"Pak bos, maap. Bagian pengembang lahan, menelpon ini." Ucapan Pak Oppa terpotong karena tiba-tiba Pak Sarul masuk ke dalam rumah memberi kabar dengan menyerahkan gawai ke tangan bosnya itu, "Terima kasih, Pak!" ujar Pak Oppa sopan. Setelahnya, supir itu kembali duduk di dalam rumah, namun posisinya agak menjauh dari karpet yang kami duduki. "Pak, Bu, maaf, saya terima telpon dulu." Pak Oppa meminta izin dengan sopan pada Ayah ibuku. "Oh ya, silahkan!" balas kedua orang tuaku berbarengan. Terlihat Pak Oppa sibuk berbalas kata dengan orang di seberang gawainya. Tak ingin terkesan menguping pembicaraan, aku membuang pandangan ke arah Nanda. Tapi ternyata ... Nanda terlihat bengong dengan mulut yang menganga. Layaknya otang yang baru mendapat syok terapi jiwa, pandangan matanya tak lepas dari makhluk yang bernama Alex. Waduh! Kacau balau ini bocah!"Eh, keasyikan ngomong sampek lupa nawarin minum. Mau minum apa, Pak bos?" tawar ibuku setelah melihat Pak Oppa selesai menelepon. "I
Obrolan ku terputus, karena suara Nanda sudah melengking saja, memanggil dari balik pintu yang tertutup. "Mbi, gue putus dulu. Ada tamu gue?""Lah ... yo wes lah. Kirim salam ama Ayah Ibu lu ya, Fir!" pinta Arimbi cepat. "Males! Masa cuma kirim salam doang. Kirim duit lah!" ledekku senang. "Baru seminggu juga, udah mirip kayak Mbak Yana, Lu. Ck, dah matiin deh. Gue mager!""Syalan. Oke. Dadah babay. Mmuuach.""Mmuuach."Aku bergegas turun ke bawah. Menduga-duga di setiap anak tangga yang kupijak. Siapa lagi tamuku kali ini? Cewek-cowok, tua-muda, teman-lawan. Kakiku telah memaku di ruang keluarga, tak ada seorang pun di sana. Namun, telingaku menangkap suara cempreng dengan tawa bahagia di barengi jeritan-jeritan kecil di ruang depan. Kayak kenal itu suara siapa. Bergegas melangkahkan kaki ke ruang tamu, mataku terpaku pada seorang wanita cantik. Benar saja seperti dugaanku, bahwa yang menjerit dengan kekehan tadi adalah … Lin Lin. Selanjutnya mata ini berpindah arah pada seorang
"Jadi ... kalian bertiga sering ceritain akuuu?" pekikku dengan jari telunjuk mengarah pada mereka berdua secara bergantian.Dua orang berkulit putih bak salju itu tak menjawab. Namun, anggukan kompak dan cepat yang mereka lakuin secara bersamaan, sudah menjadi jawaban telak untuk pertanyaanku."Tunggu, tunggu, tunggu. Kalian kok bisa tau, aku di Jakarta dan kerja di perusahaan itu? Mana tiba-tiba, Alex yang ono jadi bos aku lagi!" Tingkat penasaran sekelas detektif sudah menyerangku. Apa yang terlintas di dalam benak harus di luahkan agar tak menjadi sarang penyakit."Oh, itu Aku Ying. Di Medan nggak sengaja we ketemu ama itu Fitli. Dia kasih tau, kalo lu olang udah kelja di Jakalta. We kepo dooong. Oblak ablik media sosial cali akun lu. Eeh ... nemu dan taunya lu kelja di salah satu anak pelusahaan Papa kita. Tadinya sih, aku yang mo handel, Tapi malah Alex yang pingin pegang. Makanya gitu pimpinan diganti, Alex masuk. Kayaknya tu olang penasalan banget ama lu ya. Hahahahahahah." Al
Jabang bayik. Mau dibalas bulli, tapi rasa segan sudah merasuki. Didiami kok malah ngelunjak? Mau kamu apa, Ultraflu? Andaikan saja tadi aku belum mengetahui siapa dibalik topeng nan tampan ini, sudah kupastikan kamu akan tralala trilili karena lambe turahku Pak Oppa. "Kita pulang, Pak?" tanyaku yang tak tau lagi mau ngomong apa. kali ini aku yang mati gaya. "Sabar, dong! Belum juga muter-muter cari angin!" tukasnya selembut salju. "Angin gosah di cariin, Pak! Entar itu angin datang kasih kabar, dia bilang se su sanang deng dia di sana," ucapku. Plup! Aku reflek menutup mulut, sereflek mulutku mengucapkan kata-kata barusan dengan lancar tanpa berembel nyanyian. Suer! Plis deh. Pliiiis banget loh, Lut! Aku pengen berubah. Pengen polos, pengen insaf dan pengen taubat dari kenyinyiran yang hakiki terhadap Pak Oppa. Tapi ternyata ini lambe belum bisa move on mendadak. "Gak sekalian aja, Nona Firda, kamu bilang, angin, bisakah kau turunkan hujan, aku—""Pak, ralat! Itu langit, buk
Masa cuti telah berakhir. Rencananya, besok siang aku akan kembali ke kota Jakarta. Namun hari ini, Ibu, Ayah dan Nanda sudah heboh mempersiapkan segala tetek bengek yang akan ku bawa pulang. Pulang kampung hanya membawa dua koper, begitu kembali bisa beranak pinak menjadi lima koper. Ah, ada-ada saja keluargaku ini, yang mereka pikirnya, aku pulang naik truk? Seminggu rasa sehari, terlalu kurang banyak untukku, si anak perantauan yang belum puas melepas rindu. Tapi anehnya, baru seminggu berada di istana sayur mayur, perubahan bentuk tubuhku serasa sudah setahun. Membengkak di sana-sini. Perasaan, dimana pun ratu berada selalu mempunyai tubuh yang ideal, namun tidak dengan Ratu Poying. mengherankan!Tiket pesawat dan segala keperluan ternyata katanya, telah diurus oleh Pak Oppa. Amazing banget itu orang, karena rencananya kami berempat akan pulang ke Jakarta. Padahal ya, setelah pulang dari malam berhujan, ia terlihat jutek setelah aku menolak pertolongannya untuk menyewa pengacara
"Hallah, ada gitu ya, mo ngasih, tapi dimintak balek," desis Wak Emi sinis dengan mulut miring ke kanan-kiri. Astaghfirullah ... "Bah! tadi katanya—""Kenapa, Mak?"Sebuah suara menghentikan ucapanku. Oneng, anak bontot Wak Emi menghampiriku. Wajahnya begitu kilat, menyilaukan seperti sinar bohlam. Skincarenya pasti dari prodak minyak curah. Licin dan kilat. Semut aja bakalan terpleset jika berjalan di wajahnya. Tapi itu pun kalau si semut mau. "Eh, Oneng. Pa kabar? Sehatnya?" sapaku dengan mendekatinya. Segera mengulurkan tangan untuk berjabat. "Sehatlah! Lahir batin pun!" Oneng ikut mengulurkan tangan. Namun, bukan telapak tangan yang disodorkannya, melainkan punggung tangan yang mengarah tepat ke arah hidung bangirku, seolah-olah aku harus mencium punggung tangan tersebut.Agoiamang. Mintak dipites nih bocah. Mendapat perlakuan tak sopan dari anak ingusan seperti dia, juga sayang jika harus ngeluarin suara, aku mengangkat tangan kiri dengan gerakan sigap. Lalu memasukkan jari t
Aku melenggang dengan yakin. Bukankah kita dianjurkan untuk mendoakan saudara kita yang lain? Nah, hari ini, perbuatan baik itu telah ku lakukan. Aku masih melenggang dengan senyum yang merekah, sebelum melewati rumah Wak Emi. Namun senyum itu menghilang ketika ku lihat pemuda yang tangannya ku pelintir tadi, sedang duduk mesra dengan Oneng. Berhadap-hadapan di depan pintu rumahnya. "Bayaaa ... udah jadi tukang kusuk (urut) kau, Neng?" Aku berhenti tepat di depan mereka, namun masih berada di jalanan gang. Berkata karena melihat kedua jari jempol Oneng sedang mengurut pergelangan tangan pemuda itu. Oneng dan pemuda itu tersentak. Mereka mendongak berbarengan untuk melihat ke sumber suara. Pemuda itu melotot begitu mengetahui siapa pemilik suara yang menegur barusan. "Heppot (sok sibuk/ ikut campur urusan orang)!" Jawaban singkat dari mulut Oneng terdengar lucu di gendang telingaku. Kemudian ia menunduk dan mempekerjakan kembali kedua jempolnya untuk aksi yang sempat tertunda tadi
Pak Tamin berjalan tergopoh gopoh begitu melihat kami berdua keluar dari pintu utama bandara. Dia memasukkan barang-barang bawaan kami satu per satu dengan pelan ke bagasi mobil. Tak ingin sebagai penonton, aku turut serta membantu Pak Tamin, memasukkan barang ke dalam mobil. Melihatku juga ikut sibuk, Pak Oppa malah ikutan juga. Kompak da ah. Barang bawaan Alex dan Lin Lin juga telah selesai di masukkan ke dalam mobil. Kami meninggalkan bandara dengan beriringan, namun di perempatan lampu merah kedua, kami berpisah. Pak Oppa mengantarkan ku terlebih dahulu, namun sebelum pulang ia malah membawaku entah kemana. "Kita mau kemana ini, Pak? Ini bukan jalan menuju rumah saya, bukan?""Saya ngeleh (lapar), Nona!"What? Lee Min Ho ngomong ngeleh? Tak berselang lama dari ucapan Pak Oppa, kami telah sampai di sebuah restoran yang cukup ternama. Aku dipaksa turun. Ternyata diculik untuk menemaninya makan. Ck, dasar ultraflu. Pengen ngelus pipinya pake amplas. Mobil telah berhenti di depa
Gimana? Gimana? Udah lebam belom, Oppa?" Masih mau membrendelku dengan candaan mematikan? Sook. Hayyuk. Aku jabanin. Pintu terbuka. Lin Lin tampak berjalan sembari mengelus perut ratanya. Di tunggu dari tadi, nggak dateng-dateng. Masih asyik terapi sepupunya, dia malah nongol. Nggak seru kalau ada mata lain yang melihat. "Hallo. We kalamaan, ya? Bersihin perut ampe cling tadi, jadi lama. Oia, gimana kalau kita makan siang bareng sambil bahas ini di kantin, Kakak-kakak!" ajaknya masih berdiri di samping sofa memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Maaf, Lin. Sepertinya perut Kakak udah nggak sanggup dimasukin makanan lagi," balasku berusaha tenang dengan ikut mengelus perut seperti Lin Lin tadi. "Loh, kenapa? Bukannya belum makan siang ya, Kak?" Dia berjalan dan duduk di tangan sofa di sebelah sepupunya. "Kenyang minum ini," tunjukku pada gelas milk shake. "Minum gituan aja masak kenyang sih, Kak?" protes Lin Lin tak percaya. Memang sih, aku berkata kenyang karena ada satu
Garis lengkungan tertarik di bibirku. Sebuah balasan akhirnya masuk. Sebuah stiker. Aku cepat mengunduh stiker itu. 'Percuma dihapus, malaikat sudah mencatatnya'Hah? Hahahaha. Aku tertawa keras membaca balasan lucu darinya. Benar kan! Ia selalu dapat membuatku mati gaya dalam segala hal yang kulakukan. Baik itu disengaja maupun tak disengaja, dan itu lah yang membuatku selalu merindui kekonyolannya. Tak ingin kalah, aku kembali membalas pesan darinya. Sebuah stiker balasan ku kirim. 'Aku read aja biar kamu sakit hati'Tak berselang lama ia terlihat mengetik sesuatu. Aku menunggu dengan harap, kekonyolan apa lagi yang akan membuatku tertawa oleh tingkahnya. [Share lokasi, ribut kita.]Buahahahahaha. Ya Allah. Katanya ia mau cari ribut? Buahahahahaha. Tuhan ... sesenang ini aku menerima pesan darinya yang ngajak ribut. Jangankan ribut, Nona. Tawuran pun aku mau, asal bersama kamu. Hahaha. Selucu inikah rasanya jatuh cinta? Poying ... ah ... utung saja kamu jauh di sana, Nona. Jika
"Koko nggak keren loh, Kak. Buncit! Lagian ... wajahnya kurang menjual kalau di photo. Hahahaha." Lin Lin mengibaskan tangannya di udara dan malah tertawa ngakak karena sudah menghina koko-nya sendiri. Dasar! "Sama! We juga buncit!" balasku membusungkan perut yang six-pack. Kacau! Walau sudah digembungkan, tetap saja ia tak mau membuncit sempurna seperti miliknya Alex. Shit! "Nggak usah dipaksain. Nggak bakalan sama. We udah kroscek. Hahaha." Lin Lin menekan-nekan perutku dengan jari telunjuknya sembari tertawa lucu. Entah apa yang lucu di sana. "Terserah deh ... siapa yang mau Kakak jadiin pasangan. We nggak paksa dari agen we. Yang penting Kakak mau aja. Ya ya ya," sambungnya kembali dan terus saja membujukku. Lin Lin merampas kotak susu yang ada di tangan, karena aku berniat akan menuangkannya lagi ke dalam gelas. Ia menuangkan susu itu ke dalam gelas yang sudah aku gunakan karena terlalu malas untuk mengambil gelasnya sendiri. Huh, untung saja ia sepupu sendiri. Jika tidak, gel
"Ayo yooo ... siapa yang mau ngelamar siapa niiih?"Aku kaget dan menoleh ke sumber suara. Lin Lin? Kapan dia datang? Kenapa aku tak mendengar dia masuk ke ruangan ini? Perempuan berkulit putih dan bersih itu berjalan anggun mendekati sofa yang kami duduki. Sederhana namun terlihat berkelas. Baju kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kembang dengan sepatu bertumit. Rambutnya digulung seperti gulungan siput. Wanita ini begitu berkelas. "Alo kak Poyiiing. Pa kabar, Luuu?"Lin Lin semakin mendekat. Aku yang masih ngebug hanya duduk saja di sofa. Pantatku juga ikutan ngebug. Dia lengket tak mau berpindah, padahal Lin Lin sudah di hadapan dengan membuka tangannya untuk memelukku. Namun aku tak juga berdiri untuk menyambut wanita cantik itu. Lin Lin mengalah, ia gegas menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku yang masih menatapnya dalam diam. "Kangen deh ama kak Poying." Akhirnya ia yang duluan memelukku dalam duduk. Lin Lin juga mengelus punggung. Seperti tersadar, aku pun baru membalas
Jadi pasangan? Aku? Maksudnya? Sebentar ... sebentar. Ngebug—ngebleng—ngelag. Semua itu ada padaku gegara ucapan yang keluar dari mulut si ultrasound, prodak luar ini. Tugas dari Tuhan saja, kadang aku lalai. Laah, sekarang malah makhluk-Nya yang menambah-nambahi tugas, MIKIR KERAS! Tok tok tok! Suara ketukan di pintu kaca menyelamatkan diri sesaat dari pikiran berat. "Masuk," jawab Oppa mengalihkan pandangnya dari diriku. Pintu kaca itu bergerak pelan. Seseorang masuk, dan aku lihat itu adalah Jessica. "Maaf, Pak. Ini ...." Perkataan Jessica menggantung dan langkahnya mendadak terhenti. Ia mematung masih di dekat pintu. Wanita cantik itu memperhatikan kami berdua secara bergantian. "Emm maaf, jika saya datang pada saat yang tidak tepat. Saya bisa datang lagi nanti, Pak," lanjutnya kemudian setelah diam beberapa detik. Sekretaris Oppa itu gegas memutar badannya hendak berlalu menuju pintu kembali, namun langkahnya lagi-lagi terhenti karena pria di depanku ini cepat menyapanya. "
"Buat apa kamu minta dia untuk tetap tinggal lagi di sini sih, Bim. Aneh kamu tuh! Biar aja dong dia pindah, kamu mau ibu sama mbak-mu dijadikannya babu terus di rumah kita sendiri? Udah ... cepetan diselesaikan sidang kalian, bener katanya kamu nggak usah datang, biar urusannya cepat kelar! Siap itu kamu bisa bebas, segera menikah dengan Susi.""Bener! Jauh Susi kemana-mana lah, Bim, dari kan perempuan ini! Kamu liat kan! Lelaki yang dikenalkan Susi sama Mbak! Nggak main-main," celetuk Mbak Yana menimpali ucapan ibunya. . . . "Aamiin, Mbak. Ibu do'ain semoga semuanya lancar, selancar jalan tol, bebas hambatan. Asal nggak nyungsep gegara licin. Hehehe," timpal bu Asih yang membawaku kembali dari ingatan seminggu yang lalu bersama mantan suami dan keluarganya. Kami terus bercanda di teras rumah, hingga hampir memasuki waktu azan magrib. Kami berempat gegas masuk ke dalam rumah. Aku berniat menutup pagar besi namun dari kejauhan aku melihat sesosok lelaki berkaca mata hitam dan ber
"Mana sisa uang gaji, Bima, Fir?" Ibu mas Bima seketika menodong ku ketika baru saja aku membawa tubuh ini keluar dari dalam kamar, setelah selesai salat subuh. "Ya, ampun. Masih pagi juga, Bu. Uang-uang aja sih yang di pikirin!" desis ku kesal pada wanita paruh baya di depan ku ini. "Suka-suka saya dong! Duit-duit saya.""Oh, suka-suka ibu, ya! Oke, sekarang saya pun mau suka-suka. Enyah dari rumah kontrakan ini. Angkatin semua barang-barang itu. Sekarang!"Bu Marni terpaku dan terdiam di tempatnya. Dia hanya melengos dan segera berlalu dari hadapanku. Cemen. Aku tak jadi keluar. Segera masuk lagi ke dalam kamar dan gegas menelepon orang yang akan membantu kami untuk pindahan. "Bang, sekarang bisa? Eneg aku udah di sini, Bang!" "Oke, Siap-siap aja-nya aku, Kak. Dua orang ku bawak kan?""Iya, bawak aja berapa yang ada pasukan Abang! Gampang itu, yang penting ongkang-ongkang kaki aja kami lagi. Terima bersih," pintaku pada bang Turnip. Selain menerima jual beli barang seken, ternya
"Tante Firda, itu mamanya Dini, kan?" Tiba-tiba Rara berkata sambil menunjuk seseorang di depan kami. Aku mengikuti arah telunjuk gadis kecil itu. Dan benar saja dari kejauhan aku melihat mbak Yana sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki tua yang cocok dipanggil kakek oleh anaknya. "Iya, Dek. Itu mamanya Dini," sambung Rahmat membenarkan ucapan adiknya. "Itu bukan papanya Dini kan, Tan?" kata Rahmat lagi kepadaku. Aku hanya berpandangan sesaat dengan bu Asih. Kemudian mengajak mereka terus saja berjalan tanpa memperdulikan wanita yang sudah berbelok masuk ke dalam gerai pakaian dalam itu. Mbak Yana dengan lelaki tua, sedangkan kemarin suaminya ada affair dengan wanita tua. Ck. Dini, please jangan copas kehidupan mama dan papa kamu ya. Batinku miris. Aku selesai makan. Pilihan kami jatuh pada gerai K*C. Semua menu yang disukai anak-anak ku pesan. Foya-foya sedikit tak apalah, mana tahu besok-besok oppa berkenan memberikan uangnya lagi dengan cuma-cuma buat anak-anak ini. H
Kursi yang sedang ku putar-putar ter-jungkang ke belakang karena keseimbangan ku goyah. Tak sampai disitu, map yang berada di atas meja ikutan jatuh dan menimpuk dahi, hingga ku lihat beribu bintang di kepala Arimbi yang menatap datar kepadaku. Aji gile. Serasa bumi tak berputar selama 5 detik. Hahahaha. Suara tawa menyusul dari berbagai penjuru mata angin. Suara insiden barusan mampu menghipnotis panca indra mereka untuk menyaksikan keadaanku yang menyedihkan ini. Syalan. Malunya saat ini pasti bakalan selalu teringat pas p*p, dan skincare-an. "Petakilan!" ucap Arimbi tanpa berniat membantuku. Padahal terjadinya kecelakaan beruntun ini, diakibatkan telingaku menangkap sebait kalimat pamungkas dari mulut mbak bestie. Sakit.Aku mencoba berdiri tanpa bantuan. Begitu melihat teman-teman yang masih terbahak menertawai keberuntunganku barusan, aku pun ikatan ngakak sambil melengos. Kedua tangan saling mengusap bokong dan dahiku secara bersamaan. Aku kembali teringat perkataan mbak best