Setelah perjalanan yang terasa sangat panjang, Fadil akhirnya sudah ditangani di ruang emergency. Kami hanya bisa menunggu di luar. Umi dan Abah terus-terusan memelukku sembari berzikir. Mas Andra terduduk di lantai, sementara Mama tak tampak batang hidungnya.“Mi, gimana kalau Fadil gak bangun, Mi? Nai gak sanggup, Mi,” tanyaku di sela isakan.“Astaghfirullah. Jangan ngomong gitu, Nai. Terus berdoa yang terbaik! Umi yakin pertolongan Allah itu dekat. Jangan berpikiran buruk, Nai,” ucap Umi kalut, menyadarkan aku.Ingin rasanya aku menghambur ke ruangan di mana Fadil berada. Memastikan kalau anakku masih berada di dunia ini. Tepat saat aku berdiri dari bangku tunggu, pintu ruangan IGD terbuka lebar.“Keluarga Fadil!” panggil sosok berjubah putih itu.Kami semua sontak berdiri. Setengah berlari aku mendekat, sampai hampir terjatuh. Tangan Mas Andra cekatan memegangi, tapi segera kutepis.“Maaf, orang tua Fadil yang mana?” tanya dokter tersebut.“Saya, Dok!” Aku dan Mas Andra menjawab b
Read more