Home / Rumah Tangga / Aku Tak Bodoh / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of Aku Tak Bodoh: Chapter 61 - Chapter 70

151 Chapters

Part 61

Otak serasa di banting. Hati seperti di tikam mendengar ucapan sadis dari mulut orang yang menikahiku tiga tahun yang lalu itu dan itu benar-benar berhasil melemahkan rohku. "Sama Mas. Mana ada orang yang tahan hidup dengan kamu, jika kamu sejahat ini!" balasku tak mau kalah. "Apa maksud kamu?" bentak Mas Bima. Dia yang memulai, dia juga yang merasa tersakiti. "Pernahkah sekali saja kamu juga kirimin orang tua Firda uang, Mas? Tidak kan?" sindirku keras. "Hai, wajar! Ibu kamu masih punya suami, sedangkan ibuku sudah janda," timpalnya membela diri. "Jangan berlindung dari kata masih dan sudah, Mas! Ya, walau kedua orang tua Firda tak pernah sekali pun meminta dikirimi uang oleh anak perantaunya, tapi setidaknya tak pernahkah kamu ada sedikit rasa atau basa-basi untuk menyenangkan mereka? Tidak pernah bukan?" imbuhku yang merasa lega setelah mengatakan itu. "Sedikit sekali wanita yang mau menerima Ibu dari pasangannya untuk disayangi, dihargai, dan dimuliakan," ejek Mas Bima sinis
last updateLast Updated : 2024-01-13
Read more

Part 62

Mas Adit naik dan mulai menstater motor. Ia hendak melaju tetapi Mbak Yana memegang tangan suaminya dan cepat naik ke atas jok motor. "Ia deh, ayo!"Piuff … ada-ada saja. Aku terlalu asik melihat duo dajjal berlalu, sampai tak memperhatikan jika Mas Bima sudah pulang dan masuk ke dalam rumah. Aku mendapati Mas Bima pulang dengan wajah yang ditekuk. Mas Bima menuju sofa, ia masih diam tak menyapaku lalu merebahkan tubuh di sana. Memejamkan mata sembari memijit dahi dan tulang diatas hidungnya. Aku terus memperhatikan tingkahnya dengan ikutan duduk di sofa depannya. Tak lama, Mas Bima membuka mata. Memindahkan posisinya dari rebahan menjadi duduk dengan bersandar di bahu sofa. "Fir, ambilkan aer minum!" perintahnya tiba-tiba. Aku beranjak dari duduk, lalu bergegas melaksanakan apa yang diperintahkannya. Air dalam gelas tandas dengan tiga kali tegukan saja. Dehidrasi setelah dari rumah kakaknya? "Dek, motor belum ada juga?" tanyanya begitu gelas berpindah ke tanganku Tadi marah
last updateLast Updated : 2024-01-13
Read more

Part 63

Acara pun selesai. Arimbi mengeluarkan bungkus kotak makanan dan membagikannya kepada anak-anak satu per satu, sedangkan aku membagikan amplop dan cendramata kepada mereka. Anak perempuan aku hadiahi jilbab serta Al-Quran, dan anak lelaki aku hadiahi lobe serta Al-Quran. Mereka riuh menerima pemberianku. "Anak-anak, bukanya di rumah saja ya. Ayo jangan ribut dan ….""Sopaaaan," jawab anak-anak itu serempak. "Samlekom!"Salam aneh terdengar lagi dari teras. Ahh, aku menarik napas panjang. Siapa lagi kalau bukan Ibu mertuaku, Marni bin Markicob. Ia datang kemari pasti yang ingin dibahas sama seperti putrinya, uang. "Waalaikum salam." Kami menjawab berbarengan. "Loh sudah selesai? Katanya jam satu. Gimana sih tuan rumah yang ngundang ini!?" ujar mertuaku begitu ia sampai di dalam. Arimbi, Bu Fitri dan aku saling pandang tanpa ada yang berniat untuk menjawab pertanyaan mertuaku itu. "Loh loh loh ditanya kok pada diem-dieman. Tuli atau bisu ya?" Kembali ia berbicara tanpa ada kualit
last updateLast Updated : 2024-01-13
Read more

Part 64

"Hallah, banyak omong, kamu. Udah, Bu ambil aja apa yang Ibu suka!" selanya. Mbak Yana mendekat dan membantu Ibunya, memasukkan beberapa cemilan yang masih banyak ke dalam plastik. Aku dan Arimbi saling pandang. Ia hanya mampu menggelengkan kepala melihat aksi Ibu dan anak itu. Setelah puas mendapatkan apa yang dimauin, mereka segera meninggalkan rumahku dengan tersenyum senang. "Eh, Fir, lu katanya mau ganti hp baru, kan? Yuk sekarang aja. Biar gue yang nemenin!"Arimbi tiba-tiba berkata dengan lantang hingga membuat Ibu dan Mbak Yana berhenti dari langkahnya. Mereka berdua saling pandang lalu melirik ke arah Mas Bima, seperti ingin meminta penjelasan, yang dilirik langsung berpaling kepadaku. "Kamu mau beli hp baru?" tanyanya seketika. "Rencananya, Mas. Hp yang ini udah sakit. mungkin gegara pernah masuk kolam renang, jadi suka ngulah tiba-tiba," balasku malas. "Kenapa harus hp, sih? Seharusnya itu motor dulu," ucapnya sedikit meninggikan suara. "Ha ha, harga hp jauh di bawa
last updateLast Updated : 2024-01-15
Read more

Part 65

"Mana kalung Firda disini, Mas?""Mana Mas tau?" Mas Bima berkata sambil menuju kasur dan merebahkan tubuhnya dengan pelan, lalu gawai menjadi satu-satunya perhatian. "Jangan bohong kamu, Mas! Katakan dimana?" Kembali aku bertanya dengan sedikit menjerit. "Mas bilang nggak tau, ya nggak tau!" balasnya dengan berteriak tak ingin kalah. "Firda tanya untuk yang terakhir kalinya ya Mas Bim, siapa yang ambil kalung emas Firda di dalam laci ini?""Capek Mas ngomong sama kamu. Pulang-pulang bukan nanyain suami udah makan atau belum, malah nanyain kalung! Keterlaluan!""Baiklah, jika kamu tak mau mengaku, Mas."Aku bergegas keluar ingin menuju rumah Mbak Yana, karena aku yakin mereka pelakunya. "Mau kemana, kamu Fir?" tanya Mas Bima dari kamar yang masih aku dengar. Tak perduli. Aku melihat Arimbi yang sudah duduk dari rebahannya, ia menaikkan kedua tangan dan bahu, sebagai tanda sedang bertanya apa yang barusan terjadi antara aku dengan Mas Bima. Tanpa bersuara aku pun hanya memberi kod
last updateLast Updated : 2024-01-15
Read more

Part 66

Aku berhenti berjalan. Menarik napas dengan panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. Dirasa semakin sesak, kembali kuberbalik menatap Mbak Yana. Mandul, mandul, dan mandul terus yang diucapkannya. "Saya masih ting-ting, dan belum pernah bunting, tapi kok kamu yang menggeliting kayak cacing."Aku berjalan menuju Mbak Yana dengan sedikit bernyanyi, memplesetkan lagu Ayu Ting-ting yang terkenal itu. Tak lupa aku memungut handuk kecil yang menyembul diantara kain-kain yang aku serakkan di lantai tadi. Makhluk yang ingin aku datangi kembali menciut. Walaupun sudah menggunakan sarung tangan plastik, handuk kecil tetap aku perlukan sebagai penghalang telapak tanganku, agar tidak langsung bersentuhan dengan rambut Mbak Yana, karena rambutnya seperti landak. Eksekusi pun dimulai. "Kan, udah aku bilang, jangan nakal, nakal, nakal, masih aja nakkal!" Cres, cres, cres! Aku membabat rambutnya dengan gemes. "Tidak ... jangan ... huhuhu ... jangan ... hentikan Firda huhuhu ...""Hentikan
last updateLast Updated : 2024-01-15
Read more

Part 67

"Kau nggak bisa ngusir Bima dari sini?" protes Ibu mertua sangar. "Siapa bilang, Bu? Sebelum anakmu memijak lantai di rumah kontrakan ini, cap kakiku yang duluan terpatri! Kalian lupa?" Mereka bertiga saling pandang dengan diam. Ya, walau rumah kontrakan, aku terlebih dulu yang memasuki rumah ini sebelum dipersunting Mas Bima. Ibarat kata, kami adalah jodoh lima langkah. Aku mendapatkan rumah kontrakan ini dari Bu Kokom yang tak sengaja bertemu ketika kami sama-sama belanja di pasar tradisional. Saat itu dia sedang belanja buah jeruk, sedangkan aku belanja buah apel. Karena kantong plastik berwarna hitam, dan buah kami berada di deretan yang sama, Bu Kokom salah mengambil bungkusan buah dan ingin berlalu. Aku yang mengetahui ia salah bawa, langsung mengejarnya dan menunjukkan kalau buah yang diambilnya salah. Ia terlihat malu dan tertawa terbahak-bahak. Dari situlah kami memulai perkenalan. Pembawaan Bu Kokom yang asik dan ceplas-ceplos membuatku merasa nyaman. Kami bercerita ng
last updateLast Updated : 2024-01-15
Read more

Part 68

Begitu di dalam mobil, gawai Mas Fadil berdering. Aku dan Arimbi hanya mampu mendengar perkataannya tanpa tahu apa yang dibahas. "Kata teman Mas, kita ngelapor dulu ke kantor polisi, baru nanti dari sana kita diarahkan untuk visum. Nih barusan dia yang ngabarin," jelas Mas Fadil tanpa kami bertanya. "Oh, jadi ni kita ke kantor polisi dulu aja, Mas?" Arimbi memastikan lagi. "Hog oh!" jawab Mas Fadil. Mas Fadil menyalakan mesin mobil, dan mulai memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Arimbi, dengan senang hati menjadikan dirinya sebagai jubirku.Ia menjawab setiap pertanyaan dengan lugas, cepat dan akurat, dan yang pastinya tak ketinggalan suara kekehan panjang dan jeritan tarzan simpanannya. Bukan main! Rame! Sohibku itu bercerita dengan diikuti rekonstruksi adegan ala dirinya, dimana ia memperagakan semua kejadian di depan matanya tadi dengan kehebohan yang sungguh ter-la-lu. Terlalu sempurna!Ketika ia menceritakan adegan aku bersujud lalu memanjatkan doa, Mas Fadil yang du
last updateLast Updated : 2024-01-15
Read more

Part 69

"Beb, kamu nginap di sini?" tanya Mas Fadil kepada Arimbi ketika kami sudah berada di depan rumah kontrakan. "Em …" Arimbi terlihat bingung mau jawab apa. "Lu pulang aja, Mbi. Gue udah gak papa. Tapi kalo lu mo nginap, ya nggak bakalan gue usir juga kale," celetukku. "Gue pulang aja deh ya, Fir! Kalau ada apa-apa lu bisa kabari gue!" "Siap! Aman itu! Palingan, motor entar gue ambil lagi ke tempat lu! Kangen gue sama si merah," kataku, mengingat saat ini aku sudah perlu motor. "Yoi, besok Mas Fadil ato siapaaa gitu, gue suruh bawakan kemari. Kalau suasana hati belum stabil, nggak usah kerja dulu, nggak enak liat wajah lu yang masih lebam," usul Arimbi. "Ah, lebam-lebam masih manis juga kok!" kataku narsis. "Memang! Aura manis dan cantik lu langsung keluar loh, Fir! Iya kan, Mas?" "Haaah … Mas harus jujur atau bohong?" Mas Fadil malah menjawab pertanyaan dengan bertanya. "Jujur!" jawab Arimbi cepat. "Kalian nggak lapar?""Lah, ha ha ha. Mas lapar toh?" tanya Arimbi dengan keke
last updateLast Updated : 2024-01-15
Read more

Part 70

Pernah waktu itu, Ibu sampai meneleponku agar pulang dulu untuk meminjam uang. Padahal saat itu Firda jelas-jelas di rumah karena sakit. Apa salahnya sih ia kasihkan dulu uangnya buat keperluan Ibu, ini malah menunggu aku pulang dengan meminjam uang kantor, baru uang pribadinya ia tambahkan. Bahkan, karena uang yang dipinjam Ibu, ia sampai menjarah semua makanan di rumah Mbak Yana. Sebenarnya dia itu anak orang berada atau bukan, sih? Perempuan seperti apa yang sebenarnya aku nikahi ini? Nah, selain tak bersahabat dengan Ibu dan Mbak Yana, Firda juga tak cocok dengan Tante dan sepupuku yang baru datang karena melarikan diri dari kampungnya. Mereka tak sanggup membayar uang arisan yang telah digelapkan. Aku heran mengapa tak ada yang cocok hidup berdampingan dengan istriku itu. Dia bahkan menentang keputusanku untuk membawa serta Tante dan Viona untuk tinggal bersama di kontrakan kami. Aku hanya kasihan kepada mereka, tidak mungkinkan mereka terlunta-lunta diluaran sana, dan tidak me
last updateLast Updated : 2024-01-15
Read more
PREV
1
...
56789
...
16
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status