik pada Mas Andra. Entah apa yang membuatnya begitu senang saat ini. Pintu ruang IGD tiba-tiba terbuka lebar.Para petugas kesehatan mendorong brankar yang ditempati Fadil. Ke mana mereka akan bawa anakku? Mereka bergerak cepat seakan-akan sedang mengejar sesuatu. Aku segera bangkit dan mendekat lalu mengikuti mereka, disusul oleh Abah, Umi, Mas Andra, dan Mama yang terlihat malas-malasan. Tepat di depan ruang ICU, mereka berhenti. Brankar didorong masuk, sementara
Read more

36. Do'a Umi

“Abah sudah solat Zuhur, Nai. Ayo kita juga. Biar Abah yang berjaga,” ajak Umi.Aku mengangguk. Sebelum berlalu, aku sempatkan mengintip lagi melalui kaca pintu ruang ICU. Bendungan air mata rasanya ingin jebol lagi tiap kali aku melihat tubuh Fadil. Tepukan pelan di bahu membuatku tersadar.“Ayo, Nai.”Bergandengan tangan, aku dan Umi berjalan menuju mushola. Kesialan datang lagi saat di lorong, kami berpapasan dengan Mas Andra dan Mama yang terlihat tengah cekcok. Begitu melihatku dan Umi, mereka seketika terdiam.“Naira!” panggil Mama setengah berteriak.Dadaku berdesir. Instingku mengatakan kalau akan ada masalah lagi karena tadi aku menolak meminjami mobil.“Apa, Ma?” timpalku, mengeratkan genggaman ke tangan Umi.Ia menatap aku dan Umi bergantian. “Keterlaluan kamu, ya. Andra mau anterin Mama pulang aja, kamu gak mau pinjami mobil. Bener-bener gak tau terima kasih kamu!” omelnya tanpa segan. Padahal aku sedang bersama Umi.“Bu Neti, maaf … sebaiknya gak usah sampai marah-marah b
Read more

37. Pulang

Aku berdecak sebal, lantas menghembuskan napas berat.“Kamu mau aku dan Fadil tinggal di sini, Mas? Jujur, aku sedih melihat keadaan rumah seperti ini. Benar-benar kelewatan!” protesku menahan amarah.Mas Andra hanya bisa terduduk lemas di kursi meja makan. Dapur terlihat sangat kotor dan berdebu. Apakah Mama tak merasa jijik sama sekali tinggal di tempat seperti ini? Aku melangkahkan kaki ke kamar mandi. Lantainya terasa licin saat diinjak, serta bau yang sangat mengganggu mampir di hidung.“Mama ke mana, Mas? Apa Mama sengaja pergi karena tau kita bakal pulang?” Aku mulai terpancing emosi.“Mas gak tau, Nai! Tadi pagi Mama masih di rumah, kok! Dia gak bilang mau ke mana-mana!” Mas Andra mondar-mandir seperti orang yang sedang cemas.Abah dan Umi terlihat berwajah masam, duduk di ruang TV bersama Fadil. Bahkan ruang kecil itu pun tak teratur lagi bentuknya. Sofa yang penuh debu dan sampah, serta selimut tebal berbau apek teronggok di atas karpet.“Telpon Mama sekarang, Mas!” perintah
Read more

38. Dipermainkan Mama

(PoV Andra)“Ndra, tambahin uang belanja Mama, dong!” pinta Mama pagi itu saat aku bersiap menjemput Naira dan Fadil di rumah sakit.“Lho, bukannya minggu kemarin baru Andra kasih sejuta, Ma? Emangnya untuk apa lagi?” Dahiku berkerut melihat ke arah Mama.Wajah Mama berubah kesal. Padahal aku bertanya yang sebenarnya.“Kamu kok jadi perhitungan gitu, sih, Ndra? Kalau Mama minta berarti yang kemarin udah habis!” balas Mama dengan mata sedikit melotot.Aku menghela napas berat. Sebulan ini sudah dua kali Mama meminta uang. Uang gajiku bahkan sudah tak sampai setengahnya lagi. Padahal, tanggal gajianku masih lama.“Jangan gitu juga dong, Ma. Kan makan sehari-hari udah Andra yang beli. Bayar listrik, air, lain-lainnya juga Andra. Terus uang yang Andra kasih ke Mama, untuk beli apa?” protesku sebal.Seandainya saja Naira masih di rumah, pasti keuangan tidak akan sampai morat-marit begini. Selama Fadil di rumah sakit, aku harus menahan malu pada Abah dan Umi. Pasalnya, semua biaya perawatan
Read more

39. Kesal

(PoV Andra)“Ndra, kamu ngapain berdiri di sana? Kok Naira sama Fadil pergi lagi, kamu biarin, sih?” cerocos Mama sembari masuk ke dalam rumah.Rahangku mengeras. Mama benar-benar tak tahu, atau pura-pura pikun?“Menurut Mama kenapa, Ma? Coba Mama lihat kondisi rumah seperti apa? Bukannya tadi pagi Mama sudah janji sama Andra mau beres-beres?” cecarku.Mama menghempaskan kantong plastik bawaannya ke lantai dengan kasar.“Jadi kamu nyalahin Mama, Ndra? Iya Mama tau tadi pagi Mama janji sama kamu. Tapi, Mama pikir Naira kan mau pulang. Jadi biar dia dong, yang beresin rumah! Apa gunanya dia pulang kalau gak ngapa-ngapain!” balas Mama garang.“Ya Tuhaan, Mamaaaa!” Aku tak bisa berkata-kata lagi saking gemasnya.Dengan langkah cepat aku mendekati plastik belanjaan Mama yang tergeletak di lantai.“Ndra, mau ngapain kamu!” teriak Mama mendekat.Tanganku membongkar plastik-plastik itu. Baju, tas, sandal, bedak, lipstik, entah apa lagi yang Mama beli. Baru tadi pagi aku memberinya uang yang t
Read more

40. Pembantu Baru

[Sukurlah kalau gitu, Nai. Oh ya, kamu kenapa belum tidur?] Aku mencoba basa-basi untuk mencairkan perasaannya.[Gimana mau tidur kalau kamu WA terus]Hatiku seketika membeku seperti kejatuhan balok es. Pupus sudah impianku untuk bermanis manja dengan Naira. Ia sudah berubah menjadi seperti orang asing.[Ya maaf, Nai. Mas kangen soalnya. Mas janji bakal cari pembantu secepatnya biar kita bisa kumpul lagi] janjiku.[Kamu gak cari pembantu pun gak apa-apa, Mas. Aku sama Fadil betah di rumah Abah]Kedutan terasa di mataku yang nanar membaca balasan dari Naira.[Jangan gitu, Nai. Kasih Mas kesempatan kedua untuk memperbaiki keadaan. Mas janji, kali ini pernikahan kita akan semakin harmonis][Terserah, Mas. Udah, gak usah WA lagi. Aku mau tidur]Kuurungkan niat untuk membalas pesannya lagi. Kalau nekat, bisa-bisa Naira malah marah dan memblokir nomorku. Nelangsa dan lelah pikiran, akhirnya aku paksakan memejamkan mata sampai tertidur.*Saat bangun dan menuju dapur, aku dapati suara Mama s
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status