Tak ada lagi pesan balasan darinya. Aku bisa bernapas sedikit lega sekarang. Rasa lelah dan kantuk kembali menyerang karena aku tak tidur semalam. Belum lagi rasa kalut, membuatku tak bisa berpikir jernih. Akhirnya aku putuskan untuk meringkuk lagi di bawah selimut. Namun baru saja mata hendak terpejam, suara ketukan di pintu kamar membuatku harus membuka mata lagi.“Ndra! Andra!” Suara Mama memanggil. Suara ketukan masih terus terdengar tak sabaran.“Ya!” sahutku, lantas mengerang tanpa beranjak dari kasur.“Andra! Buka pintu!” Teriakan Mama makin kencang.Berdecak kesal, aku bangkit lalu turun dari ranjang. Ada apa sih, pagi-pagi gini? Padahal aku berencana tidur lagi sampai siang nanti, mumpung masih cuti kerja.“Ada apa, Ma?” tanyaku sebal usai membuka pintu.Wajah Mama terlihat ditekuk sedemikian rupa. Matanya menatap tajam. Entah apa yang membuatnya tak senang pagi-pagi begini.“Kamu ngapain? Mama laper, Ndra!” ketusnya sembari memegang perut.“Lho, kan Mama bisa masak, Ma?” Ali
Bagian 14. Tak Dianggap Serius “Jadi, kapan Andra ke sini, Nai?” tanya Abah saat kami baru saja menyelesaikan makan malam. Gerakan tanganku yang hendak membereskan piring-piring kotor terhenti. Mata Abah awas menatap, membuat aku sedikit salah tingkah. Aku berdehem sebelum akhirnya menjawab. “Kata Mas Andra pasti datang, Bah. Tapi belum tahu kapan.” Abah mendesah, sedangkan jemarinya mengetuk pelan meja makan yang terbuat dari kayu jati. Aku bisa menangkap kegelisahan dalam tindakannya itu. “Abah tidak suka membiarkan masalah berlarut-larut. Suruh dia datang secepatnya. Kalau dia tidak datang, kamu tahu harus bagaimana,” tukas Abah. Usai mengucapkan itu, Abah segera bangkit. Sosoknya yang masih tegap di usia 60 tahun menghilang dari pandangan mata. Sementara Umi, hanya diam melihat interaksiku dengan Abah. Aku seketika menjadi tak bersemangat. Kupinggirkan piring, lantas duduk lagi di kursi. “Memangnya Andra bilang apa, Nai?” Suara Umi lembut memecah keheningan. Kulirik sekilas
Ponsel itu sudah tak berdering lagi saat aku masuk ke kamar. Segera aku raih untuk mengeceknya. Tertera di sana 2 panggilan tak terjawab yang semuanya berasal dari Mas Andra. Mau apa dia menelepon? Kalau mau datang, harusnya ia tak perlu memberitahu dulu. Beberapa menit aku tunggu, kalau-kalau ia menelepon lagi. Namun, ponselku tak juga kunjung berdering lagi. Sedikit kesal, aku segera memencet nomornya. Dalam hitungan detik, panggilanku diangkat. “Halo, Nai. Kamu tadi ke mana? Mas telepon berkali-kali, kok kamu gak angkat?” sapa Mas Andra. “Mau apa menelepon?” Aku tak menggubris ucapannya sedikit pun. “Ehm, itu … kalau seminggu lagi aja Mas ke sana, gimana?” tanya Mas Andra ragu. Aku mendesah. Padahal semalam aku sudah menegaskan kalau dia harus secepatnya datang ke sini. Kalau tidak, akan lain lagi ceritanya. Mas Andra ternyata tak menganggap ucapanku dan Abah serius. Mungkin ia pikir aku hanya sekadar menggertak saja. “Apa lagi alasanmu sekarang, Mas?” tanyaku geram. “Kamu jan
“Hati-hati, Nai. Jangan ngelamun,” tegur Abah saat aku hampir menerobos lampu merah. “Ah, maaf, Bah.” Aku terhenyak. “Berhenti di depan sana. Biar Abah yang nyetir, tangan kamu gemetar.” Akhirnya mau tak mau aku menuruti perintah Abah. Di umurnya yang sudah lanjut, Abah masih sangat tenang dan fokus saat menyetir. Aku menyandarkan badan pada bangku mobil. Semakin dekat jarak ke rumah, semakin tak karuan pula debaran jantungku. Sepuluh menit kemudian, mobil sudah terparkir di depan rumah. Kutemui pintu pagar dalam keadaan tertutup. Halaman dipenuhi dengan sampah daun, tentu saja sejak aku pergi tak pernah disapu. Lantai teras penuh dengan debu. Bahkan, gorden jendela pun belum ada yang dibuka. Aku hanya bisa menggeleng saat melihat kondisi rumah yang seperti tak berpenghuni. Tanpa ragu aku membuka pintu dan mengucap salam. Bau pengap menyeruak, membuat hidungku mengkerut. “Naira!” sahut Mama. Matanya melebar melihatku. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut dan juga marah. “Wah,
Bagaimana aku tidak mual melihat apa yang terhidang di bawah tudung saji? Sepiring makanan yang sudah membusuk sampai-sampai banyak belatung di atasnya. Bahkan, hewan-hewan kecil itu sampai berjatuhan di atas meja.Tak tahan, aku berlari untuk membuka pintu belakang, lalu meludah berulang kali. Mataku sampai berair menahan rasa ingin muntah. Ya Allah, benar-benar Mama dan Mas Andra tidak bisa diandalkan untuk menjaga rumah tetap bersih. Padahal aku baru pergi beberapa hari saja. Selama ini mereka sudah sepenuhnya bergantung padaku untuk menjaga rumah ini tetap layak dihuni. Belum sempat aku menutup pintu, Mas Andra masuk ke dapur dan memanggil. “Nai, ayo ke depan!” ajaknya dengan wajah gugup. Aku melemparkan sorot mata tajam ke arahnya. Mas Andra tampak kebingungan saat aku tak menjawab. “Nai, kamu kenapa?” tanyanya. “Coba kamu buka dan lihat apa yang ada di bawah tudung saji itu, Mas!” perintahku. “Emangnya ada apa?” Ia malah balik bertanya. “Lihat sendiri!” Suaraku meninggi sak
“Ndra, apa-apaan sih mertua sama istri kamu? Kok nuduh sembarangan gitu? Heh, kamu jangan diam aja!” bentak Mama pada Mas Andra yang terus-terusan menunduk.Sebenarnya ada sedikit rasa tak tega pada Mama. Beliau memiliki riwayat penyakit darah tinggi. Aku khawatir penyakitnya itu akan kumat kalau mengetahui kebenarannya.“Maaf, Ma. Tapi yang Abah bilang barusan memang benar. Alasan aku keluar dari rumah, karena Mas Andra sudah bermain gila!” ucapku tenang, lalu mengusap wajah.“Ber-bermain gila? Astaga? Kamu jangan nuduh yang macam-macam ya, Nai! B ukannya malah kamu yang sudah selingkuh di belakang Andra?” Mama mulai naik pitam.Aku menghembuskan napas berat. Bagaimana menjelaskannya pada Mama? sementara Mas Andra hanya diam saja.“Jelaskan sama mamamu, Andra!” titah Abah.“Se-semua itu salah paham, Bah. Naira salah paham. Saya tidak pernah bermain gila, Bah!” elak Mas Andra.“Tuh, betul kan, mana mungkin Andra bermain gila! Kalau nuduh kira-kira, dong!” dukung Mama.Aku menggeram. M
“Ma-maaf, Bah!” Hanya itu yang bisa Mas Andra ucapkan.“Saya menikahkan Naira bukan untuk disakiti, tapi untuk dibahagiakan! Kalau kamu sudah tidak bisa lagi membahagiakannya, kembalikan dia ke orang tuanya baik-baik!”“Sekali lagi maaf, Bah! Maafin saya!”Bahu Mas Andra berguncang, jemari menyeka mata berulang kali. Apa dia menangis? Ah, mustahil.“Sekarang, keputusan saya serahkan pada Naira. Terserah dia mau bagaimana. Nai, Abah tunggu kamu di mobil. Selesaikan secepatnya!” titah Abah sembari berdiri. Sesaat kemudian ia berlalu menuju ke mobil yang terparkir di depan.“Bah, sekali lagi saya minta maaf, Bah!” teriak Mas Andra. Abah tak menggubris sama sekali. Lelaki yang aku sayangi sepenuh jiwa dan raga itu terus berjalan menjauh.Sekarang hanya aku dan Mas Andra. Dia menatapku dengan mata yang basah.“Kamu nangis, Mas? Apa yang kamu tangisi?” sindirku.“Mas benar-benar minta maaf, Nai! Mas benar-benar sudah khilaf. Mas gak cinta sama sekali dengan perempuan-perempuan itu, Nai! Dal
Aku bisa melihat mimik wajah Mama dan Mas Andra berubah. Mereka pasti tak menyangka aku akan sampai setega ini. Namun, untuk sebuah hadiah pahit bernama pengkhianatan, hal ini cukup setimpal.“Dasar angkuh kamu Naira! Mama doakan kamu sial sampai 40 hari ke depan! Biar tau rasa kamu! Ingat, ucapan orang yang teraniaya itu didengar sama Tuhan!” ancamnya, kehabisan akal.Jantungku berdebar kencang mendengar ucapan Mama barusan. Ada gejolak besar yang mendorongku untuk membalas dengan ucapan yang tak kalah buruknya. Namun, aku masih menahan diri.“Hati-hati dengan ucapan, Ma. Salah-salah bisa berbalik ke Mama sendiri! Kalau sudah tak ada lagi yang penting, aku permisi! Assalamu’alaikum!”Tanpa menunggu jawaban dari kedua orang itu, aku melangkah cepat. Abah sudah terlalu lama menunggu di mobil. Meski urusan masih jauh dari kata tuntas, tapi aku sudah bisa bernapas sedikit lebih lega. Sekarang saatnya pulang dan membelikan es krim pesanan Fadil.*“Bagaimana tadi, Nai?” tanya Umi lembut.
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole
Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]
(PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,
“Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t
Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.
Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar
Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan
Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di