Home / Rumah Tangga / Aku Tak Bodoh / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Aku Tak Bodoh: Chapter 81 - Chapter 90

151 Chapters

Part 81

"Ya enggak lah, Pak. Masa' iya saya pulang kampung mau jual lemang! Aneh-aneh aja pertinyiinnyi.""Oh, iya ... eemmm ... maksud saya ... eemm ... Maksudnya bukan saya yang nanya. Tadi saya hanya disuruh Oma, buat nanyain kamu sudah sampai mana."Oma lagi, Oma lagi. "Oma baik ya, Pak! Perhatian. Nanyain saya terus. Entar kalau saya sudah sampai, saya kabarin Bapak, deh.""Oke, kabarin saya segera, biar saya nggak mikir yang aneh-aneh!""Bapak yang mikirnya aneh-aneh atau Oma, sih?""Oma, Nona Firda! Oke, saya matiin. Kamu ... hati-hati."Klik. Aneh! Satu hari ini Alex an-neh! Oma juga, nggak mungkin nanyain terus sampai segitunya. "Saudara Oma juga banyak di Medan. Dulu, cucu juga tinggal di Siantar, Ling Ling dan Alex kuadrat, kalau Alex ini dari kecil sudah di Medan." Ling Ling dan Alex kuadrat? Aku tiba-tiba kepikiran atas ucapan Oma. Alex kuadrat dan Ling Ling di Siantar. Itu artinya Alex ku, si Ultramen zero. Kalau Alex ini sudah dari kecil di Medan ... itu berarti ... Alex
last updateLast Updated : 2024-02-02
Read more

Part 82

"Ayah sama Ibu pigi salat dulu ya, Ying. Makan ko dulu ya, Nak. Ibu masak belacan tadi. Ayo Pak, ceritanya nanti saja, salat dulu!" Entah Ibu paham atau tidak akan tatapanku kepadanya. Tapi saat ini, ia menyelamatkan ku dari rasa huru hara di hati. "Ko bantu bawak masuk koper kakakmu ini Nan! Pigi dulu kami ya! Assalamu'alaikum," perintah Ayah kepada Nanda lalu segera berpamitan. "Waalaikumsalam," jawabku dan Nanda berbarengan. Nanda membantu membawa barang-barang bawaanku ke dalam rumah. Selama tiga tahun menikah, baru sekali aku pulang kampung. Itupun hanya seminggu di sini, karena Mas Bima nggak betah, dan kini aku kembali pulang untuk yang kedua kalinya dalam keadaan aku sudah menjadi janda. Tak banyak yang berubah dari rumah masa kecilku ini. Hanya warna cat dindingnya saja yang berubah-ubah setiap tahunnya. Di bawah sudut tangga, masih terlihat meja makan antik dari kayu jati. Keadaannya masih saja awet hingga saat ini. Lima belas tahun sudah meja itu bersemayam di sini. "
last updateLast Updated : 2024-02-02
Read more

Part 83

Aku cekikian sendiri, dengan menjauhkan gawai dari wajah. Kenapa sekarang aku jadi terlalu suka ngelanturin ucapan dengan bos tamvanku ini, ya? Kayak ada manis-manisnya gitu. Ulu uluu. Pliss, Fir. Walau saat ini kamu masih dilema dia Alex-mu atau bukan, tetap saja kamu harus menjaga sikap. Ucap sisi baik pada diri sendiri. Nggak, Fir! Dia pasti Alex dari masa kecilmu. Mana mungkin dia bisa begitu nyaman dan blak-blakan, jika bukan Alex-mu. Ucap sisi nakal pada diri ini. Stop, jangan bertengkar. "Ck, Firda ... kamu ... aah, yasudah saya senang jika kamu dalam keadaan baik-baik saja, dan ingat, cuti hanya seminggu dipotong dua hari."Aku jadi kepikiran permintaan Lin-Lin, ketika pak Oppa mengingatkan kembali masa cutiku. Apa boleh minta tambahan waktu? Coba aja deh, dia pasti kasihan terus dikasih. Kalau enggak dikasih, akan ku ungkit jasa pukulku sewaktu kecil padanya. "Paaaak, saya mau instrupsi!""Eemm," jawabnya malas-malasan. "Bisa nam-bah cutinya?""Tambahan cuti? Perjanjian
last updateLast Updated : 2024-02-03
Read more

Part 84

Sepertinya Ibu sudah mulai mencium bau-bau ketidakberesan. Di meja makan aku sudah terlihat mencurigakan, ditanya malah balik bertanya. Luka yang ada di tangan, hingga mendadak datang dan itu pun sendirian. Padahal sudah lama aku dan Mas Bima tak pulang. "Nggak ada loh, Bu! Mas Bima belum dapat cuti, kalo Firda udah sama si Ultramen Gentong," jelasku takut-takut. "Ultramen Gentong? Apa itu?" Aman, tak menyangka jika Ibu malah membahas si Oppa gangnam style. "Ibu lupa? Itu loh, anaknya Babah Along, yang rumahnya dulu dekat parak-parak (semak,red) di ujung kede. Ternyata anaknya itu, bos Firda di Jakarta, Bu! Semalam, pulangnya ya sama dia jugak!" ocehku dengan bersemangat. Si Alek-Alek yang tukang nanges itu? Yang kalok udah nanges ngadu kemari ama si Lin-Lin." Ibu mengingat masa lalu sambil matanya menerawang ke langit-langit kamar. "Haaaag ... iya ... itu ... Firda aja nggak nyangka, kalok dia yang bisa gantiin bos Firda yang pertama, Bu!" jelasku semakin bersemangat, agar Ibu
last updateLast Updated : 2024-02-03
Read more

Part 85

Ibu melihatku sekilas, lalu kembali menyusun piring bersih ke dalam rak piring. Kulihat Wak Emi juga sedang melirikku dari meja makan. Tangannya penuh dengan bumbu arsik, sedangkan piringnya penuh dengan tulang-belulang ikan. Kelihatannya ia baru saja menandaskan nasi ibuku satu panci. "Fiir," sapanya sambil menjilati tangan. "Halo, Wak!" jawabku malas. "Kapan datang?" Basa basinya"Semalam, Wak!" Aku menjawab sekedarnya saja. Malas jika harus menjawab berjilid jilid, bakalan bisa nginap dia di sini. "Iih, kenapa matamu? Kok bisa bengkak gitu?"Nah, kan tengoklah. Agoi amang. "Dicium kecoak." Kudekati Ibu, lalu memeluknya dari belakang. Ia sedikit terlonjak karena tak menyangka akan mendapat pelukan tiba-tiba dariku. "Iiih, apanya kau! Basah belakang ibu, keringatan!" ujar ibuku sambil menggeliat risih, karena memang belakang bajunya basah. "Wangi kali pulak, jadi lapar awak. Eemmm ... Wanginya aja udah kayak gini, cemana lagi rasanya ... maknyooos ..." kataku memuji masakan I
last updateLast Updated : 2024-02-03
Read more

Part 85

Pergi menjauh, lah! Tinggalkan orang macam itu. Tak pala ko balas, cukup pigi! Capek-capek-in badan aja terus berurusan sama orang kayak gitu!" sahut Ayah bersemangat, dengan memberi saran yang terdengar tegas. Baiklah, Tarik napas ... buang. Huff ... oke Fir, lanjutkan! "Jadi ... kalok permasalahannya juga berlaku sama pasangan suami istri, bagusan menjauh juga, Yah?""Tergantung, masih bisa diselamatkan ato gak!" "Kalo nggak bisa lagi, Yah?" tanyaku antusias sekali. "Ya, lepaskan. Mau rupanya terus berjalan di dalam ruang gelap yang gak ada cahaya? Bisa sih bisa, Nak ... tapi capek lah! Kalo Ayah, gak pala mau lah capek-capek. Tinggalkan ruang gelap itu, cari cahayanya. Jadi, kita mo gerak kemanapun nggak susah lagi. Cocok ko rasa, Ying?" Ayah membiarkanku untuk berfikir sejenak atas apa yang sedang dijabarkannya. Masuk akal memang, dan itu membuatku sedikit lega. Tapi dalam kasus rumah tanggaku, aku takut yang paling tersakiti adalah Ayah dan ibuku. "Bahas siapanya kau ini?"
last updateLast Updated : 2024-02-03
Read more

Part 86

Lumpur di kaki tak menggangguku ketika berjalan santai di pajak (pasar) Parluasan yang begitu kurindukan. Ibu berjalan di depan dengan Nanda, sedangkan aku mengekor di belakang mereka. Tangan mereka sudah penuh dengan tintingan belanjaan, sedangkan aku dibiarkan melenggang tanpa beban. Beban hidupku sudah banyak, jadi nggak perlu diberi beban dulu, begitu ucap ibuku tadi. "Maree ... dipeleh-dipeleh, yang sayang anak ya, Kak, yang sayang anak, yang sayang anaaaaak. Maree dipeleh-dipeleh.""Jeroknya ya mamak ku. Jeroknya. Jamin manis. Pantang asam. Kalo asam bukan punyaku. Sappoloh rebo-sappoloh rebo.""A ... paaa sama mu, Kak. A ... pa sama mooo. Kau mo aku, bawaak, mau barangku juga boleh. Yang mana samamu, Kak. yang mana samamu, Mak."Suara pedagang saling sahut-sahutan menjadi daya tarik di pajak Ini. Berebut pembeli dengan ciri khas masing-masing. Aku kadang tertawa sendiri jika mereka sudah menyerang dengan jeritan membahananya. Di salah satu tempat, aku melihat dua orang anak
last updateLast Updated : 2024-02-04
Read more

Part 87

"Ha ha ha. Iya, Kak, bet-tol itu. Karna kalok nanti sodara ada yang datang minjem uang, aku udah ready. Nggak perlu bilang nggak ada. Ha ha ha. Apalagi orang yang utang minjem melas-melas, bayarnya malas-malas," cicitku sarkas karena tahu dari Nanda, jika Kak Loli suka meminjam uang padanya, tapi tak pernah dibayar, sekalinya bayar, itupun di cicil. Anneh, minjem uang kok sama anak kuliahan. Ku lihat air muka kak Loli berubah seperti wajah pecel lele. Pasti mentalnya langsung terganggu, sampai terbang ke Taj Mahal. Asek-asek, jos! "Ya Tuhan, Fir ... disekolahkan tinggi-tinggi supaya nggak kek Ayah-ibukmu. Ni malah lebih parah. Sama-sama jualan. Ha haha." Lagi, ia membalas tajam ucapanku sambil tertawa lirih. Dunia memang tak akan kehabisan orang-orang dengki, bin iri alias julid. Malah, keadaan itu datangnya selalu dari lingkungan keluarga sendiri. Seperti emak beranak tiga ini contohnya, sebelas dua belas dengan mamaknya. Dari dulu kak Loli memang tak menyukaiku. Mungkin di karen
last updateLast Updated : 2024-02-04
Read more

Part 88

Bang Dedi menjadi pias setelah mendengar ocehan gajeku. Ia segera mengumpulkan ketiga pasukan hatinya itu dengan cepat. "Dika-Diki-Anggi, pulang yok! Mama sakit perut," lirihnya berbohong. Padahal, sebenarnya aku masih ingin bermain dengan anak-anak nya, namun keinginan itu seketika ambyar dikarenakan lidah tak bertulang dari Mama mereka. Bang Dedi pasti juga syok. Tak menyangka jika ucapan istrinya akan berbalik menyakiti diri sendiri. Tak kan ada yang suka jika orang lain berbuat kurang ajar, terlebih-lebih di rumah si korbansendiri. Itu pun berlaku kepadaku. Sama saja jika orang itu tak menghargai si empu rumah, apalagi kedua orang tuaku yang jelas-jelas berada di antara kami. Aku bisa tenang seperti hembusan angin sepoi-sepoi yang dapat membuat orang tertidur karena nikmatnya hembusan itu, namun aku bisa berubah seketika, menjadi bah yang dapat meluluh lantakkan rintangan, yang menghadang di depan. Masalah sensitif seperti ini, kenapa harus selalu menjadi trending topik? Ap
last updateLast Updated : 2024-02-04
Read more

Part 89

Mobil silver plat Medan terparkir dengan rapi di sudut halaman rumahku, bersanding dengan truk dan pick up sayur Ayah. Ada tamu kah? Tapi, memang nggak heran sih. Ini musim-musimnya orang kawin, eh nikah ding, jadi kadang banyak orang datang ke rumah dengan mobil-mobil mewah untuk memesan sayur mayur untuk katering. Misal kentang, wortel, kol bahkan segala cabe, bawang pun, tak luput dari pesanan. Relasi Ayah menyebar di mana-mana. Itu dikarenakan, selain sayuran yang disediakan segar-segar, Ayah tak terlalu pusing untuk mengambil untung yang banyak. Motonya, asalkan barangnya cepat habis berganti dengan yang baru dan bisa sedikit bersedekah dari hasil penjualanannya. Pedagang soleh, aku menyebutnya. "Kinclong kali tuh mobil, Ying!" ujar Nanda, yang juga terusik dengan mobil silver itu. "Yoi, kinclongnya sampek bisa dijilat!" balasku sarkas. "Agoi amang, sosaknya ya! Ha ha ha," kekehnya yang merasa geli mendengar jawaban spontanku. Kami baru saja pulang dari rumah makan, 'Katerin
last updateLast Updated : 2024-02-04
Read more
PREV
1
...
7891011
...
16
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status