Sepertinya Ibu sudah mulai mencium bau-bau ketidakberesan. Di meja makan aku sudah terlihat mencurigakan, ditanya malah balik bertanya. Luka yang ada di tangan, hingga mendadak datang dan itu pun sendirian. Padahal sudah lama aku dan Mas Bima tak pulang. "Nggak ada loh, Bu! Mas Bima belum dapat cuti, kalo Firda udah sama si Ultramen Gentong," jelasku takut-takut. "Ultramen Gentong? Apa itu?" Aman, tak menyangka jika Ibu malah membahas si Oppa gangnam style. "Ibu lupa? Itu loh, anaknya Babah Along, yang rumahnya dulu dekat parak-parak (semak,red) di ujung kede. Ternyata anaknya itu, bos Firda di Jakarta, Bu! Semalam, pulangnya ya sama dia jugak!" ocehku dengan bersemangat. Si Alek-Alek yang tukang nanges itu? Yang kalok udah nanges ngadu kemari ama si Lin-Lin." Ibu mengingat masa lalu sambil matanya menerawang ke langit-langit kamar. "Haaaag ... iya ... itu ... Firda aja nggak nyangka, kalok dia yang bisa gantiin bos Firda yang pertama, Bu!" jelasku semakin bersemangat, agar Ibu
Ibu melihatku sekilas, lalu kembali menyusun piring bersih ke dalam rak piring. Kulihat Wak Emi juga sedang melirikku dari meja makan. Tangannya penuh dengan bumbu arsik, sedangkan piringnya penuh dengan tulang-belulang ikan. Kelihatannya ia baru saja menandaskan nasi ibuku satu panci. "Fiir," sapanya sambil menjilati tangan. "Halo, Wak!" jawabku malas. "Kapan datang?" Basa basinya"Semalam, Wak!" Aku menjawab sekedarnya saja. Malas jika harus menjawab berjilid jilid, bakalan bisa nginap dia di sini. "Iih, kenapa matamu? Kok bisa bengkak gitu?"Nah, kan tengoklah. Agoi amang. "Dicium kecoak." Kudekati Ibu, lalu memeluknya dari belakang. Ia sedikit terlonjak karena tak menyangka akan mendapat pelukan tiba-tiba dariku. "Iiih, apanya kau! Basah belakang ibu, keringatan!" ujar ibuku sambil menggeliat risih, karena memang belakang bajunya basah. "Wangi kali pulak, jadi lapar awak. Eemmm ... Wanginya aja udah kayak gini, cemana lagi rasanya ... maknyooos ..." kataku memuji masakan I
Pergi menjauh, lah! Tinggalkan orang macam itu. Tak pala ko balas, cukup pigi! Capek-capek-in badan aja terus berurusan sama orang kayak gitu!" sahut Ayah bersemangat, dengan memberi saran yang terdengar tegas. Baiklah, Tarik napas ... buang. Huff ... oke Fir, lanjutkan! "Jadi ... kalok permasalahannya juga berlaku sama pasangan suami istri, bagusan menjauh juga, Yah?""Tergantung, masih bisa diselamatkan ato gak!" "Kalo nggak bisa lagi, Yah?" tanyaku antusias sekali. "Ya, lepaskan. Mau rupanya terus berjalan di dalam ruang gelap yang gak ada cahaya? Bisa sih bisa, Nak ... tapi capek lah! Kalo Ayah, gak pala mau lah capek-capek. Tinggalkan ruang gelap itu, cari cahayanya. Jadi, kita mo gerak kemanapun nggak susah lagi. Cocok ko rasa, Ying?" Ayah membiarkanku untuk berfikir sejenak atas apa yang sedang dijabarkannya. Masuk akal memang, dan itu membuatku sedikit lega. Tapi dalam kasus rumah tanggaku, aku takut yang paling tersakiti adalah Ayah dan ibuku. "Bahas siapanya kau ini?"
Lumpur di kaki tak menggangguku ketika berjalan santai di pajak (pasar) Parluasan yang begitu kurindukan. Ibu berjalan di depan dengan Nanda, sedangkan aku mengekor di belakang mereka. Tangan mereka sudah penuh dengan tintingan belanjaan, sedangkan aku dibiarkan melenggang tanpa beban. Beban hidupku sudah banyak, jadi nggak perlu diberi beban dulu, begitu ucap ibuku tadi. "Maree ... dipeleh-dipeleh, yang sayang anak ya, Kak, yang sayang anak, yang sayang anaaaaak. Maree dipeleh-dipeleh.""Jeroknya ya mamak ku. Jeroknya. Jamin manis. Pantang asam. Kalo asam bukan punyaku. Sappoloh rebo-sappoloh rebo.""A ... paaa sama mu, Kak. A ... pa sama mooo. Kau mo aku, bawaak, mau barangku juga boleh. Yang mana samamu, Kak. yang mana samamu, Mak."Suara pedagang saling sahut-sahutan menjadi daya tarik di pajak Ini. Berebut pembeli dengan ciri khas masing-masing. Aku kadang tertawa sendiri jika mereka sudah menyerang dengan jeritan membahananya. Di salah satu tempat, aku melihat dua orang anak
"Ha ha ha. Iya, Kak, bet-tol itu. Karna kalok nanti sodara ada yang datang minjem uang, aku udah ready. Nggak perlu bilang nggak ada. Ha ha ha. Apalagi orang yang utang minjem melas-melas, bayarnya malas-malas," cicitku sarkas karena tahu dari Nanda, jika Kak Loli suka meminjam uang padanya, tapi tak pernah dibayar, sekalinya bayar, itupun di cicil. Anneh, minjem uang kok sama anak kuliahan. Ku lihat air muka kak Loli berubah seperti wajah pecel lele. Pasti mentalnya langsung terganggu, sampai terbang ke Taj Mahal. Asek-asek, jos! "Ya Tuhan, Fir ... disekolahkan tinggi-tinggi supaya nggak kek Ayah-ibukmu. Ni malah lebih parah. Sama-sama jualan. Ha haha." Lagi, ia membalas tajam ucapanku sambil tertawa lirih. Dunia memang tak akan kehabisan orang-orang dengki, bin iri alias julid. Malah, keadaan itu datangnya selalu dari lingkungan keluarga sendiri. Seperti emak beranak tiga ini contohnya, sebelas dua belas dengan mamaknya. Dari dulu kak Loli memang tak menyukaiku. Mungkin di karen
Bang Dedi menjadi pias setelah mendengar ocehan gajeku. Ia segera mengumpulkan ketiga pasukan hatinya itu dengan cepat. "Dika-Diki-Anggi, pulang yok! Mama sakit perut," lirihnya berbohong. Padahal, sebenarnya aku masih ingin bermain dengan anak-anak nya, namun keinginan itu seketika ambyar dikarenakan lidah tak bertulang dari Mama mereka. Bang Dedi pasti juga syok. Tak menyangka jika ucapan istrinya akan berbalik menyakiti diri sendiri. Tak kan ada yang suka jika orang lain berbuat kurang ajar, terlebih-lebih di rumah si korbansendiri. Itu pun berlaku kepadaku. Sama saja jika orang itu tak menghargai si empu rumah, apalagi kedua orang tuaku yang jelas-jelas berada di antara kami. Aku bisa tenang seperti hembusan angin sepoi-sepoi yang dapat membuat orang tertidur karena nikmatnya hembusan itu, namun aku bisa berubah seketika, menjadi bah yang dapat meluluh lantakkan rintangan, yang menghadang di depan. Masalah sensitif seperti ini, kenapa harus selalu menjadi trending topik? Ap
Mobil silver plat Medan terparkir dengan rapi di sudut halaman rumahku, bersanding dengan truk dan pick up sayur Ayah. Ada tamu kah? Tapi, memang nggak heran sih. Ini musim-musimnya orang kawin, eh nikah ding, jadi kadang banyak orang datang ke rumah dengan mobil-mobil mewah untuk memesan sayur mayur untuk katering. Misal kentang, wortel, kol bahkan segala cabe, bawang pun, tak luput dari pesanan. Relasi Ayah menyebar di mana-mana. Itu dikarenakan, selain sayuran yang disediakan segar-segar, Ayah tak terlalu pusing untuk mengambil untung yang banyak. Motonya, asalkan barangnya cepat habis berganti dengan yang baru dan bisa sedikit bersedekah dari hasil penjualanannya. Pedagang soleh, aku menyebutnya. "Kinclong kali tuh mobil, Ying!" ujar Nanda, yang juga terusik dengan mobil silver itu. "Yoi, kinclongnya sampek bisa dijilat!" balasku sarkas. "Agoi amang, sosaknya ya! Ha ha ha," kekehnya yang merasa geli mendengar jawaban spontanku. Kami baru saja pulang dari rumah makan, 'Katerin
"Pak bos, maap. Bagian pengembang lahan, menelpon ini." Ucapan Pak Oppa terpotong karena tiba-tiba Pak Sarul masuk ke dalam rumah memberi kabar dengan menyerahkan gawai ke tangan bosnya itu, "Terima kasih, Pak!" ujar Pak Oppa sopan. Setelahnya, supir itu kembali duduk di dalam rumah, namun posisinya agak menjauh dari karpet yang kami duduki. "Pak, Bu, maaf, saya terima telpon dulu." Pak Oppa meminta izin dengan sopan pada Ayah ibuku. "Oh ya, silahkan!" balas kedua orang tuaku berbarengan. Terlihat Pak Oppa sibuk berbalas kata dengan orang di seberang gawainya. Tak ingin terkesan menguping pembicaraan, aku membuang pandangan ke arah Nanda. Tapi ternyata ... Nanda terlihat bengong dengan mulut yang menganga. Layaknya otang yang baru mendapat syok terapi jiwa, pandangan matanya tak lepas dari makhluk yang bernama Alex. Waduh! Kacau balau ini bocah!"Eh, keasyikan ngomong sampek lupa nawarin minum. Mau minum apa, Pak bos?" tawar ibuku setelah melihat Pak Oppa selesai menelepon. "I
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best