Share

34. Perjanjian Busuk

Author: Puspa Pebrianti
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Setelah melapor pada petugas lab, akhirnya Mama sudah duduk untuk melakukan tes golongan darah. Aku dan Mas Andra menunggu di bangku luar. Perasaanku tak menentu. Doa tak henti-henti aku ucapkan dalam hati.

Menit-menit berlalu, terasa begitu lambat. Aku sungguh tak sabar untuk tahu hasilnya. Kalau pun darah Mama tak cocok dengan Fadil, semoga ada kabar baik dari Widya atau siapa pun itu. Kulirik Mas Andra, ia memejamkan mata sembari bersandar pada bangku. Entah apa yang ia pikirkan.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya Mama keluar dari ruangan lab dengan membawa sebuah kartu kecil berbentuk persegi panjang. Senyuman bangga terukir di bibirnya. Harapanku membuncah. Jika Mama tersenyum, maka pastilah kabar baik yang ia bawa.

“Bagaimana, Ma?” tanya Mas Andra yang langsung bangkit dan mendekat Mama.

“Hmm. Nih, lihat. Darah Mama B-. Kata petugasnya Mama bisa langsung donor darah kalau tekanan darahnya bagus,” ucap Mama.

“Alhamdulillah! Serius, Ma? Ya Allah, alhamdulillah. Kalau gitu, ayo, Ma. L
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Dahlia
wanita bodoh
goodnovel comment avatar
Ellena Efda
ga ada gregetnya..datar aja
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lu mah goblok darah udah diksh ndak perlu tanda tgn lg lha
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   35. Hutang Jasa

    Wajah Mas Andra menyiratkan rasa puas. Aku yakin saat ini ia merasa seolah-olah menang karena sudah berhasil membuat surat perjanjian itu. Surat itu ia lipat dan simpan di dalam tas kecil yang ia bawa. Abah masih tampak sedikit terpukul, sementara aku mencoba untuk terlihat tegar.“Bah, sudah, Bah. Gak apa-apa. Insya Allah Naira kuat,” ujarku sembari menepuk-nepuk punggung Abah.Mas Andra menjauh, mengambil posisi duduk di sebelah Mama yang lahap memasukkan makanan ke mulutnya. Sesekali ia tertawa dan tersenyum sambil berbisik pada Mas Andra. Entah apa yang membuatnya begitu senang saat ini. Pintu ruang IGD tiba-tiba terbuka lebar.Para petugas kesehatan mendorong brankar yang ditempati Fadil. Ke mana mereka akan bawa anakku? Mereka bergerak cepat seakan-akan sedang mengejar sesuatu. Aku segera bangkit dan mendekat lalu mengikuti mereka, disusul oleh Abah, Umi, Mas Andra, dan Mama yang terlihat malas-malasan. Tepat di depan ruang ICU, mereka berhenti. Brankar didorong masuk, sementara

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   36. Do'a Umi

    “Abah sudah solat Zuhur, Nai. Ayo kita juga. Biar Abah yang berjaga,” ajak Umi.Aku mengangguk. Sebelum berlalu, aku sempatkan mengintip lagi melalui kaca pintu ruang ICU. Bendungan air mata rasanya ingin jebol lagi tiap kali aku melihat tubuh Fadil. Tepukan pelan di bahu membuatku tersadar.“Ayo, Nai.”Bergandengan tangan, aku dan Umi berjalan menuju mushola. Kesialan datang lagi saat di lorong, kami berpapasan dengan Mas Andra dan Mama yang terlihat tengah cekcok. Begitu melihatku dan Umi, mereka seketika terdiam.“Naira!” panggil Mama setengah berteriak.Dadaku berdesir. Instingku mengatakan kalau akan ada masalah lagi karena tadi aku menolak meminjami mobil.“Apa, Ma?” timpalku, mengeratkan genggaman ke tangan Umi.Ia menatap aku dan Umi bergantian. “Keterlaluan kamu, ya. Andra mau anterin Mama pulang aja, kamu gak mau pinjami mobil. Bener-bener gak tau terima kasih kamu!” omelnya tanpa segan. Padahal aku sedang bersama Umi.“Bu Neti, maaf … sebaiknya gak usah sampai marah-marah b

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   37. Pulang

    Aku berdecak sebal, lantas menghembuskan napas berat.“Kamu mau aku dan Fadil tinggal di sini, Mas? Jujur, aku sedih melihat keadaan rumah seperti ini. Benar-benar kelewatan!” protesku menahan amarah.Mas Andra hanya bisa terduduk lemas di kursi meja makan. Dapur terlihat sangat kotor dan berdebu. Apakah Mama tak merasa jijik sama sekali tinggal di tempat seperti ini? Aku melangkahkan kaki ke kamar mandi. Lantainya terasa licin saat diinjak, serta bau yang sangat mengganggu mampir di hidung.“Mama ke mana, Mas? Apa Mama sengaja pergi karena tau kita bakal pulang?” Aku mulai terpancing emosi.“Mas gak tau, Nai! Tadi pagi Mama masih di rumah, kok! Dia gak bilang mau ke mana-mana!” Mas Andra mondar-mandir seperti orang yang sedang cemas.Abah dan Umi terlihat berwajah masam, duduk di ruang TV bersama Fadil. Bahkan ruang kecil itu pun tak teratur lagi bentuknya. Sofa yang penuh debu dan sampah, serta selimut tebal berbau apek teronggok di atas karpet.“Telpon Mama sekarang, Mas!” perintah

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   38. Dipermainkan Mama

    (PoV Andra)“Ndra, tambahin uang belanja Mama, dong!” pinta Mama pagi itu saat aku bersiap menjemput Naira dan Fadil di rumah sakit.“Lho, bukannya minggu kemarin baru Andra kasih sejuta, Ma? Emangnya untuk apa lagi?” Dahiku berkerut melihat ke arah Mama.Wajah Mama berubah kesal. Padahal aku bertanya yang sebenarnya.“Kamu kok jadi perhitungan gitu, sih, Ndra? Kalau Mama minta berarti yang kemarin udah habis!” balas Mama dengan mata sedikit melotot.Aku menghela napas berat. Sebulan ini sudah dua kali Mama meminta uang. Uang gajiku bahkan sudah tak sampai setengahnya lagi. Padahal, tanggal gajianku masih lama.“Jangan gitu juga dong, Ma. Kan makan sehari-hari udah Andra yang beli. Bayar listrik, air, lain-lainnya juga Andra. Terus uang yang Andra kasih ke Mama, untuk beli apa?” protesku sebal.Seandainya saja Naira masih di rumah, pasti keuangan tidak akan sampai morat-marit begini. Selama Fadil di rumah sakit, aku harus menahan malu pada Abah dan Umi. Pasalnya, semua biaya perawatan

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   39. Kesal

    (PoV Andra)“Ndra, kamu ngapain berdiri di sana? Kok Naira sama Fadil pergi lagi, kamu biarin, sih?” cerocos Mama sembari masuk ke dalam rumah.Rahangku mengeras. Mama benar-benar tak tahu, atau pura-pura pikun?“Menurut Mama kenapa, Ma? Coba Mama lihat kondisi rumah seperti apa? Bukannya tadi pagi Mama sudah janji sama Andra mau beres-beres?” cecarku.Mama menghempaskan kantong plastik bawaannya ke lantai dengan kasar.“Jadi kamu nyalahin Mama, Ndra? Iya Mama tau tadi pagi Mama janji sama kamu. Tapi, Mama pikir Naira kan mau pulang. Jadi biar dia dong, yang beresin rumah! Apa gunanya dia pulang kalau gak ngapa-ngapain!” balas Mama garang.“Ya Tuhaan, Mamaaaa!” Aku tak bisa berkata-kata lagi saking gemasnya.Dengan langkah cepat aku mendekati plastik belanjaan Mama yang tergeletak di lantai.“Ndra, mau ngapain kamu!” teriak Mama mendekat.Tanganku membongkar plastik-plastik itu. Baju, tas, sandal, bedak, lipstik, entah apa lagi yang Mama beli. Baru tadi pagi aku memberinya uang yang t

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   40. Pembantu Baru

    [Sukurlah kalau gitu, Nai. Oh ya, kamu kenapa belum tidur?] Aku mencoba basa-basi untuk mencairkan perasaannya.[Gimana mau tidur kalau kamu WA terus]Hatiku seketika membeku seperti kejatuhan balok es. Pupus sudah impianku untuk bermanis manja dengan Naira. Ia sudah berubah menjadi seperti orang asing.[Ya maaf, Nai. Mas kangen soalnya. Mas janji bakal cari pembantu secepatnya biar kita bisa kumpul lagi] janjiku.[Kamu gak cari pembantu pun gak apa-apa, Mas. Aku sama Fadil betah di rumah Abah]Kedutan terasa di mataku yang nanar membaca balasan dari Naira.[Jangan gitu, Nai. Kasih Mas kesempatan kedua untuk memperbaiki keadaan. Mas janji, kali ini pernikahan kita akan semakin harmonis][Terserah, Mas. Udah, gak usah WA lagi. Aku mau tidur]Kuurungkan niat untuk membalas pesannya lagi. Kalau nekat, bisa-bisa Naira malah marah dan memblokir nomorku. Nelangsa dan lelah pikiran, akhirnya aku paksakan memejamkan mata sampai tertidur.*Saat bangun dan menuju dapur, aku dapati suara Mama s

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   41. Pikiran Kotor Andra

    (PoV Andra)Perempuan itu tersenyum ke arahku. Seketika aku semakin terpesona. Wajahnya yang bening dan berlesung pipi terasa seperti menyihir. Bibirnya merekah walaupun tanpa olesan lipstik yang menor. Kami saling bertatapan untuk beberapa saat.“Ndra, ini Della, yang Mama ceritakan tadi pagi! Hari ini dia mulai kerja di rumah!” ucap Mama.Aku dan Della sama-sama terkejut. Kalau tidak mendengar ucapan Mama, entah sampai kapan kami akan terus saling berpandangan.“E-eh, i-iya, Ma! Salam kenal Mbak Della. Saya Andra!” ujarku sembari menganggukkan kepala ke arah perempuan yang aku taksir berumur belum sampai 30 tahun itu.“Salam kenal juga Pak Andra, makasih udah dikasih kerjaan di sini,” balasnya sopan.Aku tersipu dibuatnya, sementara pipi Della yang putih tampak sedikit memerah. Mataku terus-terusan melirik ke arahnya, seperti ada magnet yang menarik.“Makasihnya sama mama saya, soalnya dia yang ngasih tau kamu,” tegasku.Mama dan Della pun kemudian saling bertukar senyum. Tampaknya

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   42. Pengakuan Abah

    Aku menghela napas panjang. Jadi di rumah sudah ada pembantu? Entah kenapa aku rasanya tak rela kalau harus kembali ke rumah itu. Berkumpul dengan Mas Andra dan juga Mama, sudah tak lagi menjadi prioritasku saat ini.Kira-kira seperti apa pembantu yang ada di rumah sekarang? Apakah rajin dan telaten? Apakah bisa dipercaya dan jujur? Huft. Kupandangi wajah Fadil yang sudah tertidur pulas. Dadanya naik turun dengan teratur. Untungnya dia tak lagi merasakan nyeri dada. Beberapa hari ke depan ia harus kontrol ulang serta melepas jahitan di kepala.Aku beranjak turun dari ranjang. Meskipun merasa lelah, mata tak ingin diajak kerjasama untuk terpejam. Terdengar suara Abah dan Umi masih mengobrol di ruang keluarga. Aku mendekat, lantas membaringkan kepala di pangkuan Umi.“Umi sama Abah ngomongin apa?” tanyaku sambil melihat ke arah TV.“Abah besok mau lihat-lihat sapi di tempat Juragan Toyib, Nai,” ujar Abah mantap.“Gak usah beli yang terlalu mahal, Bah. Soalnya Naira belum bisa bantu uang

Latest chapter

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   59. Tak Mau Disalahkan

    Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   58. Tepat di Depan Mata

    Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   57. Berduaan dengan Della

    (PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   56. Rekaman Menjijikkan

    Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   55. Berpamitan

    “Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   54. Mengantur Rencana

    Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   53. Mengintai

    Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   52. Coba Bertanya

    Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan

  • Hadiah Pahit dari Suamiku   51. Di Bawah Ranjang Mbak Della

    Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di

DMCA.com Protection Status