Home / Romansa / TERNODA DI MALAM PERTAMA / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of TERNODA DI MALAM PERTAMA: Chapter 81 - Chapter 90

197 Chapters

Bab 81

Rimba menikmati makan dalam kesendirian. Bibirnya melengkung indah karena mendapatkan beberapa pesan suara juga video dari sang istri. Aline mengirimkan video dirinya yang konyol dengan memakai suatu aplikasi. Ada yang berpose seperti kucing, kelinci, penyihir dan lain-lain. Juga beberapa pesan suara yang merengek agar Rimba segera pulang.Rimba menahan sekuat tenaga rasa rindu yang sama besarnya. Dia menyuap dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya tak henti mengotak-atik ponsel."Boleh ikut makan di sini?" Sebuah suara yang merdu membuyarkan keseruan Rimba. Lelaki itu mematikan layar ponsel dan menoleh ke arah suara. Seorang wanita cantik, dengan tubuh semampai tengah berdiri dengan sebuah piring di tangan sedang meminta persetujuannya. Rimba menatap sekeliling, rupanya kursi-kursi sudah penuh terisi oleh tamu yang sedang makan malam."Ah, silakan," jawab Rimba akhirnya. Wanita itu meletakan piringnya terlebih dahulu sebelum menggeser kursi dan mendudukinya."Maaf, kalau mengga
Read more

Bab 82

Berbicara untuk menyelesaikan masalah secara langsung, akan lebih baik, ketimbang menyelesaikan di telepon. Ya, Aline tidak akan dulu termakan dengan hasutan. Dia curiga, mungkin saja ada orang yang berniat buruk pada suaminya itu."Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikan hati, tetapkanlah hatinya hanya padaku," desah Aline dalam doanya.***Rimba terbangun dengan tubuh yang terasa sakit. Dia menggeliat lalu mengingat-ingat bagaimana caranya bisa sampai di kamar. Semalam dia merasakan kepalanya pening dan berat, lalu Amara mengantarkannya ke kamar, setelah itu ... dia tidak ingat apa-apa lagi. Melihat ke arah jam yang ada di dinding, masih pukul 04.00, dia harus bersiap karena mengambil penerbangan pagi.Saat bangkit, Rimba heran, karena mendapati tubuhnya yang polos, hanya mengenakan celana pendek. Tak ingin ketinggalan pesawat, Rimba malas untuk mengingat-ngingat kembali kejadian semalam. Lagi pula, dia benar-benar tak mengingatnya. Dia bahkan mengabaikan ponselnya yang semalam berder
Read more

Bab 83

Aline pingsan saat mendapati kenyataan bahwa sang suami telah mengalami kecelakaan pesawat. Apalagi saat sebuah berita menginformasikan jika Rimba merupakan salah satu penumpang di sana.Aline akhirnya dibawa ke rumah sakit untuk dirawat. Dari pemeriksaan Darwis dan Retno tahu jika sang putri tengah hamil.Setelah beberapa jam dirawat, Aline mulai siuman. Dia hanya bisa menangis meratapi nasib sang suami."Sayang ... kamu harus kuat. Bagaimanapun juga, ada anak kalian yang harus kamu rawat. Jangan sampai kamu menyesalinya seperti pada Rasya," bujuk Retno. Aline tak menjawab, dia hanya menahan tangisnya dalam diam. Bulir-bulir itu tak bisa ditahan, sekuat apapun dia mencoba."Aline, kamu harus banyak makan, ya? Kasian bayi kamu." Retno kembali membujuk."Lagian, kita belum tau bagaimana nasib Rimba. Tim SAR sedang menuju ke titik lokasi tempat pesawat itu kemungkinan jatuh. Kita berdoa saja, mudah-mudahan Rimba selamat," hibur Retno.Aline membuka matanya dan menoleh. "Mungkinkah dia s
Read more

Bab 84

"Tolong, Pak. Saya mau lihat manifest. Apakah benar ada penumpang atas nama Rimba?" cecar Aline di posko BASARNAS. Dia bahkan merebut kertas yang dipegang oleh petugas.Aline menelusuri satu demi satu nama penumpang. Rimba Adijaya. Aline bisa melihatnya dengan jelas. Kertas itu terlepas, dan dia luruh di lantai bandara."Rimbaaa ... aku mohon jangan pergi lagi. Aku mohon. Aku ingin membesarkan anak ini bersamamu." Aline menangis tergugu."Aline?" Sebuah suara menyapa. Aline menoleh. Ravi sedang berdiri di sana."Bagaimana?" tanya Ravi. Aline menggeleng lemah."Dia ada di daftar manifest. Rimba ada di pesawat itu," ucapnya diselingi isak."Kita tunggu hasil evakuasi Tim SAR. Kita berdoa saja semoga Rimba selamat," ucap Ravi."Ayo, kuantar pulang," tawarnya dan mengangkat tubuh kurus itu.Beberapa hari kemudian, Tim BASARNAS mengumumkan daftar korban yang berhasil dievakuasi. Dari 190 penumpang, mereka baru berhasil mengevakuasi 40 penumpang. Semua dalam keadaan luka bakar yang berat. S
Read more

Bab 85

Rimba terus saja menjauhi lokasi di mana pesawat itu terjatuh. Dia menghindari setiap Tim SAR yang sempat hamper berpapasan dengannya. Rimba sengaja berjalan berlawanan dengan para anggota Tim SAR. Dia tidak mau bertemu dengan siapa pun dalam waktu dekat ini. Rimba hanya ingin menyendiri dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan.‘Aline berhak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik. Bukan seorang monster sepertiku. Jangankan orang lain, aku sendiri pun jijik melihat wajahku yang hancur,’ batin Rimba.Hari berganti minggu berlalu, Rimba menikmati kesendiriannya di tengah hutan. Hidup di alam bebas seperti ini sudah tak asing lagi baginya. Dulu, dia seringkali mendaki gunung dengan teman-teman kuliah juga teman karatenya. Sehingga, dia tidak merasa kaget dengan kondisi ini sedikit pun.Untuk mengganjal perut Rimba makan apapun buah-buahan yang dia temui.Luka di wajah dan lengannya sudah mulai mengering. Rimba memejamkan matanya setiap kali bertemu dengan genangan air untuk men
Read more

Bab 86

Rimba merasa tak enak hati untuk menolak ajakan bapak itu yang terdengar sangat tulus. Akhirnya dia mengangguk setuju. “Baiklah, Pak. Saya ikut,” jawab Rimba akhirnya. Pak Dulah pun tersenyum bahagia.           Saat tiba di kampung yang tak jauh dari hutan itu, tampak di sana banyak rumah-rumah walaupun dengan jarak yang renggang. Lumayan jauh malah. Rimba diajak menuju salah satu rumah yang paling besar. “Ayo masuk, Nak. Kamu bias mandi dulu dan pakai baju Bapak, nanti,” ujar Pak Dulah sambil memberikan sebuah handuk pada Rimba. Mungkin dia merasa risi dengan penampilan Rimba yang sudah tak karuan. Rambut gimbal, baju compang-camping, juga kumis dan janggut yang sudah tumbuh tak beraturan di sebelah wajahnya yang masih utuh. Sementara wajahnya yang sebelah lagi, layaknya kulit dan daging yang terbakar, hanya meninggalkan keloid yang membentuk wajahnya
Read more

Bab 87

“Nak Rio, apakah kamu mau pulang? Bapak bisaa fasilitasi kamu, jika kamu mau pulang,” tanya Pak Dulah di suatu sore sambil menikmati secangkir teh dan ubi rebus. Mendengar itu, Rimba tersentak kaget.“Emh, Pak Dulah, apakah boleh saya tinggal di sini dan memakmurkan mesjid di sini? Saya berniat mengajar ngaji anak-anak di sini,” jawab Rimba. Pak Dulah mengembus napas kasar.“Begini, Nak Rio. Bukannya saya tidak mau Nak Rio ada di sini. Tapi … apakah keluargamu tidak ada yang mencari atau mungkin mereka sedang gundah karena kehilanganmu?” lanjut Pak Dulah.“Sebetulnya saya … saya tidak punya siapa-siapa, Pak. Saya hanya sebatang kara,” ucap Rimba bohong. Pak Dulah menatap pemuda di hadapannya dengan sedikit rasa curiga.“Baiklah kalaua begitu, kamu boleh mengajar ngaji di sini. Kamu bisa bantu Hanifah setiap sore. Karena kalua pagi, Hani ngajar di kampung sebelah,” pungkas Pak Dulah. “Sebentar lagi Ashar, saya mau bersiap-siap dulu,” ucapnya lalu bangkit. Rimba pun mengikuti Pak Dulah
Read more

Bab 88

Rimba dan Pak Dulah melanjutkan mencangkul lahan dan menanam bibit wortel di kebun tak jauh dari rumahnya. Lelaki paruh baya itu pun merasa kagum dengan sikap baik juga keuletan Rimba. Hanya sebentar saja pertemuan mereka, sudah membuatnya begitu saying pada pemuda itu.‘Nak Rio,” panggil Pak Dulah. Rimba yang sedang mencanngkul menghentikan ayunan cangkulnya lalu menoleh pada Pak Dulah.“Iya, Pak?” Kening Rimba mengerut karena silau dengan cahaya matahari yang menyorot.Pak Dulah mendekat.“Apakah Nak Rio, benar-benar tidak mau kembali ke tempat asalmu?”“Emh, iya. Memangnya kenapa, Pak?” Rimba balik bertanya.“Apakah keberatan jika Bapak melamar Nak Rio untuk anak Bapak?” tanya pak Dulah langsung ke inti masalah. Rimba yang sudah mulai mengayunkan cangkulnya, seketika berhenti. Wajahnya terlihat kaget.“Kenapa Nak Rio? Apakah Nak Rio setuju atau tidak?” Pak Dulah mengulangi. Rimba kaget dengan pertanyaan dari lelaki paruh baya itu.“Bapak tidak enak dengan tetangga sekitar, Bapak me
Read more

Bab 89

Dua bulan lebih Rimba pergi dan menghilang dalam kecelakaan pesawat itu. Meninggalkan duka yang mendalam dan belum bisa terobati di hati sang istri. Jika saja tak ada orang-orang yang begitu peduli, Aline pasti sudah bunuh diri.Diam memandangi layar ponsel yang menampilkan foto sang suami yang tengah tertawa Bersama dirinya.“Haruskah aku menyerah? Haruskah aku percaya bahwa kamu sudah tiada? Tolong jawab Rimba! Jawab aakuuuu!”teriak Aline pada layar ponsel. Wajahnya memerah karena tangis.“Kenapa kau menancapkan cinta itu begitu dalam, hingga sakit dan berbekas saat kamu mencabutnya kembali. Aku mohon, kembalilah. Aku mohon … demi aku dan anak kita,” ucap Aline dalam isak. Dia duduk menunduk dan memeluk lututnya. Dia menangis tergugu dalam kesendirian.Dari ponselnya mengalun merdu lagu Seventeen, menambah sendu suasana hati yang kehilangan.Kemarin engkau masih ada di siniBersamaku menikmati rasa iniBerharap semua takkan pernah berakhirBersamamuBersamamuKemarin dunia terliha
Read more

Bab 90

Aline bergegas menyiapkan aneka perlengkapan; baju, sweater, dan lain-lain. Dia juga menghubungi Darwis untuk berpamitan, juga teman-teman karate Rimba yang biasanya  sudah terbiasa menikmati alam liar. Roby dan Riny yang akhirnya memutuskan untuk ikut. Mereka janjian bertemu di bandara yang akan membawa mereka ke kota P. Awalnya Darwis tidak mengizinkan, mengingat kondisi Aline yang tengah hamil muda. Namun, kegigihan Aline membuat Darwis tak berkutik. “Tolonglah, Pa. Aku ingin melihatnya sendiri. Jika benar itu dia, aku ingin aku yang pertama kali melihatnya,” rengek Aline. Darwis mengelus puncak kepala sang putri dan mencium keningnya. “Pergilah, Sayang. Papa dan Mama merestuimu,” ucap Darwis. Aline tersenyum penuh haru.“Terima kasih, Papa, Mama.” Mereka berpelukan sebelum Aline benar-benar pergi.***Selama berada di pesawat, Aline begiitu resah, karena i
Read more
PREV
1
...
7891011
...
20
DMCA.com Protection Status