Mendengar itu, Aline langsung menunduk. Ya, dia menyadari, jika ternyata dia masih belum mengenal banyak lelaki yang dia bilang sangat dicintainya itu.“Iya, kamu bener. Aku masih belum banyak tau soal Rimba. Soal yang kemarin itu, mungkin aku terlalu pengecut. Takut jika ternyata orang itu bener-bener bukan Rimba. Aku lebih baik hidup dalam harapan kosong, daripada harus tau kalau Rimba udah gak ada,” ucap Aline parau. Mendengar itu Rimba kembali memeluk sang istri dengan erat.“Dingin, nih. Gue duluan ya, mau bongkar gudang dulu,” ujar Roby, lalu bangkit. Mengulurkan tangan pada Hani agar wanita itu ikut pergi dengannya.”Roby sama si Hani, elu sama si Aline. Terus masa gue harus setenda sama dia.” Riny menunjuk Ardy dengan dagunya setelah kepergian Roby.“Tenang aja, aku biar tidur di mobil aja,” ucap Ardy.“Gak dingi
"Jam berapa ini ya?” Aline menggeliat dalam tenda. Tangan Rimba melingkari perutnya. Udara yang dingin, jadi tek begitu terasa.“Entahlah,” jawab Rimba malas. Dia malah semakin mengeratkan pelukannya.“Lihat dulu di hape, Mas. Biar gak kesiangan sholat Subuh. Mau mandi di mana coba? Di Sungai?” tanya Aline.“Oh, iya, ya. Sampe lupa.” Rimba terkekeh. Dia memballikan badan dan merogoh tasnya, mengambil ponsel dari sana. Lalu, menyalakannya sebentar. Terlihat pukul 03.56, sedangkan azan Subuh pukul 04.35, masih ada waktu sekitar setengah jam untuk mencari mesjid terdekat.“Jam empat,” ujar Rimba. “Ya udah yuk kita nyari masjid, kalau gak ada, mudah-mudahan ada pemandian umum,” lanjutnya.Mereka menyiapkan baju ganti dan juga peralatan mandi. Saat keluar dari tenda, ternyata Roby dan Hani juga baru keluar. Sepertinya mereka pun sama, meu mencari pemandian umum.“Ikutan keramas pagi?” tanya Roby dengan wajah jahil dan diselingi tawa. Rimba hanya menjawab dengan menaikan alisnya.“Huuh, kag
“Maaf, Mas. Tapi, memang, saya masih belum bisa melupakan Mas Rimba. Semoga saja dengan pernikahan ini, saya bisa membunuh perasaan ini, karena saya tau, kalau ini adalah dosa. Mencintai suami orang, dan mengabaikan suami sendiri.” Hani mengakhiri kalimatnya tepat saat Aline keluar dari bilik pemandian. Matanya terlihat heran melihat dua orang yang berdiri kikuk.“Roby ke mana, Mas?” tanya Aline. Rimba mengedikan bahu. “Entahlah, tadi sih jalan ke sana,” jawab Rimba lalu masuk ke dalam bilik.Tak lama kemudian, Roby muncul dengan beberapa tangkai bunga liar yang cantik. Lalu, dia memberikan bunga itu pada istrinya.“Untuk istriku tercinta,” ucap Roby sambil mengedipkan sebelah matanya. Hani tersipu malu.*** Saat kembali ke tempat perkemahan mereka, ternyata Riny dan Ardy sudah duduk menghadap api ungun, dengan secangkir minuman hangat di tangan masing-masing.“Ciiee … ciiee … ada yang lagi pedekate, nih,” goda Roby. Mata Riny langsung melotot.“Apaan, lu?! Gue gampar, tau rasa, lu!”
“Eh, Dy. Gue minta nomor hape lu. Takutnya ntar temen gue nangis-nangis pengen ketemu sama, lu,” ujar Roby saat mereka tiba di bandara. Ardy mengulum senyum, sementara Riny mencebik dan memutar bola matanya.“Aku aja deh, yang minta nomor kalian.” Ardy memberi usul. “Ya, udah, deh. Kita tukeran nomor aja,” balas Roby. Dan akhirnya kedua orang itu saling mencatat nomor ponsel. Roby memberikan nomor Rimba juga Riny pada Ardy.Lambaian tangan mereka sungguh mengharukan. Orang yang awalnya tidak kenal, namun kini akan saling merindukan.***Kepulangan Aline dan Rimba, membawa suasana haru di kediamannya. Retno, Darwis dan Naimah sudah menunggu dan menyiapkan aneka hidangan spesial.Semua mata memandang haru pada kondisi Rimba saat ini, tapi mereka berusaha menyembunyikan itu serapi mungkin. Karena sebetulnya, Aline sudah memberitahu papanya tentang kondisi Rimba, dan dia meminta agar mereka jangan menunjukan rasa kasihan pada suaminya itu.“Selamat datang kembali menantu kesayangan Pap
Aline sedang menyiapkan sarapan, saat suara bel terdengar dari depan. Dia bergegas membuka pintu, setelah mematikan kompor. Beruntung nasi goreng buatannya sudah selesai dibumbui.Saat pintu terbuka, tampak seorang lelaki dengan ransel di punggungnya. Sementara di tangannya memegang sebuah kartu undangan.“Assalamualaikum, maaf, benar dengan rumahnya Pak Rimba?” tanyanya sopan. Aline membenarkan. Lalu lelaki itu memberikan sebuah kartu undangan dan pamit.Aline masuk kembali ke dalam sambil membolak-balik kartu itu.“Siapa, Sayang?” tanya Rimba yang baru keluar dari kamar.“Nggak tau, sebentar. Oh, dari Roby. Dia mau mengadakan resepsi pernikahannya hari Minggu,” ujar Aline.“Oh, iya. Kemarin dia memang sempet bilang, kalau mau ngadain resepsi.” Rimba mendekat pada sang istri dan memeluknya dari belakang.“Kita belum sempat mengadakan resepsi, ya. Kamu mau?” tanya Rimba yang menaruh dagunya di ceruk bahu Aline. Wanita cantik itu menoleh pada suaminya sekilas.“Udah hamil begini, malu
Aline yang masih mengantre, memberi kode pada Roby dan Hani agar Riny dan Ardy jangan pergi dari pelaminan. Aline berencana untuk berfoto bersama. Roby mengacungkan jempolnya tanda setuju. Roby pun bahagia melihat sahabatnya sudah mau tampil di khalayak ramai. Walaupun dia bisa melihat sekilas, beberapa orang yang memandang aneh pada Rimba. Namun, rasa percaya diri yang dialirkan Aline pada lelaki itu, mampu membuatnya menghadapi dunia yang menatap hina.“Akhirnya …!” pekik Aline langsung memeluk Riny. “Bentar lagi nyusul, kita-kita, ya,” godanya. Rini tersipu malu. Sementara Ardy mengacungkan jempolnya.Mereka pun berfoto bersama dalam suasana yang teramat bahagia.Aline, Rimba, Riny dan Ardy turun dari pelaminan lalu menuju stand-stand yang sudah tersedia. Riny dan Ardy menuju stand dimsum yang berada di sebelah kiri, sementara Aline merasa tergoda dengan es krim juga sate yang berada di
“Ya udah, sana, kamu sama dia aja. Aku kan, gak ganteng, bukan anak orang kaya, gak bisa basket juga,” ucap Rimba ketus. Aline terlihat menahan tawa. Seumur pernikahannya dengan lelaki ini, belum pernah dia melihat Rimba begitu cemburu. Aline justru merasa senang. Dia memandangi punggung lelaki yang begitu dia sayangi itu naik turun dengan cepat. Seperti sedang menahan emosi.Aline menggeser tubuhnya mendekati suaminya. Dia mengelus pelan punggung itu. Setelah itu, Aline menaruh pipinya di pipi sang suami, dengan tangan menelusup ke sela lengan Rimba dan melingkarkannya di dada lelaki itu. Rimba bergeming.“Ada yang marah,” bisik Aline. Rimba tak menjawab, tetapi terdengar dia mengembuskan napas kasarnya beberapa kali.“Aku hanya becanda, Sayang. Lagian, dia, kan, cuma masa lalu. Mantan itu ibarat sampah, yang tidak perlu diambil lagi,” ujar Aline mencoba menghibur. Rimba
Hal yang paling menyakitkan saat kembali pulang itu, saat aku tahu jika Papi sudah tiada. Ya, walaupun seingatku dia tidak pernah ada untukku. Namun, bagaimanapun dia tetap adalah orang tuaku. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa Papi selama hidup.Jika Papi sudah tidak lagi punya waktu untuk memperbaiki diri, sebaliknya dengan Mami. Dia sepertinya belum puas dengan kesenangan hidup yang masih ingin dinikmatinya. Sayangnya, Mami mengambil langkah yang salah. Saat Papi terbaring lemah di rumah sakit, Mami malah menghilang dan tak bisa dihubungi. Lalu, saat aku kembali, Mami malah membuat masalah lagi. Dia berpacaran dengan suami orang. Malam-malam berpacaran di taman kota, lalu kena gerebek Satpol PP yang sedang menertibkan para PSK yang sering mangkal di sana.Seperti dugaanku, Mami akhirnya menghubungi dan meminta bantuanku agar membantunya bebas dari penjaringan petugas yang mengiranya seorang PSK. Ah, Mami … ada-ada saja. Jika saja aku tak ingat jika dirimu adalah wanita yang telah
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi