"Tolong, Pak. Saya mau lihat manifest. Apakah benar ada penumpang atas nama Rimba?" cecar Aline di posko BASARNAS. Dia bahkan merebut kertas yang dipegang oleh petugas.Aline menelusuri satu demi satu nama penumpang. Rimba Adijaya. Aline bisa melihatnya dengan jelas. Kertas itu terlepas, dan dia luruh di lantai bandara."Rimbaaa ... aku mohon jangan pergi lagi. Aku mohon. Aku ingin membesarkan anak ini bersamamu." Aline menangis tergugu."Aline?" Sebuah suara menyapa. Aline menoleh. Ravi sedang berdiri di sana."Bagaimana?" tanya Ravi. Aline menggeleng lemah."Dia ada di daftar manifest. Rimba ada di pesawat itu," ucapnya diselingi isak."Kita tunggu hasil evakuasi Tim SAR. Kita berdoa saja semoga Rimba selamat," ucap Ravi."Ayo, kuantar pulang," tawarnya dan mengangkat tubuh kurus itu.Beberapa hari kemudian, Tim BASARNAS mengumumkan daftar korban yang berhasil dievakuasi. Dari 190 penumpang, mereka baru berhasil mengevakuasi 40 penumpang. Semua dalam keadaan luka bakar yang berat. S
Rimba terus saja menjauhi lokasi di mana pesawat itu terjatuh. Dia menghindari setiap Tim SAR yang sempat hamper berpapasan dengannya. Rimba sengaja berjalan berlawanan dengan para anggota Tim SAR. Dia tidak mau bertemu dengan siapa pun dalam waktu dekat ini. Rimba hanya ingin menyendiri dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan.‘Aline berhak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik. Bukan seorang monster sepertiku. Jangankan orang lain, aku sendiri pun jijik melihat wajahku yang hancur,’ batin Rimba.Hari berganti minggu berlalu, Rimba menikmati kesendiriannya di tengah hutan. Hidup di alam bebas seperti ini sudah tak asing lagi baginya. Dulu, dia seringkali mendaki gunung dengan teman-teman kuliah juga teman karatenya. Sehingga, dia tidak merasa kaget dengan kondisi ini sedikit pun.Untuk mengganjal perut Rimba makan apapun buah-buahan yang dia temui.Luka di wajah dan lengannya sudah mulai mengering. Rimba memejamkan matanya setiap kali bertemu dengan genangan air untuk men
Rimba merasa tak enak hati untuk menolak ajakan bapak itu yang terdengar sangat tulus. Akhirnya dia mengangguk setuju.“Baiklah, Pak. Saya ikut,” jawab Rimba akhirnya. Pak Dulah pun tersenyum bahagia. Saat tiba di kampung yang tak jauh dari hutan itu, tampak di sana banyak rumah-rumah walaupun dengan jarak yang renggang. Lumayan jauh malah. Rimba diajak menuju salah satu rumah yang paling besar.“Ayo masuk, Nak. Kamu bias mandi dulu dan pakai baju Bapak, nanti,” ujar Pak Dulah sambil memberikan sebuah handuk pada Rimba. Mungkin dia merasa risi dengan penampilan Rimba yang sudah tak karuan. Rambut gimbal, baju compang-camping, juga kumis dan janggut yang sudah tumbuh tak beraturan di sebelah wajahnya yang masih utuh. Sementara wajahnya yang sebelah lagi, layaknya kulit dan daging yang terbakar, hanya meninggalkan keloid yang membentuk wajahnya
“Nak Rio, apakah kamu mau pulang? Bapak bisaa fasilitasi kamu, jika kamu mau pulang,” tanya Pak Dulah di suatu sore sambil menikmati secangkir teh dan ubi rebus. Mendengar itu, Rimba tersentak kaget.“Emh, Pak Dulah, apakah boleh saya tinggal di sini dan memakmurkan mesjid di sini? Saya berniat mengajar ngaji anak-anak di sini,” jawab Rimba. Pak Dulah mengembus napas kasar.“Begini, Nak Rio. Bukannya saya tidak mau Nak Rio ada di sini. Tapi … apakah keluargamu tidak ada yang mencari atau mungkin mereka sedang gundah karena kehilanganmu?” lanjut Pak Dulah.“Sebetulnya saya … saya tidak punya siapa-siapa, Pak. Saya hanya sebatang kara,” ucap Rimba bohong. Pak Dulah menatap pemuda di hadapannya dengan sedikit rasa curiga.“Baiklah kalaua begitu, kamu boleh mengajar ngaji di sini. Kamu bisa bantu Hanifah setiap sore. Karena kalua pagi, Hani ngajar di kampung sebelah,” pungkas Pak Dulah. “Sebentar lagi Ashar, saya mau bersiap-siap dulu,” ucapnya lalu bangkit. Rimba pun mengikuti Pak Dulah
Rimba dan Pak Dulah melanjutkan mencangkul lahan dan menanam bibit wortel di kebun tak jauh dari rumahnya. Lelaki paruh baya itu pun merasa kagum dengan sikap baik juga keuletan Rimba. Hanya sebentar saja pertemuan mereka, sudah membuatnya begitu saying pada pemuda itu.‘Nak Rio,” panggil Pak Dulah. Rimba yang sedang mencanngkul menghentikan ayunan cangkulnya lalu menoleh pada Pak Dulah.“Iya, Pak?” Kening Rimba mengerut karena silau dengan cahaya matahari yang menyorot.Pak Dulah mendekat.“Apakah Nak Rio, benar-benar tidak mau kembali ke tempat asalmu?”“Emh, iya. Memangnya kenapa, Pak?” Rimba balik bertanya.“Apakah keberatan jika Bapak melamar Nak Rio untuk anak Bapak?” tanya pak Dulah langsung ke inti masalah. Rimba yang sudah mulai mengayunkan cangkulnya, seketika berhenti. Wajahnya terlihat kaget.“Kenapa Nak Rio? Apakah Nak Rio setuju atau tidak?” Pak Dulah mengulangi. Rimba kaget dengan pertanyaan dari lelaki paruh baya itu.“Bapak tidak enak dengan tetangga sekitar, Bapak me
Dua bulan lebih Rimba pergi dan menghilang dalam kecelakaan pesawat itu. Meninggalkan duka yang mendalam dan belum bisa terobati di hati sang istri. Jika saja tak ada orang-orang yang begitu peduli, Aline pasti sudah bunuh diri.Diam memandangi layar ponsel yang menampilkan foto sang suami yang tengah tertawa Bersama dirinya.“Haruskah aku menyerah? Haruskah aku percaya bahwa kamu sudah tiada? Tolong jawab Rimba! Jawab aakuuuu!”teriak Aline pada layar ponsel. Wajahnya memerah karena tangis.“Kenapa kau menancapkan cinta itu begitu dalam, hingga sakit dan berbekas saat kamu mencabutnya kembali. Aku mohon, kembalilah. Aku mohon … demi aku dan anak kita,” ucap Aline dalam isak. Dia duduk menunduk dan memeluk lututnya. Dia menangis tergugu dalam kesendirian.Dari ponselnya mengalun merdu lagu Seventeen, menambah sendu suasana hati yang kehilangan.Kemarin engkau masih ada di siniBersamaku menikmati rasa iniBerharap semua takkan pernah berakhirBersamamuBersamamuKemarin dunia terliha
Aline bergegas menyiapkan aneka perlengkapan; baju, sweater, dan lain-lain. Dia juga menghubungi Darwis untuk berpamitan, juga teman-teman karate Rimba yang biasanya sudah terbiasa menikmati alam liar. Roby dan Riny yang akhirnya memutuskan untuk ikut. Mereka janjian bertemu di bandara yang akan membawa mereka ke kota P.Awalnya Darwis tidak mengizinkan, mengingat kondisi Aline yang tengah hamil muda. Namun, kegigihan Aline membuat Darwis tak berkutik.“Tolonglah, Pa. Aku ingin melihatnya sendiri. Jika benar itu dia, aku ingin aku yang pertama kali melihatnya,” rengek Aline.Darwis mengelus puncak kepala sang putri dan mencium keningnya. “Pergilah, Sayang. Papa dan Mama merestuimu,” ucap Darwis. Aline tersenyum penuh haru.“Terima kasih, Papa, Mama.” Mereka berpelukan sebelum Aline benar-benar pergi.***Selama berada di pesawat, Aline begiitu resah, karena i
Aline melangkah meninggalkan rumah itu menuju mobil yang terparkir tak jauh di sana. Riny mengikutinya dari belakang.“Maaf, Bu sudah mengganggu. Permisi,” pamit Roby, disambut anggukan oleh Bu Dulah.Aline tak kuasa menahan tangisnya. Hancur sudah harapan yang sudah dia gantungkan setinggi langit, bahwa sang suami masih hidup.“Mungkin harapanku terlalu besar,” ucap Aline dalam isaknya. Riny menatapnya dalam diam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada wanita yang tengah bersedih. Sifatnya yang tomboy, kadang tidak peka dengan kesedihan seseorang.“Gue pikir sih, wajar aja lu berharap. Namanya usaha. Gimana kita mau tau dia bener Rimba atau bukan kalau kita gak buktiin sendiri. Kalau sudah tau kenyataannya seperti ini, paling tidak … lu gak hanya berharap dalam kehampaan,” ujar Riny.“Apa kamu yakin kalau Rimba udah meninggal?” tanya Aline pada perempuan berambut cepak itu. Riny mengedikan bahu.“Gue gak tau. Cuman entah kenapa gue merasa kalau dia masih hidup. Entahlah, apa itu
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi