Aline bergegas menyiapkan aneka perlengkapan; baju, sweater, dan lain-lain. Dia juga menghubungi Darwis untuk berpamitan, juga teman-teman karate Rimba yang biasanya sudah terbiasa menikmati alam liar. Roby dan Riny yang akhirnya memutuskan untuk ikut. Mereka janjian bertemu di bandara yang akan membawa mereka ke kota P.
Awalnya Darwis tidak mengizinkan, mengingat kondisi Aline yang tengah hamil muda. Namun, kegigihan Aline membuat Darwis tak berkutik.
“Tolonglah, Pa. Aku ingin melihatnya sendiri. Jika benar itu dia, aku ingin aku yang pertama kali melihatnya,” rengek Aline.
Darwis mengelus puncak kepala sang putri dan mencium keningnya. “Pergilah, Sayang. Papa dan Mama merestuimu,” ucap Darwis. Aline tersenyum penuh haru.
“Terima kasih, Papa, Mama.” Mereka berpelukan sebelum Aline benar-benar pergi.
***
Selama berada di pesawat, Aline begiitu resah, karena i
Aline melangkah meninggalkan rumah itu menuju mobil yang terparkir tak jauh di sana. Riny mengikutinya dari belakang.“Maaf, Bu sudah mengganggu. Permisi,” pamit Roby, disambut anggukan oleh Bu Dulah.Aline tak kuasa menahan tangisnya. Hancur sudah harapan yang sudah dia gantungkan setinggi langit, bahwa sang suami masih hidup.“Mungkin harapanku terlalu besar,” ucap Aline dalam isaknya. Riny menatapnya dalam diam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada wanita yang tengah bersedih. Sifatnya yang tomboy, kadang tidak peka dengan kesedihan seseorang.“Gue pikir sih, wajar aja lu berharap. Namanya usaha. Gimana kita mau tau dia bener Rimba atau bukan kalau kita gak buktiin sendiri. Kalau sudah tau kenyataannya seperti ini, paling tidak … lu gak hanya berharap dalam kehampaan,” ujar Riny.“Apa kamu yakin kalau Rimba udah meninggal?” tanya Aline pada perempuan berambut cepak itu. Riny mengedikan bahu.“Gue gak tau. Cuman entah kenapa gue merasa kalau dia masih hidup. Entahlah, apa itu
Riny menarik tangan Hani agar mundur dan membiarkan Aline menemui suaminya seorang diri. Riny tahu jika pasangan yang telah lama tak bertemu itu membutuhkan waktu berdua.Walaupun Hani belum mengerti dengan apa yang sedang terjadi, tetapi dia menurut saja saat Riny memberikan kode agar Hani jangan ikut melangkah.Alline berjalan semakin mendekat pada laki-laki yang tengah asik mengayunkan cangkul. Semakin dekat dan dekat. Dari jarak 10 meter, Aline bisa mencium bau tubuh itu. Sama persis saat dirinya hamil Rasya dulu. Air matanya sudah tak bisa dibendung lagi.“Mas …,” panggil Aline. Kedua orang itu refleks menghentikan kegiatannya. Pak Dulah menoleh pada Aline dan Rimba bergantian. Dia mulai memahami situasi, lalu beranjak meninggalkan dua orang yang masih diam mematung.“Mas ….” Kembali Aline memanggil suaminya. Rimba mencengkeram gagang cangkul dengan erat. Matanya terpejam sempurna. Dia tidak menyangka jika bisa kembali mendengar suara merdu itu. Rasa rindu sungguh sudah diujung.
“Terima kasih, Pak, Bu. Atas kebaikan Bapak dan Ibu pada saya selama ini. Ini istri saya, Aline,” ucap Rimba sambil menepuk paha wanita di sebelahnya. Mereka berkumpul setelah pulang dari kebun.“Nama saya sebenarnya adalah Rimba. Seperti dugaan Bapak, kalau saya ini adalah korban kecelakaan pesawat beberapa waktu lalu. Saya sengaja bersembunyi dari para Tim SAR karena saya memang takut untuk kembali. Saya pikir istri saya pasti akan malu, saat melihat kondisi saya yang menjadi menakutkan seperti ini. Tapi … ternyata, istri saya menerimanya dengan lapang dada.” Rimba meremas tangan sang istri. Mereka saling tatap sesaat. Aline tersenyum.“Hari ini, saya pamit. Saya tidak akan melupakan semua kebaikan kalian,”pungkas Rimba. Pak Dulah yang duduk berseberangan dengan Rimba, tampak manggut-manggut.“Bapak saranin, biar kalian besok saja pulangnya. Ini sudah menjelang Magrib. Kasian kalau kalian kemalaman di jalan,” ucap Pak Dulah.Hani kemudian datang membawa beberapa gelas teh panas. Ua
“Emang kamu tega bikin aku nahan lebih lama?” Rimba menaikan sebelah alisnya. “Lagian, mereka pasti ngerti kalau kita udah terpisah lama. Wajar kalau kita menunaikan hasrat yang sudah lama tertunda,” lanjut Rimba dan mulai melanjutkan aksinya. Aline hanya mengangguk pasrah dan kembali melayang ke awang-awang.Setiap desahan terdengar begitu indah di teling masing-masing. Mereka saling menikmati setiap hentakan dan gigitan.Rimba mencium kening Aline begitu lama di akhir sesi bercinta.“Terima kasih, Sayang. Aku semakin mencintaimu,” bisik Rimba. Aline memejamkan mata dalam pelukan hangat lelakinya. Kini dia tertidur dengan nyenyak tanpa harus gelisah memikirkan nasib sang suami.***Sebelum Subuh, Rimba dan Aline sudah bangun dan mandi. Niat sembunyi-sembunyi karena malu, tetapi ternyata saat keluar dari kamar mandi, Roby dan Riny pun sudah bangun. Mereka se
“Wuiih, keren banget pemandangannya!” seru Riny. “Gimana kalau kita istirahat dulu di sini?”Rimba dan Roby saling bertukar pandangan.“Setuju!”“Setuju!” jawab keduanya bersamaan.“Kayaknya bakalan seru juga kalau kita camping di sini. Kita bawa tenda ‘kan, Pak?” tanya Roby pada Ardy—sopir.“Duh, gak enak banget dari kemaren dipanggil bapak. Emang wajahku setua itu ya?” Ardy balik bertanya.“Hehehe, sorry. Habisnya kita kan baru ketemu, takutnya gak sopan,” jawab Roby.“Ada tiga, sih. Cuman tenda yang hanya untuk tiga orang,” ujar Ardy kemudian.“Jadi, lah. Bakalan seru ini. Kita cari lahan yang datar!”ujar Roby lagi.Ardy membelokan mobilnya ke sebelah kiri. Kebetulan di sana memang lahannya datar dan tak jauh ada sungai yang mengalir dari air terjun yang masih bisa dilihat dari pinggir jalan.“Keren banget ini!” pekik Riny sambil merentangkan kedua tangannya.Sementara itu, Aline turun dari mobil dan dituntun oleh Rimba.“Hati-hati, Sayang. Licin. Aku takut kamu kepeleset,” ujar Ri
Mendengar itu, Aline langsung menunduk. Ya, dia menyadari, jika ternyata dia masih belum mengenal banyak lelaki yang dia bilang sangat dicintainya itu.“Iya, kamu bener. Aku masih belum banyak tau soal Rimba. Soal yang kemarin itu, mungkin aku terlalu pengecut. Takut jika ternyata orang itu bener-bener bukan Rimba. Aku lebih baik hidup dalam harapan kosong, daripada harus tau kalau Rimba udah gak ada,” ucap Aline parau. Mendengar itu Rimba kembali memeluk sang istri dengan erat.“Dingin, nih. Gue duluan ya, mau bongkar gudang dulu,” ujar Roby, lalu bangkit. Mengulurkan tangan pada Hani agar wanita itu ikut pergi dengannya.”Roby sama si Hani, elu sama si Aline. Terus masa gue harus setenda sama dia.” Riny menunjuk Ardy dengan dagunya setelah kepergian Roby.“Tenang aja, aku biar tidur di mobil aja,” ucap Ardy.“Gak dingi
"Jam berapa ini ya?” Aline menggeliat dalam tenda. Tangan Rimba melingkari perutnya. Udara yang dingin, jadi tek begitu terasa.“Entahlah,” jawab Rimba malas. Dia malah semakin mengeratkan pelukannya.“Lihat dulu di hape, Mas. Biar gak kesiangan sholat Subuh. Mau mandi di mana coba? Di Sungai?” tanya Aline.“Oh, iya, ya. Sampe lupa.” Rimba terkekeh. Dia memballikan badan dan merogoh tasnya, mengambil ponsel dari sana. Lalu, menyalakannya sebentar. Terlihat pukul 03.56, sedangkan azan Subuh pukul 04.35, masih ada waktu sekitar setengah jam untuk mencari mesjid terdekat.“Jam empat,” ujar Rimba. “Ya udah yuk kita nyari masjid, kalau gak ada, mudah-mudahan ada pemandian umum,” lanjutnya.Mereka menyiapkan baju ganti dan juga peralatan mandi. Saat keluar dari tenda, ternyata Roby dan Hani juga baru keluar. Sepertinya mereka pun sama, meu mencari pemandian umum.“Ikutan keramas pagi?” tanya Roby dengan wajah jahil dan diselingi tawa. Rimba hanya menjawab dengan menaikan alisnya.“Huuh, kag
“Maaf, Mas. Tapi, memang, saya masih belum bisa melupakan Mas Rimba. Semoga saja dengan pernikahan ini, saya bisa membunuh perasaan ini, karena saya tau, kalau ini adalah dosa. Mencintai suami orang, dan mengabaikan suami sendiri.” Hani mengakhiri kalimatnya tepat saat Aline keluar dari bilik pemandian. Matanya terlihat heran melihat dua orang yang berdiri kikuk.“Roby ke mana, Mas?” tanya Aline. Rimba mengedikan bahu. “Entahlah, tadi sih jalan ke sana,” jawab Rimba lalu masuk ke dalam bilik.Tak lama kemudian, Roby muncul dengan beberapa tangkai bunga liar yang cantik. Lalu, dia memberikan bunga itu pada istrinya.“Untuk istriku tercinta,” ucap Roby sambil mengedipkan sebelah matanya. Hani tersipu malu.*** Saat kembali ke tempat perkemahan mereka, ternyata Riny dan Ardy sudah duduk menghadap api ungun, dengan secangkir minuman hangat di tangan masing-masing.“Ciiee … ciiee … ada yang lagi pedekate, nih,” goda Roby. Mata Riny langsung melotot.“Apaan, lu?! Gue gampar, tau rasa, lu!”
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi